Apabila timbul permasalahan atau perselisihan hubungan industrial, jalur bipartit bisa dipakai, di mana pengusaha dan pekerja bermusyawarah untuk mengupayakan kesepakatan untuk penyelesaian masalah. Ketika jalur bipartit menemui jalan buntu, tingkat berikutnya adalah jalur tripartit, di mana pemerintah, dalam hal ini melalui Disnaker, dilibatkan untuk melakukan mediasi. Apabila mediasi ini gagal, akan diupayakan penyelesaian masalah lewat pengadilan hubungan industrial.
Apakah Nasib Pekerja Kontrak Akan Lebih Baik di Bawah UU Cipta Kerja? Melihat apa yang terjadi selama ini, saya tidak melihat adanya perbedaan signifikan antara pasal 59 UU no. 13 tahun 2003 dan pasal 59 UU Cipta Kerja kecuali di pembatasan jangka waktu perjanjian.
Tidak banyak yang bisa dibahas untuk soal ini, karena dalam salah satu versi draf yang beredar, pasal 59 ayat 4 UU Cipta Kerja dinyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Ketentuan yang berjalan sekarang pun (UU no. 13 tahun 2003) belum bisa sepenuhnya ditaati oleh pengusaha. Fungsi pengawasan yang ada di instansi yang bertanggungjawab selama ini juga belum berjalan secara optimal.
Jadi, peraturan sebaik apapun bila tidak ada komitmen semua pihak untuk mentaatinya tidak akan banyak berpengaruh pada nasib pekerja kontrak.
Semoga peraturan pemerintah yang diturunkan dari UU Cipta Kerja membawa kebaikan bagi seluruh pekerja dan rakyat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H