Mohon tunggu...
Krisnaldi Putra Kurnia
Krisnaldi Putra Kurnia Mohon Tunggu... Lainnya - Universitas Padjajaran

Menyukai Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Berkibarnya Panji Empat Warna di Timur: Kisah Separatisme Republik Maluku Selatan

11 April 2023   15:50 Diperbarui: 11 April 2023   16:01 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tahun 1950 merupakan sebuah masa yang diwarnai oleh turbulensi dalam sejarah Indonesia. Bagaimana tidak, Indonesia yang saat itu dikenal sebagai Republik Indonesia Serikat (RIS) harus menghadapi berbagai konflik internal yang mengancam keselamatan republik muda ini. Salah satu pemberontakan paling terkenal yang menggerogoti tubuh RIS pada saat itu adalah gerakan separatisme Republik Maluku Selatan. Berbeda dari pemberontakan-pemberontakan sezaman yang umumnya memiliki tendensi untuk mengubah ideologi negara, Republik Maluku Selatan (RMS) muncul karena alasan yang kontras. Pergerakan tersebut ada sebagai manifestasi dari nasionalisme Maluku: sebuah asa untuk mendirikan negara dimana orang-orang Maluku adalah masyarakat dominannya. Untuk merealisasikan tujuan tersebut, maka pemerintahan mereka yang berpusat di Ambon secara resmi menentang pemerintahan Sukarno yang berpusat di Jakarta. Dengan demikian, layaknya Indonesia beberapa tahun sebelumnya, RMS muncul sebagai sebuah percobaan untuk melahirkan bangsa baru di gugusan kepulauan Nusantara.

Kemunculan gerakan separatis tersebut tentunya membuktikan jika euforia penduduk Nusantara terhadap penyerahan kedaulatan bagi Indonesia tidak dirasakan sepihak oleh para penduduknya: Beberapa memandangnya dengan ambivalensi, beberapa lainnya menyikapinya dengan kekhawatiran. Republik Maluku Selatan muncul sebagai contoh respon negatif beberapa politikus setempat akan terhadap terjadinya peristiwa tersebut. Di sisi lain, keberadaannya merupakan salah satu kasus separatisme paling awal yang Indonesia atau RIS perlu hadapi sebagai bangsa merdeka.

Memilih Pilihan Ketiga: Membangun Fondasi Republik Maluku Selatan

Pada masa Revolusi Kemerdekaan, wilayah yang kelak dikenal sebagai Republik Maluku Selatan berada di bawah administrasi Negara Indonesia Timur. Status Maluku Selatan sebagai wilayah negara satelit Belanda tersebut tidak berlangsung lama. Setelah persetujuan di Konferensi Meja Bundar tercapai, Republik Indonesia Serikat pun berhasil terbentuk dari puing-puing negara kolonial Hindia Belanda. Seluruh negara-negara bentukan Belanda yang didirikan pada masa Revolusi, termasuk Negara Indonesia Timur, menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat.

Bagi sebagian masyarakat Maluku Selatan, penggabungan Negara Indonesia Timur ke dalam RIS menimbulkan sebuah pro-kontra dalam masyarakat: Terdapat kubu yang mendukung unitarisme, terdapat pula kubu yang mencoba untuk mempertahankan sistem federal. Beberapa elemen masyarakat di sana, terutama kelompok kelas menengah yang terdidik, merasa jika orang-orang Maluku memiliki lebih banyak persamaan dengan orang-orang Belanda. Di sisi lain, mereka khawatir jika administrasi Jakarta yang didominasi oleh orang-orang Jawa Muslim akan membawa dampak buruk bagi Maluku Selatan dan penduduknya. Tidak hanya itu, kecemasan tersebut turut diperkuat pada runtuhnya satu-persatu republik pembentuk RIS, dimana mereka memutuskan untuk menggabungkan dirinya ke dalam Republik Indonesia pada bulan-bulan awal tahun 1950. Hal tersebut menandakan jika sistem federal akan segera runtuh dan sistem unitaris akan dipulihkan. Sebagai dampaknya terperciklah ide untuk memerdekakan Maluku Selatan agar negeri tersebut terbebas dapat menentukan nasibnya sendiri; terbebas dari dikte Jakarta maupun Amsterdam. Gagasan untuk memerdekakan diri tersebut turut diakselerasi oleh maraknya pemberontakan dalam negeri pada saat itu, seperti Pemberontakan Andi Aziz di Makassar.

Dalam keadaan penuh ketidakpastian ini, Ambon akan memainkan peran penting dalam pembentukan Republik Maluku Selatan. Manuver-manuver untuk membungkam para pendukung unitarisme sudah terjadi pada berbagai titik di Maluku Selatan, termasuk Ambon. Pembungkaman tersebut dilakukan melalui pembunuhan ataupun penahanan orang-orang yang disinyalir mendukung integrasi. Veteran-veteran KNIL dan kepolisian setempat yang tidak memiliki simpati terhadap RIS merupakan pelaku utama dalam aksi teror tersebut. Dengan sekitar 2.000 garnisun KNIL yang terlatih, kompeten, dan siap tempur ditempatkan di Ambon, maka kota tersebut telah menjadi pusat dari oposisi Maluku Selatan terhadap pemerintahan Sukarno dengan RIS-nya.

Pada masa-masa menjelang Bulan April, nama Dr. Christian Robert Steven Soumokil pun masuk ke panggung peristiwa sejarah ini. Dirinya merupakan seorang mantan jaksa agung di Negara Indonesia Timur yang akan memainkan peran sentral dalam pembentukan Republik Maluku Selatan sebagai Presidennya. Dengan bantuan rekannya Ir. Johannes Alvarez Manusama, dirinya mulai mencari cara untuk mengalang dukungan politik guna memerdekakan Maluku Selatan dari cengkraman RIS. Para Veteran KNIL dan polisi pro-Republik Maluku Selatan dengan cepat menyatakan kesetiaan mereka pada pergerakan ini. Di sisi lain, Manusama berhasil memperoleh dukungan dari para birokrat lokal yang dikenal sebagai rajapati (penguasa desa). Dengan terkumpulnya dukungan politik dan militer, maka konspirasi Soumokil dan koleganya pun siap untuk dieksekusi.

Satu hal lagi yang perlu turut dibahas di sini adalah fakta bahwa separatisme Republik Maluku Selatan benar-benar didasarkan oleh alasan nasionalisme etnis; agama tidak memainkan faktor yang besar dalam memercikan kemunculan Republik Maluku Selatan. Sebagaimana dengan yang umum diketahui, orang-orang Maluku Selatan cenderung beragama kristen protestan. Kendati demikian, terdapat beberapa tokoh Maluku Selatan muslim yang terlibat dan mendukung gerakan Soumokil. Salah satu nama yang paling terkenal adalah Ibrahim Ohorella, seorang rajapati Tulehu yang mempromosikan gagasan kemerdekaan Maluku Selatan. Dengan demikian, maka dapat dikatakan jika agama bukanlah faktor utama yang memicu proklamasi Republik Maluku Selatan kelak.

Siasat Soumokil untuk memerdekakan Maluku Selatan dilancarkan pada tanggal 25 April. Dengan bantuan para anggota KNIL yang ada, J.H Manuhutu yang merupakan pemimpin Maluku legitim pada saat itu pun berhasil ditekan untuk menyetujui keinginan para separatis. Dengan todongan senjata yang diarahkan kepadanya, J.H Manuhutu memutuskan untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Maluku Selatan. Dirinya mengangkat Albert Wairisal sebagai Perdana Menteri negara baru tersebut. Posisi Presiden hanya dipegang oleh Manuhutu untuk beberapa hari sebelum akhirnya ia digantikan oleh Soumokil sendiri pada 3 Mei.

Rekonsiliasi hingga Liberasi: Respon RIS terhadap Republik Maluku Selatan

Proklamasi kemerdekaan RIS segera direspon dengan tegas oleh Republik Indonesia Serikat. Pada awalnya, RIS memutuskan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada secara diplomatis: Rekonsiliasi antara kedua pihak perlu dicapai agar pertumpahan darah tidak terjadi. Untuk merealisasikan tujuan rekonsiliasi tersebut, Dr. Johannes Leimena ditunjuk RIS untuk menjadi mediator antara RIS dengan Republik Maluku Selatan. Lebih lanjut lagi, RIS menggelar sebuah pertemuan yang diadakan untuk membahas permasalahan di Maluku Selatan secara diplomatis. Dalam pertemuan yang dikenal sebagai Konferensi Maluku yang diselenggarakan pada 12-13 Juni, diputuskan jika RIS akan mengirim tokoh-tokoh Maluku pro-Indonesia, mulai dari yang berprofesi sebagai pendeta, wartawan, hingga politikus, untuk menciptakan perdamaian. Mereka yang menyatakan kesetiaannya kepada RIS cenderung melihat jika keberadaan Republik Maluku Selatan merupakan manuver Belanda untuk menciptakan ketidakstabilan dalam tubuh RIS. Sayangnya upaya diplomatis untuk menyudahi perbedaan pandangan tersebut tidak berhasil. Dihantui oleh jalan buntu, pada akhirnya turunlah sebuah perintah untuk memberantas Republik Maluku Selatan dengan kekuatan militer; konflik antara kedua pihak pun tidak terhindarkan.

Operasi liberasi Maluku Selatan diluncurkan oleh APRIS via jalur laut kurang lebih satu bulan setelah Konferensi Maluku. Kolonel Alexander Evert Kawilarang ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi satuan unit APRIS yang akan menyerbu wilayah-wilayah kekuasaan Republik Maluku Selatan. Dalam eksekusinya, APRIS memulai serbuan laut dari arah barat ke timur. Pulau Buru yang merupakan wilayah paling barat Republik Maluku Selatan diserang oleh APRIS pada 14 Juli, dimana pulau tersebut jatuh tidak lama setelahnya. Selanjutnya, APRIS melakukan pendaratan ke Pulau Seram 5 hari kemudian. Pertempuran di Pulau Seram lah yang berlangsung paling lama, dimana resistensi Republik Maluku Selatan baru padam secara efektif pada tahun 1956. 

Jatuhnya Pulau Buru ke tangan APRIS dan sedang terjadinya perebutan Pulau Seram membuka celah bagi APRIS untuk menginvasi Ambon. Invasi ke jantung administratif Republik Maluku Selatan itu terjadi pada 28 September 1950. Kota Ambon yang dijaga oleh para veteran KNIL Maluku terbukti cukup sulit untuk ditaklukan. Hal tersebut menimbulkan beratnya korban jiwa yang diderita oleh kedua pihak dan tewasnya salah satu pemimpin pasukan APRIS, Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Setelah kurang lebih 2 bulan pertempuran, Ambon berhasil ditaklukan pada Bulan November. Kejatuhan Ambon menandakan telah pulihnya kekuasaan Indonesia yang kini sudah meninggalkan sistem federal di Kepulauan Maluku Selatan. Di sisi lain, perebutan Ambon juga menandakan akhir dari eksistensi Republik Maluku Selatan sebagai sebuah negara yang tidak diakui.

Kobaran Api yang Belum Padam: Pemerintahan dalam Pengasingan Republik Maluku Selatan di Belanda

Setelah jatuhnya Ambon, perlawanan Republik Maluku Selatan belum berakhir. Beberapa dari mereka memutuskan untuk melanjutkan perjuangan dengan bergerilya di rimba Pulau Seram. Tentu saja perlawanan yang mereka berikan tidaklah efektif dan bersifat skala kecil. Perlahan, anggota-anggota Republik Maluku Selatan yang bersembunyi di Seram pun berhasil ditangkap atau dieliminasi APRIS. J. H. Manuhutu, Presiden pertama Republik Maluku Selatan, ditangkap pada tahun 1952. Selain dirinya, pionir Republik Maluku Selatan, yaitu Dr. Chris Soumokil sendiri baru berhasil ditangkap setelah 1 dekade bergerilya. Dirinya diringkus pada 2 Desember 1963 sebelum akhirnya dieksekusi 3 tahun kemudian di Kepulauan Seribu.

Selain kasus perang gerilya di Pulau Seram, beberapa diaspora etnis Maluku di Belanda turut mendukung gagasan Soumokil akan negara merdeka bagi orang Maluku. Setelah Ambon jatuh, beberapa dari simpatisan dan anggota Republik Maluku Selatan yang tidak bermigrasi ke Seram memutuskan untuk pergi dan tinggal di Belanda. Keberangkatan mereka ke Belanda disponsori dan diatur sendiri oleh pihak Kerajaan. Diperkirakan ada sekitar 21.300 eksil Republik Maluku Selatan yang bermigrasi ke Belanda pasca kejatuhan negara mereka. Di sana, berdirilah pemerintahan dalam pengasingan Republik Maluku Selatan yang dikepalai oleh Johannes Alvarez Manusama, rekan Soumokil dan salah satu pencetus Republik Maluku Selatan. Di negeri Belanda, mereka terus mengadvokasikan pembebasan Maluku Selatan dan terkadang terlibat dalam aksi terorisme melawan komunitas Indonesia di sana pada tahun 1960-1970-an. Hingga hari ini, Republik Maluku Selatan masih ada dan terus melawan dari Belanda. Meskipun demikian, kekuatan politik dan dukungan akan negara yang telah lama tidak memiliki lahan ini semakin memudar. John Wattilate adalah Presiden Republik Maluku Selatan saat ini.

Daftar Pustaka

Buku

Cribb, R. & Kahin, A. (2004). Historical Dictionary of Indonesia. Lanham: The Scarecrow Press 

Hefner, R. (2018). Routledge Handbook of Contemporary Indonesia. Oxford: Routledge

Poesponegoro, M.D., & Notosusanto, N. (Eds.). (2019). Sejarah Nasional Indonesia Jilid 6: Zaman Jepang & Zaman Republik (1942-1998). Jakarta: Balai Pustaka

Jurnal

Angelina, D.P. & Ayundasari, L. (2021). Pengaruh Pemberontakan Republik Maluku Selatan terhadap Kondisi Sosial Politik di Indonesia. Historiography: Journal of Indonesian History and Education, 1 (4), 479-486. DOI: http://journal2.um.ac.id/index.php/JDS/article/view/20299

Chauvel, R. (1990). Republik Maluku Selatan and Social Change in Ambonese Society During the Late Colonial Period. Cakalele, 1(1-2), 13-26.

Herman, V. &  van der Laan Bouma, R. (1980). Nationalists Without a Nation: South Moluccan Terrorism in the Netherlands. Studies in Conflict & Terrorism, 4 (1-4),  223-257. DOI: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/10576108008435491

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun