Mohon tunggu...
Sosbud

Rindu

1 November 2015   19:43 Diperbarui: 3 November 2015   12:58 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Musim semi datang dan pergi
Di tengah negeri kincir angin
Mungkin aku dikelilingi oleh jutaan jiwa
Namun ku tetap merasa sendiri
Aku hanya ingin kembali
Aku meindukanmu ibuku terkasih”

Sepenggal puisi pada halaman 176 dari buku puisiku. Suatu cara terbaik untuk mengungkap bagaimana perasaaanku yang sesungguhnya. Ya benar, mungkin tidak semua perasaan dapat ku terjemahkan, namun setidaknya aku sedikit lebih lega saat melukisnya dalam kata-kata indah dalam puisi.

***

           Aku adalah gadis rumahan yang tinggal bersama ibuku saja, ayah telah lama meninggal ketika aku masih berumur lima tahun. Orang-orang biasa memanggilku Alen. Aku adalah anak tunggal, jadi aku tidak punya saudara yang bisa aku ajak untuk berbagi cerita layaknya gadis-gadis lain. Aku hanya bisa menceritakan semua yang aku rasa kepada ibu dan ke dalam buku.

Pagi yang cerah dengan silauan mentari yang merekah dari ufuk timur serta diiringi dengan kabut pagi yang menusuk pori-pori tubuh. Aku mendengar suara burung pipit yang bernyanyi seakan ingin membangunkanku dari tidur. Sedikit aku membuka mata, aku lihat di jendela sang mentari sudah menyambut pagiku, aku lekas berdiri dan pergi ke kamar mandi. Aku membasuh wajah dengan percikan air yang entah mengapa pagi itu terasa sangat dingin. Aku mencium aroma sedap dari luar kamar dan segera mencari sumber dari mana aroma itu berasal. Aku melihat sosok cantik menyapaku dengan senyumannya yang indah dibalik pintu kaca yang berdiri tegak. Ya benar, itu adalah ibu. Nampaknya dia sedang menyiapkan sarapan untukku.

“ Apakah kamu sudah lapar, nak? “, bertanya dengan suara indah.

“ Tentu saja ibu, aroma masakanmu tercium sampai di kamarku. Aku ingin segera menghabiskan makanan yang ibu masak. “, jawabku penuh semangat.

“ ya sudah, mari kita makan bersama” , ajak ibu lembut.

Sarapan bersama adalah sebuah tradisi yang kami lakukan setiap pagi dan tidak pernah sekalipun kami lewatkan. Pagi itu, ibu memasak nasi goreng ,makanan kesukaanku. Aku sangat menyukainya karena nasi goreng buatan ibu berbeda dengan nasi goreng siapapun dan rasanya sangat lezat. Mungkin ibu mencampurkan bumbu rahasia kedalamnya sehingga kenikmatannya terasa sangat luarbiasa. Aku selalu memakannya dengan lahap sampai perutku terasa penuh. Setelah sarapan, aku dan ibu masih duduk sebentar sembari bercakap-cakap tentang mimpi tadi malam.

Tiba-tiba ibu menarik sebuat amplop coklat dari sakunya dan menyodorkannya kepadaku. Aku terengah. Aku benar-benar penasaran apa isi dari amplop tersebut. Ibu memintaku untuk membuka amplop itu. Lalu aku pun mengambil dan membukanya perlahan. Di dalam amplop tersebut berisi selembar kertas putih dari University College Roosevelt yang menyatakan bahwa aku diterima dalam program beasiswa dan dapat menutut ilmu di negeri kincir angin tersebut. Sontak aku kaget dan bahagia membaca surat. Spontan aku memeluk erat ibu dan tidak sadar aku meneteskan air mata. Ibu juga menangis bahagia sambil mencium keningku. Dia meberikan ucapan selamat padaku dan mengatakan bahwa dia sangat bangga denganku. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan atas karya-Nya yang begitu luarbiasa dalam hidupku.

Kebahagiaan itu memudar seketika. Perasaan tercampur aduk menjadi satu dan hatiku menjadi bimbang. Aku tidak ingin meninggalkan ibu sendirian disini. Aku takut ibu kesepian tanpaku. Namun aku harus memilih keputusan yang tepat. Aku benar-benar tahu bagaimana kondisi perekonomian keluargaku. Aku teringat bagaimana ibu membanting tulang sendiri untuk membiayai hidupku sampai saat ini. Aku juga percaya bahwa kesempatan tidak akan pernah datang dua kali. Dalam bimbangku, ibu membisikkan kalimat di telingaku.

“Gapailah mimpimu,nak. Ini adalah hasil kerja kerasmu selama ini. Jangan bimbang dan takut. Ibu akan baik-baik saja disini” kata ibu memotivasiku.

Mendengar hal itu, aku semakin mantab menuntut ilmu di negeri seribu tulip tersebut. Aku tidak ingin membuat ibu kecewa. Aku akan berjuang disana.Aku punya waktu satu minggu untuk bersiap-siap sebelum aku berangkat ke Belanda. Ibu membantu menyiapkan seluruh perlengkapanku, mulai dari pakaian, perlengkaan mandi, buku, dan perlengkapan lainnya yang akan aku bawa. Aku tidak tahu mengapa akhir-akhir ini ibu sangat memanjakanku, apapun yang aku minta selalu dia berikan. Dan persiapan terakhir adalah mentalku. Aku harus benar-benar siap dengan kehidupan baru yang akan aku hadapi tanpa ibu.

Satu hari sebelum berangkat, aku mendapat kiriman sebuah tiket pesawat dari pihak kampus yang ku terima lewat e-mail. Tidak ku sangka, aku akan pergi ke negeri orang dan duduk di bangku pesawat yang nyaman. Aku terus membayangkan semua itu sampai tertidur. Dan malam itu, aku tidur brsama ibuku tercinta.

Fajar kembali merekah dan sinarnya membangunkanku dari tidur indahku. Aku melihat kesisi ranjang yang lain, ibu sudah tidak ada di sampingku. Aku mncarinya dan ternyata dia sedang menyiapkan sarapan. Kami pun sarapan bersama-sama. Aku melihat jam yang melekat di diding atas lemari, waktu telah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Aku bergegas ke kamar mandi dan bersiap-siap untuk berangkat.

Semua telah beres, aku keluar dari kamar dan melihat ibu sedang duduk di atas kursi ruang tamu. Dia memandangku sambil tersenyum seolah menyembunyikan kesedihannya dariku. Matanya menatapku penuh harap. Dia memberiku sebuah switer merah muda yang sangat manis. Sontak aku langsung memeluknya erat. Aku berkata kepadanya bahwa aku akan baik-baik saja. Aku memohon restu darinya. “ Aku sayang ibu” merupakan kata terakhir yang ku ucap sebelum berangkat. Aku pergi ke bandara seorang diri karena ibu tidak bisa mengantarku. Sesampainya di bandara, aku mencari pintu pesawat yang akan aku tumpangi. Seorang pramugari meyambutku dengan ramah dan mengantar ke kursi yang akan aku tempati.

Tujuh jam perjalanan yang ku tempuh telah kulewati. Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di negeri tersebut. Aku melihat disekeliling nampak luarbiasa. Aku menatap wajah-wajah baru yang terlihat berbeda dengan orang-orang yang tidak pernah ku temui sebelumnya. Dari satu sisi, aku melihat seorang pria berwajah oval dan berpigmen putih menghampiriku dengan membawa sebuah poster bertuliskan “ Alen from Indonesia”. Dia memperkenalkan dirinya kepadaku. Rupanya dia adalah salah satu pihak kampus yang diminta untuk menjemputku disini. Namanya adalah Stevan Bills. Dia memintaku untuk mengikutinya dan mengajakku untuk makan bersama. Setelah itu, kami pergi ke asrama yang akan menjadi tempat tinggali nanti dengan menyewa sebuah taksi.

