Kali ini, Anda berada di atas jembatan, yang di bawahnya kereta api akan melintas. Di depan Anda, berdiri seseorang bertubuh besar.
Bila Anda mendorong orang ini jatuh di depan kereta api, kereta api pun akan berhenti, dan lima nyawa diselamatkan. Apakah Anda akan mendorong orang tersebut untuk menghentikan laju kereta?
Secara perhitungan matematika, kedua situasi tersebut mirip, di mana Anda dihadapkan pada pilihan untuk menyelamatkan lima orang dengan mengorbankan satu nyawa.
Namun dalam situasi kedua, kebanyakan orang tidak memilih untuk mendorong orang yang berdiri di depannya untuk menghentikan laju kereta. Inkonsisten bukan?
Ada banyak variasi dari trolley problem ini, yang salah satunya adalah bagaimana jika satu orang di jalur rel tersebut adalah pasangan Anda atau orang yang Anda cintai.
Secara keseluruhan, poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa setiap manusia mempunyai rasa takutnya masing-masing, dan selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tidak gampang. Dan untuk mengatasi rasa takut dan membuat pilihan, seringkali tidak bisa konsisten. Â
Dalam banyak kasus, tampaknya, pilihan emosional lebih berperan ketimbang pilihan rasional. Dan ini dimanfaatkan oleh para penjaja barang dan jasa yang tidak semua dagangannya benar-benar kita butuhkan.
Jadi, kesimpulan tulisan ini adalah bahwa fenomena ateis yang takut hantu, yang tampaknya aneh dan inkonsisten secara logika, itu wajar. Sewajar bos preman pemberani dan tidak takut mati yang nyalinya malah ciut ketika berhadapan dengan istrinya. Â
Orang ateis juga seperti manusia pada umumnya yang punya rasa takut.
Inkonsistensi seperti ini sama sekali tidak bisa disamakan dengan pejabat negara yang melakukan tindak korupsi atas uang rakyat atau agamawan yang melakukan pelecehan seksual atau tindakan cabul terhadap pengikutnya. Â
Dua hal terakhir tersebut wajib dikutuk keras karena tindakan mereka adalah aksi extraordinary crime yang menimbulkan dampak kerusakan yang tidak dapat diperbaiki lagi.