Mohon tunggu...
Edy Sukrisno
Edy Sukrisno Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

I've always wondered if there was a god. And now I know there is -- and it's me. ~Homer Simpson

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Merundung Jomlo adalah Gejala Penyakit Mental

24 Agustus 2020   15:30 Diperbarui: 27 Agustus 2020   14:15 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi sesama jomlo yang mendapat perundungan. (sumber: pexels)

Saya menggunakan kata merundung alih-alih membully, dan kata jomlo alih-alih jomblo semata-mata untuk mencoba membiasakan diri dengan kosa kata baku Bahasa Indonesia. Baiklah. Mari kita mulai.  

Jomlo nampaknya merupakan sasaran empuk untuk dirundung secara terstruktur, sistematik, dan masif di masyarakat.

Mengolok-olok jomlo diterima sebagai kewajaran, bahkan Ridwan Kamil, sebagai pejabat publik pun mengekspresikan obsesi akan jomlo dalam bentuk kebijakan pembuatan Taman Jomblo di Bandung, yang diresmikan pada 14 Januari 2014.

Saya tidak menemukan data resmi populasi jomlo di Indonesia, namun data BPS menunjukkan bahwa jumlah lajang atau orang yang belum menikah mengalami tren peningkatan dalam empat dekade terakhir. 

Sensus BPS tahun 2010 menyebutkan bahwa 1 dari 14 orang berusia 30-39 tahun belum pernah menikah, dan jumlah itu diprediksikan meningkat pada sensus berikutnya 2020.

Tentunya peningkatan jumlah jomlo di Indonesia adalah kabar gembira bagi para perundung jomlo, karena bertambahnya jumlah target rundungan. Bukankah begitu? Bukan.

Justru sebaliknya. Saya lebih suka melihat bahwa tren peningkatan jumlah jomlo di tanah air sebagai bentuk semacam budaya tanding bagi mereka yang suka merundung jomlo.

Ada semacam persepsi umum bahwa normalnya tahapan kehidupan adalah lahir, dewasa, menikah, punya anak, dan meninggal. Persepsi ini didukung oleh pandangan agama tertentu bahwa orang tua punya kewajiban menikahkan anak. Konsekuensi logisnya adalah bahwa hidup melajang dilarang agama.

Karena tekanan kebudayaan dan agama tersebut banyak orang yang gemas atau mungkin gusar melihat kaum jomlo yang  seolah olah melawan kodrat yang sudah ditentukan oleh Tuhan.

Kegusaran tersebut kadang diekspresikan secara kasar dalam bentuk perundungan bergradasi dari paling halus hingga paling kasar kasar, dengan harapan kaum jomlo yang dirundung merasa tidak nyaman dan kemudian buru-buru menikah.

Para jomlo mereaksi perundungan ini secara beragam. Ada yang termotivasi menikah, ada yang merasa tersakiti, dan ada yang melawan dengan brutal.  

Pada titik ekstremnya, saya menemukan berita yang dilansir oleh jogja.tribunnews.com (27 Januari 2018) dengan judul Tragis! Sering Di-Bully Lantaran Lama Jomblo, Pemuda Ini Depresi Lalu Nekat Gantung Diri  dan tidak kalah ekstremnya, ada berita di JawaPos.com  (30 Januari 2018) berjudul Kesal Ditanya Kapan Nikah, Pemuda Tega Bunuh Tetangga Sendiri. Sungguh tragis dan memprihatinkan.

Namun kasus-kasus seperti itu nampaknya tidak membuat banyak orang jera dan berhenti mengolok-olok jomlo. Persekusi verbal kepada kaum jomlo terus berlangsung. Apa sebenarnya yang terjadi?

Mari kita telisik dan bongkar ideologi para perundung jomlo dari berbagai segi.

Agresivitas sering kali merupakan ekspresi yang nampak di permukaan untuk menyembunyikan masalah yang akut. Barangkali ini yang terjadi.  

Saya duga banyak pasangan yang tidak bahagia dalam pernikahan mengalihkan isu masalah mereka dengan merundung jomlo.

Bisa jadi juga mereka iri akan kebahagiaan dan kebebasan kehidupan jomlo. Kebahagiaan dan kebebasan – dua hal yang tidak mereka miliki.

Ketimpangan dalam relasi pasangan sudah jamak.  Ada satu pihak yang mendominasi pihak lain. Bisa istri, bisa suami. Bisa pula bergantian.

Mereka pura-pura bahagia di hadapan para jomlo dan meniupkan kesadaran palsu ke para jomlo bahwa kehidupan menikah adalah nikmat dan nikmat sekali.

Watak mereka parpol sekali, suka memberi iming-iming, dan tidak bertanggung jawab atas kenyataan yang zonk kalau saran mereka untuk menikah dituruti.

Sejatinya mereka berusaha menarik para jomlo terperosok pada lubang yang sama.

Perundungan mereka itu bersifat diskriminatif. Mereka melakukan tebang pilih dalam aksi rundung mereka.  Mereka tidak pernah atau barangkali tidak berani merundung para bhiku, romo, dan suster yang sejatinya secara teknis operasional adalah jomlo juga.

Selain itu, perundungan jomlo juga merefleksikan cara berpikir yang kurang maju. Dalam masyarakat maju, apakah orang menikah, menjomlo, ataupun kumpul kebo berada dalam ranah privat yang tidak boleh diusik ataupun direcoki oleh siapapun.  

Dari sejarah agama-agama kita tahu bahwa Tuhan tidak pernah memberikan wahyu kepada para nabi bersama istri atau pasangannya.  

Yesus sampai akhir hayatnya hidup melajang. Sidharta Gautama, seorang pangeran, rela meninggalkan keluarga, istana, dan kekayaannya untuk hidup sendiri melakukan pencarian spiritual dan mengajarkan kebajikan kepada umat manusia.

Dari sini bisa disimpulkan bahwa Tuhan lebih percaya kepada satu orang, ketimbang pasangan, dan hidup menyendiri adalah jalan orang bijak pada jaman dahulu untuk mencari jati diri dan kebenaran.

Tuhan tidak membutuhkan kehadiran pasangan yang diberi wahyu. Hanya bank yang membutuhkan kehadiran pasangan saat Anda mengajukan permohonan utang di bank.

Tren meningkatnya populasi jomlo di beberapa negara, termasuk Indonesia, sebagaimana sudah disinggung di atas bisa dijadikan indikator bahwa hidup melajang semakin diterima sebagai kewajaran.  

Kalau seseorang melakukan sesuatu yang lumrah dan jamak di masyarakat beradab, dan masih dirundung, itu berarti bahwa yang merundung yang bermasalah.

Banyak pernikahan yang tidak bahagia. Sembilan dari sepuluh pernikahan tidak bahagia, yang satu sisanya itupun susah dicari hahaha.

Bila Anda tidak percaya, lihat saja sinetron-sinetron nasional, contohnya program sinetron  Suara Hati Istri setiap sore di Indosiar. Tapi itu kan sinetron, kata Anda. Ingatlah akan ungkapan: reality is stranger than fiction. Realitas itu lebih gila ketimbang fiksi, sodara.

Mereka yang sebenarnya tidak bahagia namun mencitrakan diri sebagai orang yang bahagia dan merundung mereka yang tidak mau mengikuti jalan hidup mereka adalah orang sakit.  

Kehidupan melajang adalah kehidupan yang mandiri, bebas, dan bahagia. Hanya mereka yang sakit mental yang menentang, mengolok-olok, dan merundung kaum jomlo. 

Mereka yang diam menyetujui pendapat ini, dan mereka yang menolaknya berarti melakukan penyangkalan atas kebenaran. Ituh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun