Mohon tunggu...
Sosbud

Rindu

1 November 2015   19:43 Diperbarui: 3 November 2015   12:58 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Seminggu ospek telah berakhir. Cerita kami akan berbeda kembali. Hari pertama masuk kuliah, aku bertemu dengan seorang dosen yang terlihat menakutkan. Nampaknya dia sedikit galak. Dia mulai memperkenalkan dirinya dan menjelaskan secara singkat materi dasar perkuliahan kami. Setelah itu, dia memberikan tugas-tugas yang cukup banyak kepada semua mahasiswanya. Hal yang sama dilakukan oleh dosen-dosen lainnya. Ini benar-benar melelahkan bagiku karena aku warga baru di suatu kounitas yang tak pernah kutahu bagaimana sistem yang bekerja disana. Aku cukup kesulitan dengan itu semua.

            Pagi itu cukup melelahkan bagiku, aku terlambat bangun karena mentari sedang bersembunyi dibalik mendung. Aku bergegas pergi ke kampus karena ada kelas untuk hari ini. Aku terburu-buru sampai aku menabrak seorang pria, akhirnya buku-buku dan mapku jatuh bertebaran kemana-mana. Aku memita maaf kepadanya dan cepat-cepat mengambil semua barangku yang jatuh. Aku bergegas pergi ke kelas. Untunglah aku tidak terlambat. Aku meletakkan semua barangku di meja. Aku baru sadar, pria yang aku tabrak tadi adalah teman sekelasku yang bernama George. Kelas di mulai dan aku mulai jenuh dengan semua aktivitas yang melelahkan ini.

***

          Aku menghitung waktu, detik demi detik dengan jemariku. Terasa lama sekali. Aku mulai tersiksa dengan semua hal yang harus aku lakukan disini, aku mungkin punya banyak teman yang baik, yang selalu memberikan perhatian padaku. Namun, tetap aku merasa sendiri. Aku hanya bisa mengungkapkan semua rasa yang ada dalam diri dan menerjemahkannya ke dalam sebuah buku setelah ibu tidak bersamaku. Aku sangat merindukannya, saat aku sedang terpuruk, ibu adalah orang yang selalu memberiku semangat setiap waktu. Aku ingin segera kembali, pulang dan memeluk ibu. Aku benar-benar merindukan ibu.

            Aku berusaha menghubungi ibu, aku mengirim pesan lewat e-mail. Namun ibu tak membalasnya. Aku tidak tahu mengapa ibu tidak membalas pesanku. Aku benar-benar bingung. Aku tidak tahu harus bagaimana, aku tidak punya saudara untuk aku hubungi. Aku berusaha untuk berpikir positif, mungkin ibu sedang sibuk. Selang beberapa bulan ibu tetap saja tidak membalas pesan dariku dan tidak ada kabar apapun darinya. Aku semakin curiga dan cemas. Ada apa gerangan dengan ibuku?

            Liburan semester telah tiba, semua mahasiswa punya waktu selama satu bulan untuk berlibur di kampung halaman. Aku sangat bergembira mendengar hal tersebut. Aku sangat bersemangat untuk kembali dan bertemu dengan ibu. Aku ingin memeluknya erat-erat. Hari senin, aku berangkat ke bandara, aku akan pulang ke rumah. Aku sengaja tidak memberi kabar ke ibu karena aku ingin membuat sebuah kejutan kepadanya. Perjalanan terasa benar-benar lama karena aku sudah tidak sabar untuk melihat senyum ibu lagi.

            Akhirnya tujuh jam sudah kuhabiskan di perjalanan udara. Sampai di bandara, lekas aku mencari taksi dan segera pulang. Kebetulan aku tiba di Indonesia di pagi hari, saat fajar memancarkan cahayanya. Burung pipit kembali menyapa pagiku yang luar biasa. Taksi yang aku tumpangi memasuki daerah rumah ibu, dan akhirnya parkir di depan rumah. Aku mengangkat kaki dan mengijakkannya di pelataran rumah.

            Aku terheran mengapa suasana rumah begitu sanyu. Aku melihat sebuah bendera kuning berkibar di sebuah pohon di depan rumah. Aku berlari sekencang busur panah, meninggalkan semua barang di dalam taksi, mendobrak pintu depan dan melihat banyak warga gereja yang sedang berdoa. Di tengah lingkaran yang mereka buat saat berdoa, aku melihat seorang wanita yang terbaring lemah dengan wajah pucat. Aku perhatikan baik-baik. Itu adalah ibu. Aku berlari dan memeluk ibu yang sudah tidak bernyawa.

“ Ibu.... ibu bangun! Ibu, Alen sudah pulang, Alen disini. Jangan tinggalan Alen bu”

“Ibumu telah kembali ke rumah Bapa, nak. Relakan kepergian dan doakan dia “,  suara seorang wanita sambil memelukku.

            Ini adalah kenyataan yang harus aku hadapi. Ibu telah pergi karena kanker yang di deritanya. Dia tak pernah bercerita kepadaku perihal ini. Aku benar-benar hancur. Aku terjatuh dan tidak sadarkan diri. Yang aku ingat ketika aku terbangun adalah aku berharap itu semua adalah mimpi. Namun tidak, semua adalah kenyataan. Pendeta meminta untuk segera memakamkan ibu. Aku rasanya tidak mampu untuk berjalan lagi. Namun aku tak mau menjadi anak durhaka yang tidak mengantar ibu ke peristirahatan terakhirnya. Badanku terasa lemas dan nafasku terasa sesak. Aku tidak dapat menghentikan air mata yang mengalir seperti sungai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun