"Sampai usia tua, aku tetap fokus pada visi dan misiku. Tidak hanya di sekolah, di masyarakat aku juga melawan segala bentuk penyakit masyarakat, seperti judi dan asusila.
"Oleh karena terlalu militan melawan kejahatan, sering kali aku ingin dibunuh oleh para penjahat itu. Jangan tanya bagaimana mereka berupaya membunuhku sebab ada banyak cara untuk membunuh bukan? Bahkan kata orang, untuk membunuh kehidupan atau menghancurkannya lebih mudah dari pada membangun atau memperbaikinya. Akan tetapi, berkat penyertaan Tuhan Yang Maha Kuasa, aku selalu lolos dari maut." Tomas bercerita penuh semangat. "Lalu ..."
"Lalu pada akhirnya kau di sini," potong Martin sambil setengah tersenyum. Ekspresi itu seolah ingin mematahkan kebenaran kalimat Tomas yang terakhir. Â Â Â
"Ya. Setiap orang pasti mati, Martin. Kau juga kan? Seperti kata Ernest Becker---penulis buku The Denial of Death---kita perlu mencoba semakin bersahabat dengan realita kematian sebagai 'antidot yang pahit', kita perlu berdamai dengan diri sendiri saat menatap kematian."
"Wah, kau terlalu teoritis teman!? Bukankah kematian itu buruk? Aku bahkan belum sempat mendengar anak bungsuku mengucapkan kata pertama dalam hidupnya. Kemarin ia berulang tahun yang pertama. Lusa ulang tahun anakku yang kedua dan minggu depan ulang tahun anakku yang pertama.
"Minggu lalu, aku merayakan ulang tahun pernikahanku yang kesembilan. Dua buah pan kue basa yang dibuat istriku sangat enak terasa. Bahkan masakannya kemarin sangat enak. Aku makan dengan lahap. Dan ..."
"Dan sekarang kau ada di sini bukan?" potong Tomas.
"Ya. Aku belum sempat mengucapkan pesan-pesan terakhir pada istriku tercinta seperti yang ditangisinya saat ini di samping tubuh kakuku. Aku belum sempat menguatkan hatinya untuk berani menjalani kehidupan tanpa aku, seperti yang ditakutkannya saat ini.
"Aku belum puas melanjutkan tawa canda dengan teman, para murid, dan sanak keluargaku. Merangkul dan menepuk pundak mereka untuk memberikan motivasi dan kenyamanan di antara berbagai persoalan dunia yang sulit ini. Menceritakan hal lucu yang mengocok perut mereka saat tertawa terpingkal-pingkal. Memenuhi janji-janji yang pernah kubuat untuk mengunjungi beberapa teman karibku, teman-teman kuliahku."
"Aku bahkan belum sempat memeluk anak-anakku untuk terakhir kalinya, memberi mereka kehangatan. Sebagai seorang ayah, aku selalu berupaya menyempatkan waktu bersama anak-anakku di tengah kesibukan pekerjaan, tanggung jawab pelayanan di organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. Kesibukan yang sangat menguras waktu dan tenaga. Nyaris aku tak punya waktu bersama anak-istriku."
"Asumsi bahwa kematian itu buruk memang tidak bisa dihindari, teman. Karena itu kita harus menghadapinya sebaik mungkin. Begitu kita merasa nyaman dengan fakta kematian kita sendiri, kita akan mampu memilih nilai kita dengan lebih bebas, tidak dikendalikan oleh pencarian keabadian yang tidak logis, yang tidak kodrati."