Mohon tunggu...
Edy Sukrisno
Edy Sukrisno Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

I've always wondered if there was a god. And now I know there is -- and it's me. ~Homer Simpson

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Stop Penggunaan Istilah Anarkisme Secara Ugal-ugalan

23 Oktober 2020   16:50 Diperbarui: 23 Oktober 2020   20:12 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Spanduk bertuliskan "Anarkis sama dengan PKI" di JPO, Jl. Merdeka Barat, Jakarta Pusat (Sumber: TribunJakarta.com)

Untuk contoh anarkis mutakhir kita bisa menyebut Noam Chomsky, yang dalam suatu wawancara mengatakan bahwa banyak orang yang terkejut ketika   dia  berpendapat   positif  atas  anarkisme   dan mengasosiasikan dirinya dalam tradisi  ini (Red & Black Revolution  No. 2,  1996).

Yang perlu diperhatikan adalah  bahwa anarkisme  bukanlah  dogma,  dalam  pengertian  suatu sistem  pemikiran   tertutup   yang  mengklaim   adanya  kebenaran   mutlak.    Ketika seorang   pengagum   memuji  sistem  Proudhon,   dengan   kaget  Bapak  "daripada" Anarkisme   Modern   ini  menjawabnya:   "Apa?   Sistem  saya?  Saya  tidak   punya sistem."  Proudhon  tidak  mempercayai   bangunan   teoretis  apapun  sebagaimana dia tidak  mempercayai   struktur  pernerintahan.

Di situlah letak perbedaan antara anarkisme dengan Marxisme.  Walaupun sama-sama memperjuangkan kebebasan manusia, Marxisme masih mempercayai bahwa negara bisa dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuannya, sementara anarkisme tidak.

Proudhon dan Marx hidup di jaman yang sama, dan mereka pernah bertemu, berdebat dan berpolemik lewat tulisan-tulisan mereka.  Karena adanya beberapa perbedaan fundamental keduanya harus berpisah jalan.

Sementara itu, di dalam anarkisme itu sendiri ada banyak variannya seperti anarkisme individual, anarkisme kolektif, anarkisme komunis, anarkisme sindikalis, anarkisme hijau, dan lain-lain.

Di Indonesia, anarkisme bukanlah suatu paham yang barusan muncul akhir-akhir ini.  Paham ini sudah ada sejak jaman kolonialisme Belanda, sebagaimana diungkap oleh Bima Satria Putra dalam dua bukunya, yaitu Perang yang Tidak Akan Kita Menangkan: Anarkisme dan Sindikalisme dalam Pergerakan Kolonial hingga Revolusi Indonesia (1908 -- 1948) dan Di Bawah Bendera Hitam.

Menurut Bima Satria Putra, peran kaum anarkis tidak begitu nampak dalam sejarah Indonesia dikarenakan "kebutaan ideologi" para pejabat dan kepolisian kolonial yang membuat laporan dokumentasi gerakan kiri.  Ada semacam homogenisasi ideologi, di mana istilah 'kiri', 'sosialis', 'anarkis', dan 'komunis' dipakai secara serampangan dan untuk memudahkan semuanya dianggap 'komunis'.  

Dan apa yang terjadi akhir-akhir ini ada mirip-miripnya. Kerusuhan dan perusakan fasilitas umum atau pribadi yang terjadi dalam aksi demo dikatakan sebagai anarkisme atau anarkis, bahkan ada yang mengkaitkannya dengan PKI.  

Mumpung bulan Oktober ini adalah bulan bahasa, saya ingin mengingatkan gunakanlah bahasa Indonesia dengan baik dan benar.  Stop penggunaan istilah anarkisme secara ugal-ugalan.  Gunakan label yang benar untuk konsep yang diwakilinya.  Bahasa menunjukkan isi kepala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun