Perihal orang ateis yang tidak boleh takut pada hantu adalah salah satu dari banyak salah paham, dan sekaligus salah kaprah tentang orang ateis dalam masyarakat. Â
Selain itu, ada banyak salah paham dan salah kaprah antara lain: ateis tidak bermoral, ateis tidak punya tujuan hidup, ateis arogan, ateis sama dengan komunis, yang tentu saja tidak benar.
Namun demikian, tulisan ini hanya akan berfokus pada perihal orang ateis tidak boleh takut hantu saja. Bukan yang lain-lain.
Sebelumnya, kita akan meninjau apa itu ateisme dan orang seperti apa yang dimaksud dengan ateis.
Dalam KBBI, ateisme ditakrifkan sebagai "paham yang tidak mengakui adanya Tuhan" dan ateis ditakrifkan sebagai "orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan." Â
Tidak ada masalah dengan kedua takrif tersebut, karena keduanya diterima oleh sebagian besar orang.
Justru bagian dari takrif tersebut menjadi problematik ketika kita mencoba menggali lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan kata atau konsep Tuhan. Â
Ada beberapa agama monoteis yang mengakui keberadaan satu tuhan. Apakah konsep Tuhan yang ada dalam monoteisme merujuk pada sosok transendental yang sama?
Sementara, ada agama politeis yang mempercayai beberapa Tuhan/Dewa. Apakah semua tuhan di dalam agama tersebut mempunyai kemampuan dan sifat yang setara?
Selain itu, ada juga agama non-teistik, yang tidak mengenal konsep Tuhan personal. Misalnya, dalam Buddhisme ada sekte yang melihat Tuhan dalam konsep negatif, yaitu bukan yang ini dan bukan yang itu atau bukan seperti pengertian monoteisme.
Bahkan, kalau kita menelusur lewat Google disebutkan bahwa ada ribuan Tuhan yang disembah umat manusia dari dulu hingga sekarang. Tentu saja ini termasuk Dewa-Dewi yang ada dalam berbagai peradaban dunia.
Kalau Anda mempercayai keberadaan satu tuhan dan menolak keberadaan Tuhan yang lainnya, apakah Anda bisa disebut ateis? Tentu saja bisa.
Sekadar ilustrasi, misalnya ada sepuluh Tuhan, dan Anda mempercayai keberadaan satu Tuhan saja, otomatis Anda menjadi ateis bagi mereka yang mempercayai sembilan Tuhan lainnya.
Konsep Tuhan memang problematik. Jadi, bisa dimengerti kalau pertikaian soal Tuhan antar mereka yang mempercayai Tuhan lebih sering terjadi ketimbang pertikaian antara mereka yang percaya Tuhan dan mereka yang tidak mempercayai Tuhan.
Meskipun konsep Tuhan itu problematik, yang dimaksud dengan ateis dalam tulisan ini adalah orang yang tidak mempercayai semua Tuhan tanpa kecuali. Â
Ada sejumlah alasan mengapa ateis tidak mempercayai Tuhan. Dari kekecewaan pribadi karena melihat perilaku manusia ber-Tuhan hingga pertimbangan masak setelah mempelajari dogma-dogma keyakinan bisa membuat orang memilih menjadi ateis. Â
Elie Wiesel, penerima Nobel Perdamaian tahun 1986 dan salah satu penyintas Holocaust yang mengerikan itu, menanggalkan keyakinannya pada Tuhan saat berada dalam camp konsentrasi Nazi. Â
Filsuf besar seperti Karl Marx dan Friedrich Nietzsche bahkan sebenarnya lahir, tumbuh, dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang religius. Jadi, ateis bisa lahir dari lingkungan yang religius sekalipun.
Sementara itu, kelompok new atheist, seperti Richard Dawkins, Christopher Hitchens, Sam Harris, tampaknya menjustifikasi keateisannya dengan berdasarkan sains. Mereka menolak gagasan Tuhan karena bertentangan dengan kaidah-kaidah rasional keilmuan.
Karena orang ateis kekinian sebegitu berkhidmatnya pada sains, terus ditarik konsekuensi logisnya bahwa mereka tidak percaya pada hal-hal gaib atau hal-hal yang bersifat metafisika, di mana hantu termasuk di dalamnya.
