Mohon tunggu...
Kris Kirana
Kris Kirana Mohon Tunggu... Pensiunan -

SMA 1KUDUS - FK UNDIP - MM UGM | PERTAMINA - PAMJAKI - LAFAI

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Advokasi Pelayanan Primer

24 Oktober 2014   18:17 Diperbarui: 23 April 2016   06:47 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua bulan lebih satu minggu menjelang tanggal 1 Januari 2015, yaitu batas waktu paling lambat kewajiban melakukan pendaftaran kepesertaan Jaminan Kesehatan bagi pemberi kerja pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), usaha besar, usaha menengah, dan usaha kecil, dan bagi pemberi kerja pada usaha mikro paling lambat tanggal 1 Januari 2016 (Perpres 111/2013).

Perubahan percepatan 4 tahun untuk BUMN, usaha besar, menengah dan kecil, dan percepatan 3 tahun untuk usaha mikro. Perubahan sangat drastis bila dibandingkan batas waktu 1 Januari 2019 yang ditetapkan dalam Perpres RI 12/2013 (18 Januari 2013), sebelum diubah dengan Perpres RI 111/ 2013 (27 Desember 2013).

Tahun 2012 tercatat jumlah usaha besar, menengah dan kecil ada 683.383 unit dengan jumlah pekerja 10.948.638 orang, sedangkan usaha mikro ada 55.856.176 unit dengan jumlah pekerja 99.859.517 orang, dengan total pekerja sebesar 110.808.155 orang, belum termasuk keluarga (Depkop). Akhir tahun 2014 tercatat 119 BUMN atau berkurang 20 BUMN dibandingkan akhir tahun sebelumnya, dengan jumlah pekerja sekitar 700.000 orang, dan pekerja alih daya sebesar 200.000 orang , belum termasuk keluarga.

Perubahan drastis pada tahapan pencapaian kepesertaan adalah aspek sangat penting yang seyogyanya direncanakan secara saksama. Perubahan yang mengejutkan karena ditetapkan hanya 5 hari sebelum program JKN diluncurkan, 1 Januari 2014. Perubahan drastis ini akan melibatkan penduduk dalam jumlah sangat besar sehingga berpotensi menimbulkan kegoncangan.

Dalam Peta Jalan Menuju JKN 2012-2019 telah diungkapkan keikutsertaan pemberi kerja dengan jumlah pekerja besar yang sudah menyediakan jaminan kesehatan yang komprehensif/setara yang dijamin JKN tidak perlu dipaksakan sejak awal. Mereka diberikan masa observasi 3-5 tahun untuk bergabung ke BPJS Kesehatan. Hal ini akan mengurangi beban manajemen BPJS sekaligus juga tidak menimbulkan kegoncangan pekerja yang sudah dijamin karena perubahan prosedur jaminan kesehatan (DJSN, 2012).

Peta Jalan Menuju JKN 2012-2019 diterbitkan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan diluncurkan oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat pada 29 Nopember 2012. Peta Jalan ini disusun oleh 14 institusi terdiri dari 8 Kementerian dan 1 Kementerian Koordinator, dengan sebuah tim terdiri dari 35 orang pakar dan 4 orang Menteri sebagai pengarah.

Perubahan drastis ini tentu mempunyai dasar pertimbangan rasional dan tujuan yang jelas, yang seyogyanya diinformasikan kepada publik agar dipahami semua pemangku kepentingan. Berbagai masalah kompleks yang terjadi dalam pelaksanaan program JKN mungkin ada kaitannya baik langsung maupun tidak langsung dengan akselerasi drastis pada tahapan pencapaian kepesertaan. Target kepesertaan tidak harus menjadi obsesi sehingga aspek-aspek lain dalam penyelenggaraan JKN dapat terabaikan, tetapi kembali berfokus pada tujuan program JKN.

Tujuan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah mencapai cakupan universal, yaitu mewujudkan kesehatan untuk seluruh penduduk: Indonesia Sehat. Cakupan universal dilandasi oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas taraf hidup yang dapat menjamin kesehatan, termasuk pelayanan kesehatan, dan Deklarasi Alma-Ata 1978 yang menyatakan bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia yang mendasar maka penting mencapai kesehatan bagi semua: “Health for All.”

[caption caption="International Conference on Primary Health Care, Almaty, Kazakhstan, 15-16 October 2008"][/caption]

Tujuan cakupan universal adalah memastikan semua orang dapat memperoleh pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan tanpa menderita kesulitan keuangan untuk membayar. Bagi masyarakat atau negara untuk mencapai cakupan universal perlu didukung beberapa faktor berikut: (WHO, 2012)

  • sistem kesehatan yang kuat, efisien dan dikelola baik untuk memberikan pelayanan terintegrasi yang mengutamakan pasien (people-centred integrated care);
  • keterjangkauan - sistem pembiayaan kesehatan yang mampu memberi perlindungan bagi penduduk dari kesulitan keuangan;
  • akses obat esensial dan teknologi untuk diagnosis serta pengobatan; dan
  • tenaga kesehatan yang terlatih baik, memiliki kapasitas cukup, mempunyai motivasi memberikan pelayanan yang terbaik sesuai dengan kebutuhan.

Penguatan sistem kesehatan sangat penting untuk memastikan kemajuan gerakan menuju cakupan universal. Cakupan universal bisa menjadi janji kosong bila tidak berfokus pada penyediaan pelayanan yang berkualitas, bagi semua orang. Perlu ada penguatan sistem kesehatan lokal, di tingkat kabupaten, seperti dinyatakan dalam  Deklarasi Harare: “Penguatan sistem kesehatan distrik berbasis pelayanan primer”.   

Penguatan sistem kesehatan tidak akan berhasil tanpa adanya strategi pemantauan yang memungkinkan para pengambil keputusan dapat menilai kemajuan, kinerja, dampak dan akuntabilitas secara akurat. Tetapi dalam kenyataannya sering terdapat kesenjangan ketersediaan dan kualitas data[4]. http://goo.gl/NYqvT6 Bagaimana hasil evaluasi pelaksanaan program JKN, sebagai sistem baru diyakini memiliki kekurangan, kelemahan, dan hal-hal yang harus disempurnakan (Setkab, 2014).   

Cakupan universal membawa harapan kesehatan yang lebih baik dan memberi perlindungan dari kemiskinan bagi ratusan juta penduduk, terutama bagi penduduk paling rentan. Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Kesehatan dan Agenda Pembangunan Setelah 2015 sebagian besar tergantung bagaimana semua negara berhasil dalam menuju cakupan universal (WHO). Tingkat kesehatan yang lebih baik merupakan komponen penting pembangunan berkelanjutan dan kemajuan negara dalam pengentasan kemiskinan, pertumbuhan dan menjadi elemen kunci dari setiap upaya mengurangi ketidak-adilan sosial (WHO, 2014).

Program JKN menjadi sangat penting dan bernilai strategis, maka harus didukung oleh semua komponen bangsa dan perlu dikawal bersama agar jangan sampai ada kendala dan hambatan tidak tertanggulangi karena terabaikan. Penguatan pelayanan primer belum tentu terabaikan tetapi belum mampu disentuh secara masif, karena memang sulit dan kompleks. Hanya melalui reformasi baru boleh berharp. Reformasi pelayanan kesehatan primer, seperti telah ditegaskan dalam Laporan WHO 2008.

Deklarasi Alma-Ata, 12 September 1978 menyatakan pelayanan kesehatan primer penting untuk mencapai kesehatan bagi semua. Tiga puluh tahun kemudian WHO diselenggarakan Konferensi Regional WHO di Jakarta, 6-8 Agustus 2008, berjudul Revitalisasi Pelayanan Kesehatan Primer. Dinyatakan revitalisasi pelayanan kesehatan primer adalah jalan menuju kedepan maka perlu ada ketegasan komitmen politik yang tinggi pada pelayanan kesehatan primer.

Selanjutnya pada 15-16 Oktober 2008, WHO menyelenggarakan Konferensi di Almaty, Kazakhstan (dahulu Alma Ata, USSR), untuk memperingati ulang tahun ke-30 Deklarasi Alma-Ata, dengan tema “Primary Health Care: Now More Than Ever”.

Perlu dicatat pada 3-13 Agustus 1937 di Bandoeng, diselenggarakan Intergovernmental Conference of Far-Eastern Countries on Rural Hygiene atau dikenal sebagai Bandoeng Conference oleh League of Nations Health Organization (LNHO, organisasi sebelum WHO). Persitiwa ini dipandang sebagai bayang-bayang didepan dari Deklarasi Alma-Ata. Membanggakan, ternyata inspirasi untuk memajukan pelayanan kesehatan primer dunia diawali di Indonesia.

Peran dan fungsi pelayanan kesehatan primer memang masih menjadi permasalahan serius, bahkan di tingkat global. Membangun dan memperbaiki pelayanan primer di Indonesia bukan tantangan sederhana, demikian perjalanan membangun pendidikan kedokteran keluarga di Indonesia yang tak kunjung berhasil, walau telah diinisiasi sejak tahun 1980-an.

Gerakan transformasi dokter keluarga di Amerika Serikat diawali dari frustrasi para dokter keluarga, dalam rapat kerja pada bulan Januari 2000. Pada 4-8 Oktober 2000 diselenggarakan konferensi Keystone III dan dibentuk the Future of Family Medicine (FFM) Project, oleh 7 organisasi terkait dokter keluarga. Dibentuk gugus tugas untuk menyiapkan data dan informasi guna menyusun  strategi transformasi dan pembaharuan praktek dokter keluarga untuk memenuhi kebutuhan penduduk dan masyarakat dalam dinamika perubahan lingkungan. [6]

Kerangka kerja direalisasi dalam proyek silih berganti, dengan dukungan berbagai organisasi serta perusahaan. Salah satu proyek di periode terakhir adalah Safety Net Medical Home Initiative, proyek 5 tahun (2008-2013) yang dirancang bagi 65 klinik di 5 negara bagian, berupa program transformasi menuju patient-centered medical home (PCMH). Penyandang dana utama adalah the Commonwealth Fund, [7] yang didirikan 1918 oleh Anna M. Harkness, istri Stephen V. Harkness, investor utama Standard Oil.

Yang perlu dipetik dari kisah perjuangan transformasi pelayanan primer menjadi lebih baik ternyata perlu kerjasama dari banyak pihak, diawali dari semangat dan kekuatan sebuah inisiatif. Bukan menunggu semua terselesaikan dengan sendirinya.

Advokasi pelayanan primer menghadapi tantangan yang tidak mudah dan sederhana. Penguatanan pelayanan primer yang berfokus pada mengutamakan pasien (patient-centered) merupakan perubahan fundamental pada model pelayanan primer. Bukan sekedar basa basi, atau seperti maraknya manage care yang cenderung semu, “quasi”.

Bila pelayanan primer masih rapuh, tampaknya sulit berharap terjadi penguatan sistem kesehatan begitu saja. Tanpa penguatan sistem kesehatan, maka harus sanggup menghadapi bayang-bayang suram di masa depan menjadi kenyataan. Barangkali ada yang cukup berani mengakui bahwa pelayanan primer saat ini masih cukup kondusif, Bila masih ada kekurangan dan kelemahan pasti akan diperbaiki dan disempurnakan.  

Sebenarnya banyak pihak yang memiliki cukup idealisme untuk berperanserta aktif dan berkontribusi secara nyata demi masa depan JKN, masa depan bangsa. Tetapi seringkali seolah tidak ada cukup ruang untuk pihak lain berpartisipasi aktif. Salah satu penyebab utama yang menimbulkan masalah adalah ketidaksiapan pelayanan primer. Jargon penguatan pelayanan primer penting untuk masa depan JKN tampaknya masih perlu disertai upaya sekuat tenaga mencari rekomendasi solusi yang efektif.

Mungkin masih ada yang skeptis menerima “kenyataan” bahwa penguatan pelayanan primer akan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dengan biara lebih rendah.

Perubahan perbaikan pelayanan primer untuk penguatan sistem kesehatan harus segera dimulai. Inisiatif gerakan perubahan ini membutuhkan kepemimpinan kuat, pimpinan yang berpihak kepada rakyat, pimpinan tertinggi.

Semoga bermanfaat,
Kris Kirana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun