Mohon tunggu...
krismanto atamou
krismanto atamou Mohon Tunggu... Guru - Penulis Amatir

Simple Man

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Obrolan di Alam Lain

10 Agustus 2019   04:36 Diperbarui: 10 Agustus 2019   04:47 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jadi, kau mau katakan bahwa dengan menyadari fakta kematian, kita bisa memilih dan menjalani hidup dengan lebih baik, sesuai kodrat?"

"Ya, tentu. Oleh karena itulah aku tidak takut dibunuh saat melawan praktik perjudian, premanisme, dan melawan diskriminasi karena beda pilihan politik di kampung. Aku juga melawan mereka yang lebih suka bermalas-malasan dan mengharapkan bantuan pemerintah.

"Aku rela mengambil risiko ancaman terhadap keselamatan dengan menangani langsung para penjahat itu. Aku tidak takut disihir atau di-suanggi oleh musuh. Aku sadar, nyawaku jadi taruhan perlawanan."

"Jadi kau ingin seperti Widji Thukul, Munir, dan berbagai aktivis kemanusiaan lainnya yang mati dengan cara yang tak wajar itu? Apa itu kodrat?"

Wajah Martin terlihat tidak sabar menunggu jawaban dari Tomas. Ia yakin temannya itu akan kesulitan menjawab.

"Oh, kalau itu mungkin sudah kodratku untuk tidak menjawabnya. He he ...."

"Ah, kau curang. Aku yakin kau hanya berkelit, bukan? Kau seperti para politikus itu, suka berkelit kalau ditanya tentang komitmen untuk merealisasikan janji kampanyenya. Mereka sudah biasa mengaburkan hal yang jelas-jelas merugikan negara dan rakyat---demi kantong pribadi---dan seolah-olah ahli, bermain kata-kata untuk menjelaskan hal-hal yang kabur---demi elektabilitasnya."

"Terserah kau saja, Martin. Setiap orang, setiap aliran kepercayaan, setiap agama punya arti dan makna kodrat yang berbeda, mungkin. Tapi bagiku, kodrat itu selalu baik jika dihubungkan dengan kapan dan bagaimana seseorang meninggal. Namun, jika dihubungkan dengan penyebab seseorang meninggal---yang kau katakan tidak wajar itu, Sang Pemberi Nafas Kehidupan tentu tidak menginginkannya. Oleh karena itu, setiap ketidakwajaran pasti ada konsekuensinya, ada ganjarannya, meskipun kelak di akhirat. Sebagaimana kewajaran diganjar pahala.  Aku yakin.

"Bagiku, peristiwa kematian sama dengan peristiwa kelahiran. Semua itu terjadi di bawah kedaulatan Tuhan. Tapi, kau hanya akan percaya ini jika kau bukan seorang ateis, Martin?"

Martin hanya mengangkat bahu. Wajahnya terlihat pasrah. Ia mengingat segala kenangan yang pernah ia lalui di dunia fana. Bahkan beberapa temannya beratmulut untuk mengucapkan belasungkawa karena belum rela melepaskannya pergi, mereka seakan tak percaya bahwa kefanaan dunia telah mengambilnya begitu cepat, saat ini.

"Jangan bersedih kawan. Kehidupan di dunia sudah seperti itu, tak ada yang kekal. Terlepas dari apa pun proyek keabadian yang kau lakukan. Entah kau menulis buku untuk meninggalkan jejak literasi, seperti yang dilakukan dan dikatakan Pramoedya Ananta Toer. Entah kau menemukan penemuan penting, seperti sang penemu listrik Thomas Alva Edison. Entah apa pun itu jasa kita di dunia fana, semuanya akan tinggal kenangan. Kenangan manis bila baik adanya, dan kenangan pahit bila buruk adanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun