Seiring  dengan maraknya aksi demo menolak UU Cipta Kerja yang disahkan oleh DPR pada tanggal 5 Oktober 2020, kata anarkisme dan anarkis sering dipakai oleh pejabat, aparat, ataupun masyarakat umum untuk merujuk pada kerusuhan, perusakan, atau penggunaan kekerasan dalam aksi demo. Â
Dari perusakan halte di Jakarta, terbakarnya resto di Jogjakarta, dan kerusakan di beberapa kota lainnya, muncul tuduhan bahwa telah terjadi anarkisme dalam aksi penolakan UUCK dan pelakunya disebut anarkis.Â
Di Jogjakarta ada demo anti demo dengan spanduk bertuliskan: Warga Jogja Siap Melawan Pelaku Anarkisme. Â Di media sosial beredar foto spanduk berbunyi: Anarkis sama dengan PKI. Â Kata anarkisme dan anarkis menjadi populer.
Tulisan ini bermaksud untuk menunjukkan bahwa kata anarkisme dan anarkis yang seringkali dipakai dalam konteks tersebut adalah kurang tepat, dan selanjutnya akan sedikit diulas apa itu anarkisme.
Dalam KBBI, kata anarki ditakrifkan sebagai (1) hal tidak adanya pemerintahan, undang-undang, peraturan, atau ketertiban; (2) kekacauan (dalam suatu negara). Kata anarkisme diartikan sebagai "ajaran (paham) yang menentang setiap kekuatan negara; teori politik yang tidak menyukai adanya pemerintahan dan undang-undang." Â Adapun kata anarkis diartikan sebagai (1) penganjur (penganut) paham anarkisme; (2) orang yang melakukan tindak anarki.
Dari takrif-takrif dalam KBBI tersebut bisa dilihat bahwa anarkisme tidak ada hubungannya dengan perusakan fasilitas publik ataupun pribadi. Anarkisme adalah suatu ajaran, paham, atau teori politik.
Â
Anarkisme berasal dari kata Yunani archon, yang berarti penguasa, dan awalan an yang berarti tanpa. Dengan demikian, anarki berarti keadaan tanpa penguasa. Anarkisme  bisa diartikan  sebagai suatu  pemikiran yang  mempercayai  bahwa permerintah adalah sumber dari sebagian besar masalah sosial.  Â
Pemikiran ini juga berpandangan bahwa ada berbagai bentuk pengorganisasian alternatif yang mungkin diterapkan. Pendefinisian lebih lanjut membawa kita pada pengertian bahwa seorang anarkis adalah seseorang yang berusaha menciptakan masyarakat tanpa  pemerintah.   Jadi  yang ditolak  oleh kaum anarkis adalah pemerintah/negara.
Tulisan George  Woodcock  berjudul  Anarchism:  A  Historical  Introduction (1977) sangat membantu dalam penelusuran asal-usul anarkisme.  Kendatipun nama anarkisme  belum dipakai,  akar-akar  pemikiran anarkisme  bisa ditemui dalam pemikiran libertarian, yang beranggapan bahwa manusia sebagai mahluk moral bisa hidup dengan paling baik tanpa dipimpin oleh orang lain, yang sudah ada dalam pemikiran para filsuf Cina dan  Yunani kuno, dan juga pada sekte-sekte Kristen heretik Abad Pertengahan. Â
Pemikiran filosofis anarkis yang masih belum mendapatkan  nama  mulai  muncul  pada  periode  Renaisans  dan Reformasi, antara abad lima belas dan tujuh belas, dan semakin berkembang di abad delapan belas menjelang Revolusi Prancis dan  Revolusi Amerika  yang menandai awal jaman modern.  Namun sebagai suatu gerakan untuk mengubah masyarakat dengan cara kolektif, anarkisme menjadi milik abad sembilan belas dan  abad  dua puluh.
