Senja semakin tua ketika mobil berisi setas uang itu kuhidupkan di garasi rumah tua yang didepannya terdapat papan bertuliskan YAYASAN KEMANUSIAAN. Beberapa anak gelandangan tertampung di rumah ini. Mereka bahkan digaji, meski tak seberapa. Paling tidak kata gaji itu sudah menaikkan harga diri mereka jika dibanding duit hasil copet atau upah ngamen---yang sudah susah dilakukan di kota dengan sejuta CCTV ini.
Setelah mobil panas, segera aku menginjak pedal gas sekuat-kuatnya. Waktuku terbatas. Aku harus cepat. Sang petinggi penegak hukum akan lewat di perempatan dengan lampu merah terlama karena sibuknya kota. Bukan hanya dalam perang saja, perhitungan waktu yang tepat sangat dibutuhkan. Bahkan dalam duniaku, itu peraturan nomor satu.
Dalam sepersekian detik, senja kan ditelan malam. Waktu inilah segala peralihan kehidupan segera dimulai dan diakhiri. Ada pergantian aktivitas siang ke malam. Pun hewan nokturnal akan menggantikan hewan diurnal yang segera beristirahat. Tidak hanya satpam, penjual kaki lima, sopir, pencopet, polisi, tentara, guru, dan dosen, bahkan presiden pun bergilir untuk siang dan malam.
Ada presiden siang untuk menguasai kebaikan. Ada presiden malam untuk menguasai segala jenis kejahatan yang tidak biasa. Kejahatan yang tidak melawan hukum---atau paling tidak---kejahatan yang tidak bisa tersentuh hukum. Presiden malam sangat ahli dalam bidang hukum, politik, dan bisnis.
Hukum dimainkan demi politik. Politik dimainkan demi hukum---yang bisa dimainkan. Politik dan hukum dimainkan demi bisnis. Bisnis dimainkan demi hukum dan politik. Pusing bukan? Meski kau pusing, presiden malam tak pernah pusing memainkan berbagai permainannya itu. Jika dibuat irisan pada bisnis, politik, dan hukum, maka ada sang presiden malam. Ia berkuasa di sana. Ia ahli dalam membuat kekacauan yang teratur, atau sebaliknya membuat keteraturan yang kacau balau.
Begitulah permainannya hingga membawaku ke atas mobil tua produksi Jerman yang dilarang beredar di negeri ini. Alasannya karena mobil ini memiliki daya pacu kecepatan melebihi standar lokal. Tapi, bukankah mengoleksi barang antik adalah hobi para borjuis? Meski dengan cara tak resmi, yang penting prestisenya terjaga dan ia terkenal di antara para pengenalnya.
Aku cecunguk sialan yang ditunjuk menjadi kepala yayasan. Katanya, "Kau akan menjadi pejabat penting jika menjadi kepala yayasan kemanusiaan. Kau akan diundang ke acara talkshow ternama sebagai pejuang kemanusiaan. Kau adalah pahlawan, yang mengubah nasib anak jalanan ini menjadi orang-orang bergajian." Ya, gaji karena telah menjaga marwah sang ketua yayasan, terutama sang pemilik yayasan, penerima manfaat terbesarnya. Namanya pasti akan dikenang sebagai pahlawan kemanusiaan, pahlawan bagi sebagian anak jalanan.
"Cepat buka gerbangnya!" seruku. Para anak jalanan itu telah berubah menjadi cecunguk kelas bawah. Apalagi kalau bukan tujuannya adalah menjadi cecunguk kelas atas. Mungkin untuk menggantikanku. Lalu aku ke mana?
"Kau akan mati seperti pendahulumu dulu. Diracun. Bukankah kau yang meracunnya? Seperti Munir diracun dengan racun arsenik?"
Ah, mana mungkin. Akulah ahlinya ahli racun. Aku tak akan mati karena racun. Meski ada kitab yang berkata, "Siapa bermain pedang, akan mati dengan pedang." Tapi, aku bukan bermain pedang, aku cuma bermain peran dan racun jadi senjataku.
Para cecunguk kelas bawah berlarian terbirit-birit membukakan pintu. Belum semenit, mobilku, eh, mobil si tua parlente itu, sudah berada di jalan raya. Kembali aku menginjak pedal gas sekuat-kuatnya.
Aku tak takut ditilang polisi lalu lintas sebab mereka sudah bosan menilangku. Jika aku ditilang, aku malas berdebat panjang lebar. Bagiku berdebat dengan anak buah Mayor Agus---kongsiku itu---hanya akan mencari sensasi dan mengejar ke-viral-an di media sosial. Kecuali aku ingin menjadi YouTuber. Kaya dari duit halal namun dengan cara yang haram.
"Apa sih yang haram bugimu, cecunguk?"
Jika sampai aku ditilang polisi---mungkin oleh yang baru bertugas, aku akan dengan santainya melanggeng pergi. Tak sampai sejam, polisi itu pasti akan datang mengantarkan mobil. Sambil tersenyum malu-malu, menunjukkan rasa pakewuh, sambil berkata, "Maaf Pak, saya petugas baru. Saya belum tahu." Dan kemudian dia minta diri. Pergi. Tak akan pernah  berani menilangku lagi.
Jika di negeri kalian pernah mendengar istilah pengakuan dosa para pendosa, tidak demikian di negeriku. Di negeriku, justru para kudus yang harus mengaku dosa. Ya, karena mereka telah menghambat pergerakan para pendosa. Apalagi jika para kudus itu sampai berkumpul, berserikat, dan melakukan gerakan perlawanan. Itu dilarang keras! Jika para kudus melawan, akan ada cecunguk yang disuruh memberangus dan membungkam mereka.
