Sepatu balita biru tua tali putih saat itu menghiasi meja samping tempat tidurku. Memandang sepatu itu terasa bahagia dan penuh harap. Mungkin ini rasanya jatuh cinta sama seseorang yang belum pernah bertemu. Keadaan selimut dan lampu temaram masih menjadi suasana yang tidak karuan.
Saya teriak sekencang-kencangnya. Saya masih mengingat apa yang terjadi. Di luar sana, suami dan mertua tiada henti mengucapkan kata, "Sabar nak" dan selanjutnya hanya terdengar sayup-sayup tangisan kehilangan.
Kemarin, suasana hati masih sangat senang dan riang. Saya bekerja dengan baik, begitupun suami. Saya adalah seorang Ibu hamil yang berusia 4 bulan. Ini adalah kehamilan pertama yang saya nantikan. Kebanggaan menjadi ibu hamil dan semangat saya menjalani pekerjaan membuat saya terlalu terlena dengan kondisi saya, terlebih kondisi janin saya. Namun yang saya yakini, saya akan melihat perkembangan janin saya malam itu.
Malam hari harusnya kami berbahagia dengan melihat kabar si kecil. Malam hari seharusnya kami menulis banyak harapan untuk si calon bayi.
“Ini dia bayinya.” Kata dokter kandungan di balik kaca mata tebalnya. Saya tidak menjawab. Saya hanya membalas dengan senyum sumringah sementara saya melirik suami saya melihat dengan antusias di layar hasil USG itu.
“Bagaimana dok? Tidak ada masalah kan?” Sahut suami saya dengan penuh harapan.
Saya melihat ekspresi dokter yang tadinya ramah melihat kami menjadi sedikit datar. Guratan seperti angka sebelas mulai nampak jelas di dahinya. Alat USG yang saya pun tidak tahu namanya saat itu masing menari-nari di atas perut saya.
“Tunggu sebentar ya, saya masih menunggu gerakannya.” Gurat gelisah dokter itu membuat senyum harapan saya sedikit mendatar. Saya mulai ketakutan.
“Pak dokter, ada apa?” Tanya saya ragu masih menahan rasa takut. Saya melirik suami saya mulai serius sekaligus dia langsung meraih tangan saya.
Beberapa menit alat itu menari-nari di atas perut. Kami masih menunggu pergerakan dari permata harapan saya. Suami saya nampak terus melihat saya dan sayapun demikian. Dalam tatapan yang bisu, kami saling menguatkan.
“Dik, yang sabar ya? Janin dalam perut adik sudah tidak ada denyut jantung.” Pernyataan dokter itu membuat buliran air mata yang tertahan membuncah deras di pipi saya. Suami saya tetap mengenggam erat tangan saya. Saya tahu dia ingin menangis dengan melihat kilatan merah matanya.
Suami menguatkan saya sampai kamar. Saya teringat bahwa suami meminta waktu 2 hari saja. Kami masih percaya dengan keajaiban. Pesan dokter hanya satu, “Jangan lama ya dik. Kasihan rahim adik ada masalah. Kandungan adik harus diangkat segera. Yang sabar ya dik.”
“Bli.” panggilan pertama saya pasca kejadian itu membuat suami langsung memeluk saya.
“Saya ingin tidur sendiri. Tolong jangan ganggu saya sampai saya bangun dengan sendiri. Bli di luar saja. Saya hanya ingin sendiri. Lebih tepatnya berdua.” Lanjutku.
“Tapi saya ingin menemanimu. Bisakah kita sama-sama melalui ini?” Pintanya.
“Saya janji akan tidur dan tidak melakukan apa-apa yang merugikan. Diamlah di luar. Biarkan saya di sini dulu.” Sahutku seraya menuntun dia keluar kamar. Saya pun mengunci pintu kamar dari dalam.
Terbangun dengan hati tak karuan. Suara suami dan mertua yang memohon saya membuka pintu masih bergema di luar. Saya menangis sejadi-jadinya. Sedih, stres, kehilangan, dan kesakitan menjadi satu. Saking temaramnya pencahayaan kamar saya, saya lupa hari itu sudah siang. Suami dan mertua yang tidak bisa membujuk saya akhirnya memohon bantuan kepada orang tua saya.
Karakter orang tua saya yang penyayang namun tidak romantis berhasil membuat saya keluar kamar. Saya mulai makan dan keluarga berinisiatif untuk periksa ke dokter kandungan lain. Harapan mereka adalah dokter kandungan sebelumnya salah diagnosis.
Dokter kandungan yang lain juga memvonis hal yang sama. Setelah selesai periksa ke dokter kedua, keluarga memberikan saya penguatan. Saya dan suami berusaha tersenyum agar mereka tahu bahwa baik saya maupun suami saya adalah insan yang kuat. Kami memutuskan untuk kembali ke dokter lama untuk melakukan proses kuret.
Malam hari sebelum kuret, saya dan suami nangis sejadi-jadinya. Tidak ada penguatan. Kami lemah. Kami tak berdaya. Kami bersalah. Kami egois. Banyak refleksi yang kami lakukan selama ini. Pertengkaran yang hebat, insiden kabur dari rumah, culture shock pasca menikah dan banyak lagi. Kami tidak bisa mengelola emosi kami selama menjalani masa awal pernikahan. Memang benar, pernikahan bukan berarti hidup setiap hari akan bahagia, namun bagaimana kita melewati semua masalah dengan komitmen dan komunikasi. Di awal pernikahan kami, banyak hal buruk terjadi. Saya yang merasakan bahwa kehidupan pasca menikah berubah total, sedangkan suami dan keluarganya saat itu kadang masih berpegang teguh pada budaya patriarki, dimana seorang istri harus tunduk milik suami dan keluarganya sepenuhnya.
Proses kuret berjalan dengan sangat baik. Kebetulan salah satu perawat anestesi adalah sepupu dari suami saya. Ia sangat telaten mengurus saya selama tindakan dan perawatan medis.
Anak saya berkorban banyak. Anak saya mengajarkan saya dan suami banyak hal. Kami mulai menata kembali kehidupan pernikahan kami yang kata orang awalnya akan menyenangkan, tapi menurut kami banyak masalah, terutama di ego.
Banyak hal menyenangkan kami lakukan walaupun kami belum sepenuhnya lupa akan insiden itu. Saya ambil sepasang sepatu itu. Saya meletakkan di kuburan janin saya sebulan setelah kuret. Entah kenapa saya dan suami memberanikan diri ke kuburan.
“Hai nak, apa kabar? Ibu dan Bapak sudah ikhlas. Jika seandainya kamu memang masih betah di sana, maka kami akan menunggu. Besar harapan kami kamu akan kembali menjadi anak kami. Dulu Ibu dan Bapak membeli sepatu ini dengan tujuan kamu akan menggerakkan kakimu ke atas sambil menggunakan ini, namun sekarang harapan kami jika kamu mau kamu bisa berlari-lari bermain di sana dengan sepatu ini. Maafkan kami sayang. We love you.” Tuturku di atas kuburan janin saya atasnya saya taruh sepasang sepatu itu. Kami memang meyakini bahwa reinkarnasi itu ada.
Tiga bulan kemudian, saya mulai merasakan gejala aneh, yakni mual dan sedikit pusing. “Hai nak, welcome.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H