Operasi liberasi Maluku Selatan diluncurkan oleh APRIS via jalur laut kurang lebih satu bulan setelah Konferensi Maluku. Kolonel Alexander Evert Kawilarang ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi satuan unit APRIS yang akan menyerbu wilayah-wilayah kekuasaan Republik Maluku Selatan. Dalam eksekusinya, APRIS memulai serbuan laut dari arah barat ke timur. Pulau Buru yang merupakan wilayah paling barat Republik Maluku Selatan diserang oleh APRIS pada 14 Juli, dimana pulau tersebut jatuh tidak lama setelahnya. Selanjutnya, APRIS melakukan pendaratan ke Pulau Seram 5 hari kemudian. Pertempuran di Pulau Seram lah yang berlangsung paling lama, dimana resistensi Republik Maluku Selatan baru padam secara efektif pada tahun 1956.Â
Jatuhnya Pulau Buru ke tangan APRIS dan sedang terjadinya perebutan Pulau Seram membuka celah bagi APRIS untuk menginvasi Ambon. Invasi ke jantung administratif Republik Maluku Selatan itu terjadi pada 28 September 1950. Kota Ambon yang dijaga oleh para veteran KNIL Maluku terbukti cukup sulit untuk ditaklukan. Hal tersebut menimbulkan beratnya korban jiwa yang diderita oleh kedua pihak dan tewasnya salah satu pemimpin pasukan APRIS, Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Setelah kurang lebih 2 bulan pertempuran, Ambon berhasil ditaklukan pada Bulan November. Kejatuhan Ambon menandakan telah pulihnya kekuasaan Indonesia yang kini sudah meninggalkan sistem federal di Kepulauan Maluku Selatan. Di sisi lain, perebutan Ambon juga menandakan akhir dari eksistensi Republik Maluku Selatan sebagai sebuah negara yang tidak diakui.
Kobaran Api yang Belum Padam: Pemerintahan dalam Pengasingan Republik Maluku Selatan di Belanda
Setelah jatuhnya Ambon, perlawanan Republik Maluku Selatan belum berakhir. Beberapa dari mereka memutuskan untuk melanjutkan perjuangan dengan bergerilya di rimba Pulau Seram. Tentu saja perlawanan yang mereka berikan tidaklah efektif dan bersifat skala kecil. Perlahan, anggota-anggota Republik Maluku Selatan yang bersembunyi di Seram pun berhasil ditangkap atau dieliminasi APRIS. J. H. Manuhutu, Presiden pertama Republik Maluku Selatan, ditangkap pada tahun 1952. Selain dirinya, pionir Republik Maluku Selatan, yaitu Dr. Chris Soumokil sendiri baru berhasil ditangkap setelah 1 dekade bergerilya. Dirinya diringkus pada 2 Desember 1963 sebelum akhirnya dieksekusi 3 tahun kemudian di Kepulauan Seribu.
Selain kasus perang gerilya di Pulau Seram, beberapa diaspora etnis Maluku di Belanda turut mendukung gagasan Soumokil akan negara merdeka bagi orang Maluku. Setelah Ambon jatuh, beberapa dari simpatisan dan anggota Republik Maluku Selatan yang tidak bermigrasi ke Seram memutuskan untuk pergi dan tinggal di Belanda. Keberangkatan mereka ke Belanda disponsori dan diatur sendiri oleh pihak Kerajaan. Diperkirakan ada sekitar 21.300 eksil Republik Maluku Selatan yang bermigrasi ke Belanda pasca kejatuhan negara mereka. Di sana, berdirilah pemerintahan dalam pengasingan Republik Maluku Selatan yang dikepalai oleh Johannes Alvarez Manusama, rekan Soumokil dan salah satu pencetus Republik Maluku Selatan. Di negeri Belanda, mereka terus mengadvokasikan pembebasan Maluku Selatan dan terkadang terlibat dalam aksi terorisme melawan komunitas Indonesia di sana pada tahun 1960-1970-an. Hingga hari ini, Republik Maluku Selatan masih ada dan terus melawan dari Belanda. Meskipun demikian, kekuatan politik dan dukungan akan negara yang telah lama tidak memiliki lahan ini semakin memudar. John Wattilate adalah Presiden Republik Maluku Selatan saat ini.
Daftar Pustaka
Buku
Cribb, R. & Kahin, A. (2004). Historical Dictionary of Indonesia. Lanham: The Scarecrow PressÂ
Hefner, R. (2018). Routledge Handbook of Contemporary Indonesia. Oxford: Routledge
Poesponegoro, M.D., & Notosusanto, N. (Eds.). (2019). Sejarah Nasional Indonesia Jilid 6: Zaman Jepang & Zaman Republik (1942-1998). Jakarta: Balai Pustaka
Jurnal