"Kami hanya menjalankan perintah! Silakan kalian membubarkan diri. Jangan anarkis---kecuali kami. Yang kami lakukan adalah untuk kepentingan umum. Jangan melawan petugas!" Kata cecunguk itu sembari meneror. Kalimat yang diucapkannya seakan menjadi pemantik semangat anak buahnya untuk beringas membubarkan massa para kudus.
Di negeriku, pendosa nilanya sangat-sangat berharga dibanding para kudus. Pendosa harus dibela, bukan saja karena mereka kaya raya, tetapi juga keberadaan merekalah yang menggerakkan perekonomian negara. Katanya. Mereka masuk kategori VVIP. Orang yang sangat-sangat penting, atau orang yang sangat-sangat berkepentingan, aku tak tahu membedakannya. Sama saja.
Nah, kali ini yang akan kutemui adalah Pak Tegar, cecunguk VVIP juga, sama seperti diriku. Yang membedakan hanyalah posisi dan legalitas kantor. Posisinya ialah kepala kejaksaan yang ia peroleh karena berpendidikan tinggi---tak mungkin diperoleh oleh orang malas berpikir seperti diriku. Mungkin, jabatannya itu juga cuma titipan dari sang penitip. Gajinya yang tak resmi di tempat resmi itu tentu lebih besar. Kerjanya yang tak resmi di tempat resmi itu tentu lebih menjadi prioritas utama---jika tak ingin dipecat dan dicap pengkhianat, dibungkam, dan dibunuh.
Dibanding dirinya, aku juga kepala. Ya, kepala yayasan. Juga jabatan titipan sang penitip. Mungkin penitipnya adalah orang yang sama. Aku tak tahu. Sang penitip selalu menitip segala sesuatu melalui penitip yang lain.
Secara ilmu manajemen hierarki, penitip 1 punya penitip 2, penitip 2 punya penitip 3, dan seterusnya agar menghilangkan jejak penitip semula. Ya, mirip kurir narkoba, atau yang lebih canggih, mentereng, dan berkelas ialah perusahaan A memiliki anak perusahaan B, anak perusahaan B memiliki anak perusahaan C, dan seterusnya.
Jika anak perusahaan C melakukan usaha secara ilegal atau setengah ilegal, maka anak perusahaan C yang akan menangung segala konsekuensi hukum---yang mungkin bisa dibeli atau ditawar proses atau putusan hukumnya. Sementara itu, perusahaan A dan pemilik aslinya---yang kadang identitasnya disamarkan---sebagai penerima manfaat berpangku tangan sambil menertawakan drama di media dan persidangan. Para cecunguk sedang memainkan perannya. "Ha ha ha ...." Mereka tertawa sambil mengisap ganja yang diselundupkan menggunakan mobil petinggi aparat keamanan. "Agar bebas dari pemeriksaan," katanya.
Desas-desus tentang pola kerja para cecunguk sudah menjadi rahasia umum di antara para cecunguk. Termasuk diriku yang menjadi ketua yayasan secara ajaib.
Aku diambil dari rumah bordil sebagai penjaga keamanan. Dengan cerita bahwa aku berempati terhadap anak jalanan dan akhirnya mendirikan yayasan dari menyisihkan gajiku. Aku tak sanggup membangun atau membeli gedung baru hingga akhirnya seorang dermawan memberikan rumah tua warisan keluarganya. Tentu semua itu bohong belaka. Aku diambil karena dipercaya sering mengamankan identitas para pejabat saat ngamar di hotel mewah bersama 'bintang'---begitu kami mengistilahkan para penjaja kelas atas---yaitu para artis yang tak pernah puas mengejar prestise dan menghalalkan kemesuman sebagai caranya.
Dua bulan kemudian aku mendapatkan gelas S.Sos. Katanya agar namaku lebih mentereng, lebih sesuai dengan jabatanku. Entah dari kampus mana ijazah itu, aku tak peduli. Bodoh amat! Yang penting sekarang aku ketua yayasan. Bukankah jual-beli ijazah, skripsi, tulisan ilmiah adalah lumrah di negeri ini---apa sih yang tidak diperjualbelikan? Bahkan keyakinan pun dijual demi dukung-mendukung saat pemilihan, bukan?
Perhitungan waktuku hampir saja meleset ketika seorang polisi akan menghentikan mobil yang kupacu terlalu laju. Niatnya urung setelah melihat mobil dari dekat. Ada pemeriksaan gabungan. Aku terpaksa mengerem, berhenti sesaat, dan berbasa-basi sesama cecunguk. "Oh, Pak Garon. Silakan lewat, Pak. Kami ada pemeriksaan rutin. Ada perintah dari atas. Katanya ada anak petinggi yang mau pelesir ke kota wisata ini. Kami mengejar setoran untuk biaya pelesirnya. Biasalah, Pak, kalau tak mau digeser ya gini," ujar Pak Martin sesumbar.
Tiba di persimpangan berikutnya, kulihat mobil Porsche berwarna hitam dengan jendela kiri terbuka di bagian belakang sudah parkir di sana. Sesuai perintah, aku merapat dan melemparkan tas uang tadi ke jendela yang terbuka itu tepat sedetik sebelum lampu hijau menyala.
Koran hari berikutnya memberitakan bebasnya seorang pimpinan partai politik yang menjadi terduga kasus korupsi. Sidang praperadilan memenangkan gugatannya terhadap komisi antirasuah. Terduga diduga menjual pengaruhnya di DPR untuk memuluskan kebijakan impor bawang dan garam yang menyebabkan petani lokal gulung tikar.
Biodata :
Krismanto Atamou, guru dan pecinta sastra; tinggal di Kab. Kupang, Nusa Tenggara Timur. Karya-karyanya banyak menyuarakan perlawanan terhadap kezaliman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H