Adalah  penulis  dan  teoretisi  Prancis  Pierre  Joseph Proudhon orang pertama yang menyatakan dirinya sebagai anarkis. Pada tahun 1840  Proudhon  menerbitkan  karyanya Qu'est-ce que la Propriete? (What  is  Property?) yang  sangat berpengaruh pada lingkaran kaum radikal abad sembilan betas.  Dalam tulisan itu dia menyatakah bahwa hak milik adalah pencurian.  Pernyataannya yang menjadi  salah  satu  slogan  abad  itu  mengidentifikasikan  kapitalisme  dan pemerintah sebagai dua musuh utama kebebasan. Â
Selain Proudhon, ada banyak nama yang dikaitkan dengan anarkisme, antara lain Michael Bakunin, Peter Kropotkin, Errico Malatesta, Leo Tolstoy. Â
Untuk contoh anarkis mutakhir kita bisa menyebut Noam Chomsky, yang dalam suatu wawancara mengatakan bahwa banyak orang yang terkejut ketika  dia  berpendapat  positif  atas  anarkisme  dan mengasosiasikan dirinya dalam tradisi  ini (Red & Black Revolution  No. 2,  1996).
Yang perlu diperhatikan adalah  bahwa anarkisme  bukanlah  dogma,  dalam  pengertian  suatu sistem  pemikiran  tertutup  yang  mengklaim  adanya  kebenaran  mutlak.   Ketika seorang  pengagum  memuji  sistem  Proudhon,  dengan  kaget  Bapak  "daripada" Anarkisme  Modern  ini  menjawabnya:  "Apa?  Sistem  saya?  Saya  tidak  punya sistem."  Proudhon  tidak  mempercayai  bangunan  teoretis  apapun  sebagaimana dia tidak  mempercayai  struktur  pernerintahan.
Di situlah letak perbedaan antara anarkisme dengan Marxisme. Â Walaupun sama-sama memperjuangkan kebebasan manusia, Marxisme masih mempercayai bahwa negara bisa dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuannya, sementara anarkisme tidak.
Proudhon dan Marx hidup di jaman yang sama, dan mereka pernah bertemu, berdebat dan berpolemik lewat tulisan-tulisan mereka. Â Karena adanya beberapa perbedaan fundamental keduanya harus berpisah jalan.
Sementara itu, di dalam anarkisme itu sendiri ada banyak variannya seperti anarkisme individual, anarkisme kolektif, anarkisme komunis, anarkisme sindikalis, anarkisme hijau, dan lain-lain.
Di Indonesia, anarkisme bukanlah suatu paham yang barusan muncul akhir-akhir ini. Â Paham ini sudah ada sejak jaman kolonialisme Belanda, sebagaimana diungkap oleh Bima Satria Putra dalam dua bukunya, yaitu Perang yang Tidak Akan Kita Menangkan: Anarkisme dan Sindikalisme dalam Pergerakan Kolonial hingga Revolusi Indonesia (1908 -- 1948)Â dan Di Bawah Bendera Hitam.
Menurut Bima Satria Putra, peran kaum anarkis tidak begitu nampak dalam sejarah Indonesia dikarenakan "kebutaan ideologi" para pejabat dan kepolisian kolonial yang membuat laporan dokumentasi gerakan kiri. Â Ada semacam homogenisasi ideologi, di mana istilah 'kiri', 'sosialis', 'anarkis', dan 'komunis' dipakai secara serampangan dan untuk memudahkan semuanya dianggap 'komunis'. Â
Dan apa yang terjadi akhir-akhir ini ada mirip-miripnya. Kerusuhan dan perusakan fasilitas umum atau pribadi yang terjadi dalam aksi demo dikatakan sebagai anarkisme atau anarkis, bahkan ada yang mengkaitkannya dengan PKI. Â
Mumpung bulan Oktober ini adalah bulan bahasa, saya ingin mengingatkan gunakanlah bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Â Stop penggunaan istilah anarkisme secara ugal-ugalan. Â Gunakan label yang benar untuk konsep yang diwakilinya. Â Bahasa menunjukkan isi kepala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H