Satu jam terasa singkat karena aku dimanjakan dengan semua miniatur dan tata bangunan di sepanjang perjalanan. Itu luar biasa. Setelah sampai, aku melihat bangunan balok minimalis. Betul, itu adalah sebuah asarama, suatu tempat yang akan menjadi saksi bisu perjalan hidupku yang baru. Dedaunan pohon melambai-lambai seolah menyambut kedatanganku. Tuan Steven mengenalkan ku kepada seorang wanita cantik berambut pirang. Namanya adalah Jane. Jane mengantarku ke kamar yang telah disiapkan untukku. Dia memberiku sebuah kunci dan memintaku membuka pintu kamarku. Perlahan aku membukanya dan terkagum dengan komposisi kamar yang manis dengan penataan yang ringan. Jane membantu membawa barang-barang bawaanku ke dalam kamar dan memberiku nomor ponselnya. Dia ingin aku menghubunginya ketika aku membutuhan sesuatu. Dia berpamitan dan meminta ku untuk beristirahat.

Namun, aku ingin membereskan semua barang terlebih dahulu sebelum aku beristirahat. Setelah itu aku ingin membersihkan tubuhku. Air di kamar mandi ini sangat dingin. Akupun bergegas untuk memakai pakaian dan beranjak untuk tidur. Aku dimajakan dengan ranjang yang nyaman dengan balutan selimut yang hangat. Setelah beberapa jam aku tertidur, aku terbangun. Aku ingin memberi kabar kepada ibu bahwa aku telah sampai dengan selamat. Aku mengirim sebuah e-mail kepada ibu dan dia pun membalas e-mail dariku dan selalu memberikan semangat kepadaku.

***

            Jane mengirim sebuah pesan kepadaku bahwa aku harus segera menyelesaikan ospek terlebih dahulu sebelum aku benar-benar kuliah. Kegiatan itu akan dilaksanakan besok pukul delapan pagi. Aku harus bersiap untuk itu semua. Jujur saja, aku takut dengan semua hal baru yang harus aku lakukan di kemudian hari. Aku takut tidak bisa melakukannya dengan baik. Aku tahu, keputusan yang aku ambil tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Aku juga sangat paham bahwa akan banyak sekali tantangan yang akan menyambutku. Aku hanya bisa berharap dengan semua imanku pada Tuhan. Aku percaya, Tuhan akan bekerja di dalamku.

           Hari pertama ospek, banyak sekali agenda yang akan aku kerjakan. Aku harus ekstra beradaptasi disini. Aku mengenal banyak teman-teman baru dengan beragam karakter. Salah satunya adalah Chirst. Seorang gadis yang sangat baik dan ramah. Dan ternyata kamarku dan kamar Chirst bertetangga. Kita menjadi akrab semenjak aku dan Chirst satu kelompok saat bermain game di ospek kita. Hari kedua, semua peserta ospek mendapat materi dan harus dikerjakan hari itu juga. Aku mulai kuwalahan dengan semua tugas yang diberikan. Hari ketiga, kempat dan seterusnya selalu seperti itu.

            Seminggu ospek telah berakhir. Cerita kami akan berbeda kembali. Hari pertama masuk kuliah, aku bertemu dengan seorang dosen yang terlihat menakutkan. Nampaknya dia sedikit galak. Dia mulai memperkenalkan dirinya dan menjelaskan secara singkat materi dasar perkuliahan kami. Setelah itu, dia memberikan tugas-tugas yang cukup banyak kepada semua mahasiswanya. Hal yang sama dilakukan oleh dosen-dosen lainnya. Ini benar-benar melelahkan bagiku karena aku warga baru di suatu kounitas yang tak pernah kutahu bagaimana sistem yang bekerja disana. Aku cukup kesulitan dengan itu semua.

            Pagi itu cukup melelahkan bagiku, aku terlambat bangun karena mentari sedang bersembunyi dibalik mendung. Aku bergegas pergi ke kampus karena ada kelas untuk hari ini. Aku terburu-buru sampai aku menabrak seorang pria, akhirnya buku-buku dan mapku jatuh bertebaran kemana-mana. Aku memita maaf kepadanya dan cepat-cepat mengambil semua barangku yang jatuh. Aku bergegas pergi ke kelas. Untunglah aku tidak terlambat. Aku meletakkan semua barangku di meja. Aku baru sadar, pria yang aku tabrak tadi adalah teman sekelasku yang bernama George. Kelas di mulai dan aku mulai jenuh dengan semua aktivitas yang melelahkan ini.

***

          Aku menghitung waktu, detik demi detik dengan jemariku. Terasa lama sekali. Aku mulai tersiksa dengan semua hal yang harus aku lakukan disini, aku mungkin punya banyak teman yang baik, yang selalu memberikan perhatian padaku. Namun, tetap aku merasa sendiri. Aku hanya bisa mengungkapkan semua rasa yang ada dalam diri dan menerjemahkannya ke dalam sebuah buku setelah ibu tidak bersamaku. Aku sangat merindukannya, saat aku sedang terpuruk, ibu adalah orang yang selalu memberiku semangat setiap waktu. Aku ingin segera kembali, pulang dan memeluk ibu. Aku benar-benar merindukan ibu.

            Aku berusaha menghubungi ibu, aku mengirim pesan lewat e-mail. Namun ibu tak membalasnya. Aku tidak tahu mengapa ibu tidak membalas pesanku. Aku benar-benar bingung. Aku tidak tahu harus bagaimana, aku tidak punya saudara untuk aku hubungi. Aku berusaha untuk berpikir positif, mungkin ibu sedang sibuk. Selang beberapa bulan ibu tetap saja tidak membalas pesan dariku dan tidak ada kabar apapun darinya. Aku semakin curiga dan cemas. Ada apa gerangan dengan ibuku?

            Liburan semester telah tiba, semua mahasiswa punya waktu selama satu bulan untuk berlibur di kampung halaman. Aku sangat bergembira mendengar hal tersebut. Aku sangat bersemangat untuk kembali dan bertemu dengan ibu. Aku ingin memeluknya erat-erat. Hari senin, aku berangkat ke bandara, aku akan pulang ke rumah. Aku sengaja tidak memberi kabar ke ibu karena aku ingin membuat sebuah kejutan kepadanya. Perjalanan terasa benar-benar lama karena aku sudah tidak sabar untuk melihat senyum ibu lagi.

            Akhirnya tujuh jam sudah kuhabiskan di perjalanan udara. Sampai di bandara, lekas aku mencari taksi dan segera pulang. Kebetulan aku tiba di Indonesia di pagi hari, saat fajar memancarkan cahayanya. Burung pipit kembali menyapa pagiku yang luar biasa. Taksi yang aku tumpangi memasuki daerah rumah ibu, dan akhirnya parkir di depan rumah. Aku mengangkat kaki dan mengijakkannya di pelataran rumah.

            Aku terheran mengapa suasana rumah begitu sanyu. Aku melihat sebuah bendera kuning berkibar di sebuah pohon di depan rumah. Aku berlari sekencang busur panah, meninggalkan semua barang di dalam taksi, mendobrak pintu depan dan melihat banyak warga gereja yang sedang berdoa. Di tengah lingkaran yang mereka buat saat berdoa, aku melihat seorang wanita yang terbaring lemah dengan wajah pucat. Aku perhatikan baik-baik. Itu adalah ibu. Aku berlari dan memeluk ibu yang sudah tidak bernyawa.

“ Ibu.... ibu bangun! Ibu, Alen sudah pulang, Alen disini. Jangan tinggalan Alen bu”

“Ibumu telah kembali ke rumah Bapa, nak. Relakan kepergian dan doakan dia “,  suara seorang wanita sambil memelukku.

            Ini adalah kenyataan yang harus aku hadapi. Ibu telah pergi karena kanker yang di deritanya. Dia tak pernah bercerita kepadaku perihal ini. Aku benar-benar hancur. Aku terjatuh dan tidak sadarkan diri. Yang aku ingat ketika aku terbangun adalah aku berharap itu semua adalah mimpi. Namun tidak, semua adalah kenyataan. Pendeta meminta untuk segera memakamkan ibu. Aku rasanya tidak mampu untuk berjalan lagi. Namun aku tak mau menjadi anak durhaka yang tidak mengantar ibu ke peristirahatan terakhirnya. Badanku terasa lemas dan nafasku terasa sesak. Aku tidak dapat menghentikan air mata yang mengalir seperti sungai.

Proses pemakaman terasa begitu haru. Aku menjerit saat aku melihat sebuah peti dikubur yang di dalamnya adalah ibuku. Kembali aku tidak sadarkan diri. Setelah aku bangun, aku sudah berada di atas ranjang milik ibu, aku rindu ibu. Aku rindu kehangatanmu ibu.

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun