Kita barangkali tidak akan menyangka bahwa pada zaman globalisasi, negara Indonesia justru mengalami kemunduran dalam menghidupi kebinekaan. Negara yang didirikan para bapa bangsa dengan darah dan air mata ini mengalami pengoyakan hanya karena perbedaan pandangan politik. Politik praktis di negara ini seolah-olah identik dengan harta dan kekuasaan belaka.Â
Kemajemukan yang niscaya ada sejak dahulu kala jusgtru menjadi sarana untuk memecah-belah demi ketercapaian dalam kekuasaan politis. Ideologi Pancasila yang mendasari kehidupan berbangsa dan bernegara belum menjadi rambu-rambu, apalagi sebagai komitmen bersama dalam berpolitik.Â
Ideologi ini acapkali hanya menjadi ajang persembunyian dalam mencitrakan diri atau golongan, tetapi dalam pelaksanaan berperilaku sesungguhnya telah menjauh menjadi sekadar mengejar kepentingan diri/golongan. Rasanya menyedihkan.
Dalam konstelasi politik yang kini telanjur tersegmentasi begitu, kita membutuhkan sosok-sosok yang hatinya tulus untuk membenahi keadaan. Sebagian besar umat manusia yang telah menyadari tentang hidup, pasti akan mencatat dengan tegas dalam hatinya: hidup itu untuk meraih kebahagiaan! Seandainya rasa bahagia belum diperolehnya, barangkali dirinya sengaja telah menukarnya dengan kondisi hidup lainnya.Â
Uang mendatangkan bahagia, tapi kekayaan belum tentu menimbulkan pengaruh yang sama. Bahagia, itu surga paling nyata, tak usah "ngayawara" tentang tempat di akhirat yang nirmala dikelilingi bidadari yang memenuhi birahi.
Andaikata asal-usul kedirian manusia itu menjadi tolok dalam hidup sehari-hari, kecenderungan untuk menjahati sesama barangkali akan terkendali. Namun, doktrin kebencian yang selalu dipelihara di dalam diri tidak akan pernah mampu menyamankan hati untuk menyadari kelemahan diri. Hasrat menjadi umat yang merasa paling tahu tentang firman Tuhan Allah telah menjerat kita dalam pusaran pembenaran yang bodoh -- ya, sebab kebodohan yang kita buat bukan berasal dari firman yang dimengertinya secara dangkal. Sebaiknya kita memaafkan kebodohan diri ini, agar tidak menurun kepada anak-cucu.
Ada suatu survei yang melaporkan bahwa kita merupakan negara pengguna media sosial yang berada di urutan tiga teratas di dunia. Namun, terlepas dari peranan anak-anak muda yang kreatif dan pengusaha inovatif, pada umumnya bangsa ini masih sebagai pengguna konsumtif untuk jaringan internet. Kepemilikan gawai yang terus bertambah tidak beriringan dengan kesadaran untuk menerima viral informasi -- terutama agama -- secara intelek, terbuka, dan bijak. Viral-viral bernuansa agama selalu menyeret umat pada sudut-sudut fanatisme.Â
Apalagi dibumbui dengan pengutipan ayat-ayat yang dilepaskan dari konteks firman itu diturunkan oleh Allah. Semakin berbahaya lagi, seperti yang pernah disampaikan presiden (Jokowi), apabila "didorong oleh infiltrasi asing yang ingin memecah belah" bangsa ini yang bermodalkan kemajemukan sejak awal keberadaannnya.
Nah, di dalam bingkai kebinekaan ini, kita membutuhkan tokoh-tokoh yang loyal terhadap keindonesiaan. Tokoh-tokoh yang dalam perjalanan hidupnya telah sukses secara lahiriah dan batiniah. Salah satunya adalah Julianto Eka Putra (Koh Jul), arek Surabaya yang membingkai kecintaan kepada Indonesia dengan mendirikan sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) -- sekolah yang hanya menerima peserta didik yang yatim, piatu, yatim piatu, serta miskin. Di dalam kesuksesan hidupnya, secara pribadi masih turun tangan untuk terlibat secara langsung dengan mengelola pendidikan anak-anak bangsa yang terpinggirkan dalam hidup sehari-hari.
Koh Jul terlahir dari pasangan Tonny Singgih Utama dan Yenny Sindawati, sulung dari 3 bersaudara ini melewati masa kecil dengan biasa-biasa saja, sama nakalnya seperti anak-anak lainnya. Ada satu hal yang berbeda dan menarik dari kisah masa kecilnya yang dimulai sejak kelas 4 SD, tanpa disadari Julianto kecil sudah mulai memupuk jiwa wirausahanya.
"Entah kenapa saat melihat teman-teman banyak yang main kelereng di sekolah, saya tertarik untuk bisa mencari tahu di mana kelereng itu bisa dibeli dan menjualnya kepada teman-teman" kenangnya kala itu. Dengan bertanya ke toko kelontong dekat rumah, Julianto segera mencari tempat di mana bisa membeli kelereng dengan murah. Alhasil, ia pun bisa mendapat keuntungan Rp 5,- dari setiap menjual 4 butir kelereng di sekolahnya.
"Manusia itu unik dan menarik. Tidak bisa ditebak" jawab pria yang sejak kelas 4 SD bercita-cita menjadi orang kaya ini. "Kadang orang yang paling Anda cintai bisa sangat menyakiti hati Anda, kadang orang yang sering Anda bantu malah mengecewakan Anda. Terkadang orang yang jarang Anda bantu malah bisa menjadi orang yang paling banyak menolong Anda."
Itu adalah pelajaran yang bisa ia simpulkan ketika merintis bisnis di berbagai daerah seluruh Indonesia. Karena keunikan manusia itulah, maka sangat wajar jika terjadi konflik atau ketidak-cocokan saat kita membina hubungan bisnis dengan rekan kita.Itu sebabnya mengapa di dunia ini ada perang. Karena ada 1 milyar perbedaan dan keunikan yang tidak bisa ditebak. Karena pengalaman itulah, Julianto memilih motto hidup yang sangat menggambarkan dirinya, yaitu " Hidup Untuk Memahami, Bukan Untuk Dipahami." (http://juliantoekaputra.com)
Kebaikan itu mirip udara. Atau yang lebih mengena bagi tubuh manusia: virus. Koh Jul adalah salah satu jenis virus di Indonesia yang piawai menyebarkan viruas kebaikan. Bertumpu pada pembelajaran untuk memberi kesempatan "memilih" kepada anak didik, berbuah menjadi anak-anak mandiri -- bahkan semenjak dini. Ditopang dengan konsep terhadap "kesadaran" yang banyak dilupakan manusia, maka proses pencapaian terhadap keinginan  pun pasti terwujud. Koh Jul lalu menawarkan dan memromosikan suatu suatu aturan main.Â
Dream -- hope -- spirit -- action -- succes, itulah aturan main dalam meraih keinginan dalam hidup. Dia pun menyebarkannya dengan berapi-api, juga musik yang tiada henti dalam sesi-sesinya (tapi, kadang mengganggu juga saat ada yang bicara). Wajahnya yang semanak, berpakaian tidak terlalu necis, teriakan yang nyaman di telinga, juga kiat penawaran yang luwes tanpa memaksa -- dirinya tidak sekadar motivator terampil, sekaligus pemecah kegelapan bagi Indonesia yang kaya dan beragam.
Sekolah Tinggi Ilmu Kewirausahaan  (STIK) sedang dibangunnya untuk sementara menjadi satu-satunya di Indonesia. Izinnya baru terbit pada bulan Maret 2018 ini -- pasti akan menumbuhkan pioner-pioner yang mengatasi kebuntuan kelahiran wirausaha di Indonesia. Seperti sekolah SPI yang telah menginspirasi dunia pendidikan kita, sekolah kewirausahaan ini pasti akan berbuah pada 4-5 tahun mendatang. Salah satu kelemahan pengusaha-pengusaha kita, terlepas dari beberapa gelintir yang visioner, yaitu tidak terampil dalam membaca dan menulis. Kita bisa membayangkan andaikata para pengusaha Indonesia mempunyai kebiasaan membaca dan menulis, pasti dunia usaha kita akan lebih kompetitif dan berdaya tahan. Negara ini pun akan disegani, bahkan bahkan kelak menjadi tujuan studi banding  bagi negara-negara lain.
Dengan pengemasan kurikulum membaca dan menulis bagi calon-calon pengusaha itu, modal mereka kian komplet untuk memasuki dunia nyata. Jadi, selamat memberi kesempatan memilih dan menotok kesadaran anak-anak bangsa, juga pemangku kepentingan lainnya! Indonesia selalu membutuhkan sosok-sosok yang tulus mencintai negara dan bangsanya. Ada ajakan untuk terus-menerus menarasikan kebinekaan melalui media sosial.Â
Kebinekaan adalah keniscayaan. Kebinekaan adalah modal. Kebinekaan adalah masa depan bangsa ini. Program atau gerakan yang hebat dalam bidang apa pun, tanpa kesadaran pada kebinekaan, cepat atau lambat akan menimbulkan problema yang berkepanjangan. Koh Jul telah menarasikan kebinekaan dalam hidupnya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H