Mohon tunggu...
Ni Wayan Krisna Dewi
Ni Wayan Krisna Dewi Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang masih belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepasang Sepatu untuk Anakku

30 Agustus 2023   22:50 Diperbarui: 30 Agustus 2023   23:02 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Canva.com/Dok. pribadi

“Dik, yang sabar ya? Janin dalam perut adik sudah tidak ada denyut jantung.” Pernyataan dokter itu membuat buliran air mata yang tertahan membuncah deras di pipi saya. Suami saya tetap mengenggam erat tangan saya. Saya tahu dia ingin menangis dengan melihat kilatan merah matanya.

Suami menguatkan saya sampai kamar. Saya teringat bahwa suami meminta waktu 2 hari saja. Kami masih percaya dengan keajaiban. Pesan dokter hanya satu, “Jangan lama ya dik. Kasihan rahim adik ada masalah. Kandungan adik harus diangkat segera. Yang sabar ya dik.”

Bli.” panggilan pertama saya pasca kejadian itu membuat suami langsung memeluk saya.

“Saya ingin tidur sendiri. Tolong jangan ganggu saya sampai saya bangun dengan sendiri. Bli di luar saja. Saya hanya ingin sendiri. Lebih tepatnya berdua.” Lanjutku.

“Tapi saya ingin menemanimu. Bisakah kita sama-sama melalui ini?” Pintanya.

“Saya janji akan tidur dan tidak melakukan apa-apa yang merugikan. Diamlah di luar. Biarkan saya di sini dulu.” Sahutku seraya menuntun dia keluar kamar. Saya pun mengunci pintu kamar dari dalam.

Terbangun dengan hati tak karuan. Suara suami dan mertua yang memohon saya membuka pintu masih bergema di luar. Saya menangis sejadi-jadinya. Sedih, stres, kehilangan, dan kesakitan menjadi satu. Saking temaramnya pencahayaan kamar saya, saya lupa hari itu sudah siang. Suami dan mertua yang tidak bisa membujuk saya akhirnya memohon bantuan kepada orang tua saya.

Karakter orang tua saya yang penyayang namun tidak romantis berhasil membuat saya keluar kamar. Saya mulai makan dan keluarga berinisiatif untuk periksa ke dokter kandungan lain. Harapan mereka adalah dokter kandungan sebelumnya salah diagnosis.

Dokter kandungan yang lain juga memvonis hal yang sama. Setelah selesai periksa ke dokter kedua, keluarga memberikan saya penguatan. Saya dan suami berusaha tersenyum agar mereka tahu bahwa baik saya maupun suami saya adalah insan yang kuat. Kami memutuskan untuk kembali ke dokter lama untuk melakukan proses kuret.

Malam hari sebelum kuret, saya dan suami nangis sejadi-jadinya. Tidak ada penguatan. Kami lemah. Kami tak berdaya. Kami bersalah. Kami egois. Banyak refleksi yang kami lakukan selama ini. Pertengkaran yang hebat, insiden kabur dari rumah, culture shock pasca menikah dan banyak lagi. Kami tidak bisa mengelola emosi kami selama menjalani masa awal pernikahan. Memang benar, pernikahan bukan berarti hidup setiap hari akan bahagia, namun bagaimana kita melewati semua masalah dengan komitmen dan komunikasi. Di awal pernikahan kami, banyak hal buruk terjadi. Saya yang merasakan bahwa kehidupan pasca menikah berubah total, sedangkan suami dan keluarganya saat itu kadang masih berpegang teguh pada budaya patriarki, dimana seorang istri harus tunduk milik suami dan keluarganya sepenuhnya.

Proses kuret berjalan dengan sangat baik. Kebetulan salah satu perawat anestesi adalah sepupu dari suami saya. Ia sangat telaten mengurus saya selama tindakan dan perawatan medis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun