Selain itu, perundungan jomlo juga merefleksikan cara berpikir yang kurang maju. Dalam masyarakat maju, apakah orang menikah, menjomlo, ataupun kumpul kebo berada dalam ranah privat yang tidak boleh diusik ataupun direcoki oleh siapapun. Â
Dari sejarah agama-agama kita tahu bahwa Tuhan tidak pernah memberikan wahyu kepada para nabi bersama istri atau pasangannya. Â
Yesus sampai akhir hayatnya hidup melajang. Sidharta Gautama, seorang pangeran, rela meninggalkan keluarga, istana, dan kekayaannya untuk hidup sendiri melakukan pencarian spiritual dan mengajarkan kebajikan kepada umat manusia.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa Tuhan lebih percaya kepada satu orang, ketimbang pasangan, dan hidup menyendiri adalah jalan orang bijak pada jaman dahulu untuk mencari jati diri dan kebenaran.
Tuhan tidak membutuhkan kehadiran pasangan yang diberi wahyu. Hanya bank yang membutuhkan kehadiran pasangan saat Anda mengajukan permohonan utang di bank.
Tren meningkatnya populasi jomlo di beberapa negara, termasuk Indonesia, sebagaimana sudah disinggung di atas bisa dijadikan indikator bahwa hidup melajang semakin diterima sebagai kewajaran. Â
Kalau seseorang melakukan sesuatu yang lumrah dan jamak di masyarakat beradab, dan masih dirundung, itu berarti bahwa yang merundung yang bermasalah.
Banyak pernikahan yang tidak bahagia. Sembilan dari sepuluh pernikahan tidak bahagia, yang satu sisanya itupun susah dicari hahaha.
Bila Anda tidak percaya, lihat saja sinetron-sinetron nasional, contohnya program sinetron  Suara Hati Istri setiap sore di Indosiar. Tapi itu kan sinetron, kata Anda. Ingatlah akan ungkapan: reality is stranger than fiction. Realitas itu lebih gila ketimbang fiksi, sodara.
Mereka yang sebenarnya tidak bahagia namun mencitrakan diri sebagai orang yang bahagia dan merundung mereka yang tidak mau mengikuti jalan hidup mereka adalah orang sakit. Â
Kehidupan melajang adalah kehidupan yang mandiri, bebas, dan bahagia. Hanya mereka yang sakit mental yang menentang, mengolok-olok, dan merundung kaum jomlo.Â