Orang rasional dan ilmiah kok takut pada sesuatu yang tidak jelas dan tidak ilmiah. Ringkasnya, orang ateis semestinya tidak boleh takut pada hantu.
Namun, tidak ada hak dari satu manusia untuk memaksa manusia lain untuk takut pada hantu. Terlepas ateis atau bukan. Ketakutan pada hantu adalah ketakutan yang wajar, dan merupakan bagian dari hak asasi. Â
Ateis tidak takut pada hantu tidak masalah, dan takut pada hantu pun tidak masalah.Â
Pema Chodron, seorang spiritualis, mengatakan, "Fear is a natural reaction to moving closer to truth." Ketakutan adalah reaksi alami pada semakin mendekat pada kebenaran.
Yang perlu dipahami adalah bahwa rasa takut adalah hal yang wajar bagi manusia. Manusia mesti mempunyai rasa takut. Rasa takut yang melekat pada diri manusia mempunyai fungsi untuk menjaga keberlangsungan hidup. Dalam hidup ini, tiap orang punya ketakutannya masing-masing.
Soal inkonsistensi keyakinan dengan perilaku, barangkali bisa kita tinjau dengan melihat kasus eksperimen pikiran dan psikologi yang dikenal dengan Trolley Problem. Â Â
Sebuah kereta api melaju cepat pada relnya, dan di atas rel ada lima orang yang tidak mengetahui kedatangan kereta api tersebut dan pasti tertabrak mati.
Sebagai petugas rel, Anda mempunyai kuasa untuk menarik tuas untuk mengalihkan arah rel ke jalur lain, tapi di jalur tersebut ada satu orang pekerja.
Jika Anda diam saja, lima orang akan mati, dan jika Anda menarik tuas, dan kereta berbelok, satu orang akan mati. Bagaimana pilihan Anda?
Pada umumnya orang akan memilih menarik tuas, dengan pertimbangan lebih baik mengorbankan satu nyawa untuk menyelamatkan lima.
Bandingkan dengan situasi yang sejenis. Sebuah kereta api melaju dengan kencang, dan ada lima orang di jalur rel yang akan mati tertabrak bila kereta api tidak dihentikan.
Kali ini, Anda berada di atas jembatan, yang di bawahnya kereta api akan melintas. Di depan Anda, berdiri seseorang bertubuh besar.
Bila Anda mendorong orang ini jatuh di depan kereta api, kereta api pun akan berhenti, dan lima nyawa diselamatkan. Apakah Anda akan mendorong orang tersebut untuk menghentikan laju kereta?
Secara perhitungan matematika, kedua situasi tersebut mirip, di mana Anda dihadapkan pada pilihan untuk menyelamatkan lima orang dengan mengorbankan satu nyawa.
Namun dalam situasi kedua, kebanyakan orang tidak memilih untuk mendorong orang yang berdiri di depannya untuk menghentikan laju kereta. Inkonsisten bukan?
Ada banyak variasi dari trolley problem ini, yang salah satunya adalah bagaimana jika satu orang di jalur rel tersebut adalah pasangan Anda atau orang yang Anda cintai.
Secara keseluruhan, poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa setiap manusia mempunyai rasa takutnya masing-masing, dan selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tidak gampang. Dan untuk mengatasi rasa takut dan membuat pilihan, seringkali tidak bisa konsisten. Â
Dalam banyak kasus, tampaknya, pilihan emosional lebih berperan ketimbang pilihan rasional. Dan ini dimanfaatkan oleh para penjaja barang dan jasa yang tidak semua dagangannya benar-benar kita butuhkan.
Jadi, kesimpulan tulisan ini adalah bahwa fenomena ateis yang takut hantu, yang tampaknya aneh dan inkonsisten secara logika, itu wajar. Sewajar bos preman pemberani dan tidak takut mati yang nyalinya malah ciut ketika berhadapan dengan istrinya. Â
Orang ateis juga seperti manusia pada umumnya yang punya rasa takut.
Inkonsistensi seperti ini sama sekali tidak bisa disamakan dengan pejabat negara yang melakukan tindak korupsi atas uang rakyat atau agamawan yang melakukan pelecehan seksual atau tindakan cabul terhadap pengikutnya. Â
Dua hal terakhir tersebut wajib dikutuk keras karena tindakan mereka adalah aksi extraordinary crime yang menimbulkan dampak kerusakan yang tidak dapat diperbaiki lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H