Kurun beberapa hari terakhir, jagad maya dihebohkan dengan sebuah video amatir seorang pria yang digebuki rame-rame setelah dirinya kedapatan ngamuk di sebuah resepsi perkawinan—yang belakangan diketahui sebagai resepsi pernikahan mantan pacarnya sendiri.
Publik pun ikut geger. Lalu seperti biasa, netizen sibuk menyinyiri tindakan nekat yang dilakukan pria ini. Tidak puas nyinyir, mereka bahkan menertawakan kejadian konyol tapi cukup bikin trenyuh ini. Lagian kalau masih cinta, kenapa pakai acara datang ke kawinan mantan segala sih?
Saya sendiri awalnya mengira berita tersebut hanya rekaan orang-orang iseng yang gagal move on saja, seperti yang sudah sering terjadi. Tapi setelah melihat langsung video tersebut, saya kok rasanya pengen garuk-garuk tembok ya? Alih-alih menertawakan kelakuan anarkis yang bersangkutan, saya justru merasa empati padanya.
Tapi begini, Mas, rasanya ada yang perlu saya sampaikan mengenai perkara asmara dan tinggal-meninggalkan seperti ini.
Pertama, bahwa saya sedikit pun tidak ingin dan tidak akan pernah menertawakan kejadian tersebut adalah benar adanya, sebab saya juga tengah berada dalam situasi yang sama—saya tahu persis rasanya jadi sampeyan. Ditinggal menikah orang yang kita cintai dalam keadaan lagi gandrung-gandrungnya memang sangat menyakitkan.
Sakit hati, galau, kecewa, cemburu, marah, dan semua emosi negatif sudah pasti berkecamuk dalam dada dan pikiran, membikin makan tak enak tidur tak nyenyak. Wajar karena kita manusia biasa. Ini pasti, harap tidak usah dimungkiri.
Sebagai hamba Tuhan yang lemah hati dan imannya, saya juga nangis kejer sejadi-jadinya. Tak cukup banjir air mata, saya pun turut ngamuk pada hari pernikahan mantan saya. Sama seperti yang sampeyan lakukan, tapi caranya saja yang berbeda.
Saya memilih ngamuk dengan cara yang lebih elegan dan terpelajar sejak dalam pikiran. Saya ngamuk via media lain; semua kekesalan, sakit hati, dan rasa kecewa saya tumpahkan lewat tulisan, sembari terus menguat-nguatkan diri bahwa yang dicintai sudah benar-benar pergi.
Kalau mau ngamuk, ya ngamuklah dengan elegan.
Tindakan ngamuk di resepsi pernikahan mantan itu kok rasanya percuma ya? Iya, saya bisa mengerti, rasanya pasti sakit hati bukan main, tapi apa tidak ada cara lain yang lebih high-class buat melampiaskan kekecewaan? Nyatanya, malah diri sendiri tho yang diamuk massa? Kalau begitu caranya, bukan cuma hati yang babak belur, tapi muka juga.
Melampiaskan emosi dan rasa kecewa memang sah-sah saja, tidak dilarang, malah sangat dianjurkan. Tapi kalau caranya ngamuk sampai banting-banting kursi gitu, duh… Tahu nggak kalau tindakan anarkis yang demikian malah membuat sang mantan beserta keluarga besarnya mengucap syukur Alhamdulillah sebab mereka nggak jadi mendapuk situ sebagai bagian dari keluarga besarnya setelah kelakuan brutal tempo hari?
Lagian, mau diamuk seradikal apa pun, mantan yang dicintai sepenuh jiwa raga juga nggak bakal mau kembali ke haribaan sampeyan. Dia lebih memilih yang lain dan itu kenyataan. Getir memang, tapi mau tidak mau harus dihadapi juga kan?
Jadi, rasanya kok percuma saja ngamuk-ngamuk bak orang kesurupan model begitu. Lagi pula, situ bukan satu-satunya mamalia di Tanah Air yang ditinggal menikah lho, Mas. Banyak juga di luaran sana yang mengalami nasib yang sama. Ambil positifnya saja, situ masih waras jasmani (meskipun bisa jadi rohaninya agak anget), sebab saya punya teman yang ujungnya gila karena asmara. Orangnya cantik dan rajin ngaji, tapi belakangan sering prengas-prenges sendiri. Ngeri.
Kalau ngerasa masih pengen ngamuk, ya silakan. Tapi tolong dicatat ya, ngamuklah dengan sopan dan elegan. Coba tekuni sesuatu yang bisa bikin senang. Kalau hobinya tidur, ya tidurlah sepuas mungkin. Kalau senang mancing, ya mancinglah sampai bisa bawa pulang ikan duyung.
Saya nggak nyuruh sampeyan buat ikhlas, rela, dan menerima segala teori patah hati lainnya lho ya, sebab saya sendiri juga belum bisa sepenuhnya ikhlas melepas mantan saya yang menikah belum lama ini. Tapi gini, ada satu hal yang perlu disadari dan tolong jangan dieyeli; bahwa seradikal apa pun kita ngamuk, seanarkis apa pun kita protes, tetap semua tidak akan mengubah keadaan. Dia sudah jadi milik orang lain. Tuhan saksinya. Lalu, kita mau apa?
Terakhir, berbahagialah karena masih bisa merasakan cinta sedalam itu meskipun pada akhirnya kalian tidak bisa bersama. Sebab kata Mbah Pram, mereka yang bisa mencintai sebegitu kuat berarti bukan boneka.
Wis ah. Sing sabar yo, Mas. Semoga segera diberi ganti yang lebih semledot. Amin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H