Mohon tunggu...
Kristian Adi Putra
Kristian Adi Putra Mohon Tunggu... Dosen - One, Two, Three.

Dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP, Universitas Sebelas Maret, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Mengurai Benang Kusut Pembelajaran Bahasa Inggris

7 November 2012   07:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:49 2667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hasilnya, ketika lulus SMP dan SMA, siswa tidak mampu menggunakan bahasa Inggris secara aktif. Terlebih apabila materi dalam buku teks juga tidak sesuai dengan kemampuan siswa. Jadi memang harus di akui bahwa kesalahan pembelajaran model ini sudah terpola.

Tantangan Perbaikan

Prof. Ag. Bambang Setiyadi, Ph.D. mengatakan, kemampuan siswa berbicara umumnya juga bukan hasil pembelajaran di sekolah, tetapi pembelajaran di kursus bahasa Inggris yang diikuti siswa. Sudah barang tentu, pola pengajaran bahasa yang bertujuan untuk tes seperti di Ganesha Operation (GO), Primagama, Nurul Fikri (NF), Medika Wiyata, Al-Qolam, dll. tidak termasuk. Sementara, baik lembaga bimbingan belajar maupun kursus bahasa Inggris umumnya terdapat di pusat kota. Di Lampung, daerah yang bisa dikategorikan sudah dimasuki keduanya adalah Bandarlampung, Metro, Bandarjaya, Pringsewu dan Kotabumi.

Selebihnya, pihak pengelola kurang mau berspekulasi dengan alasan peminat yang kurang dan kesulitan mencari sumber daya manusia yang bersedia mengajar di sana. Melihat kenyataan itu, apabila guru sekolah di luar kota-kota yang ada bimbingan kursus bahasa seperti EF English First, ILP, LBPP-LIA, Education Bridge, Intensive English Course, dll. juga menerapkan pola pengajaran seperti di bimbingan belajar yang bertujuan tes, sudah bisa dipastikan bahwa persentase lulusan SMA yang tidak bisa berkomunikasi dalam Bahasa Inggris akan sangat tinggi.

Permasalahan di atas tentu adalah sebuah tantangan bagi semua pihak yang terlibat dalam pembelajaran Bahasa Inggris, terutama guru Bahasa Inggris. Guru Bahasa Inggris dituntut mampu merancang pembelajaran yang membuat siswa belajar dan menggunakan Bahasa Inggris untuk berkomunikasi.

Terkait dengan hal ini, Krashen (2000) dan Spolsky (1989) mengajukan konsep bahwa pembelajaran bahasa akan berhasil apabila didukung dengan adanya keterkaitan antara pemberian model bahasa yang cukup dan adanya lingkungan yang memungkinkan bahasa itu digunakan.

Artinya, pembelajaran kemampuan-kemampuan bahasa, seperti listening, speaking, reading dan writing, harus terintegrasi. Setelah siswa mendapatkan model penggunaan bahasa yang cukup dalam listening dan reading, siswa kemudian dilatih untuk speaking dan writing. Pemberian contoh yang cukup ini akan membantu proses pemerolehan bahasa karena siswa berada dalam keadaan kecemasan yang rendah (low anxiety) untuk memproduksi bahasa yang sedang dipelajarinya (Krashen, 2002).

Guru kemudian juga dituntut mampu memfasilitasi adanya lingkungan yang memungkinkan Bahasa Inggris digunakan. Hal ini bisa dilakukan guru dengan merancang desain pembelajaran yang melatih siswa berkomunikasi dalam Bahasa Inggris di dalam kelas dan tidak hanya terfokus pada wacana dan tata bahasa.

Asher (1994), misalkan, mengusulkan penggunaan metode Total Physical Response, model belajar memperagakan dengan gerakan badan, untuk mengajar Bahasa Inggris bagi pemula, contohnya di tingkat SD. Sementara Krashen dan Terell (1983) pada level siswa yang sama mengusulkan metode pembelajaran Natural Approach, model pembelajaran yang langsung menggunakan Bahasa Inggris dalam proses belajar.

Pada tingkat menengah, atau sama dengan tingkat SMP dan SMA, Krashen (1992) mengusulkan siswa diajar d    engan pemberian model penggunaan bahasa yang cukup (sufficient comprehensible input) melalui pembelajaran yang terfokus pada diskusi tema-tema tertentu (content-based  instruction). Hal ini akan membantu proses pemerolehan bahasa siswa di dalam kelas.

Perubahan di atas tentu tidaklah mudah dan memerlukan waktu serta penyesuaian-penyesuaian. Guru dituntut untuk terus bisa belajar dan memperbaiki proses pembelajaran yang dikelolanya. Hal ini bisa dilakukan melalui penelitian tindakan kelas (PTK), berdiskusi dengan sejawat, akademisi, siswa, buku-buku serta referensi di internet yang bisa memberikan wawasan terbaru mengenai strategi mengajar yang baik dan memungkinkan siswa berkembang sesuai dengan tujuan pembelajaran bahasa, yaitu menggunakan keterampilan (skill) berbahasa itu untuk berkomunikasi. Indikator pembelajaran kemudian idealnya juga diarahkan pada tujuan tersebut dan yang tidak lagi terbawa arus mengikuti metode mengajar persiapan menghadapi tes, dalam hal ini UN.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun