Mata yang seharusnya bisa merasakan apa yang dirasa, justru kini buta warna menyerang dengan pantulan cahayanya.
Terkadang juga, kau melepas kacamatamu, dan hendak pergi kesuatu tempat, kau bisa berkuasa, saat itu malah kau turun dan menggunalan kedua mata kita. Memberikan sesuatu yang menarik empati, tidak dibimbing, lalu ditinggal pergi. Konon ada hubunganya dengan persaingan beberapa mata? Mata apakah itu?
Aku sungguh bingung dengan keadaanku hari ini, membaca dengan bebas pun aku tidak bisa, bayangkan saja, aku buta tetapi setiap hari dicekokiw oleh buku- buku yang tebal selapis baja. Padahal, kan aku buta !
Aku rindu suara- suara itu, nyanyian burung perci di sawah menyanyikan "mina dzulumati ila nuur" sebuah lagu folkore dari daerah terperosok. Yang membunuh para burung dengan melarang burung betina untuk mencari padi di tempatnya.
Kini aku hanya menunggu kapan kau mengembalikan kedua mataku, wajahku telah usang, aku sibuk bermusafir, kesana- kemari, tuli. Hanya berhalusinasi dan berimajinasi, untuk kedua mata kita, yang selalu menatap kedepan, dan menarik yang selalu menatap keatas, untuk melihat kebumi.Â
Disitu aku hidup, tanpa mengerti apapun di kota. Karena aku hanya seorang gadis miskin, yang tak punya apapun kecuali kamu, dan kedua mata kita. Yang aslinya sama- sama seorang teman karib. Tapi dewasa telah melupakanya, candaan kita kink hanyalah sebuah kenangan. Kau tamak, bengis dengan kedua mata kita. Namaku adalah Pertiwi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H