Mohon tunggu...
Eko Kristie
Eko Kristie Mohon Tunggu... Guru - Payung itu melindungi diri. Payung itu norma, tradisi, agama, dan segala sesuatu yang menjadikan hidup semakin nyaman.

Pada mulanya adalah kata-kata. Itulah awal Tuhan Allah mengenalkan dunia. Ayo, saling mengenal untuk memuliakan karya agung-Nya!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ayo, Menjadi Sosok Nasionalis yang Tulus! (Cara Koh Jul Menarasikan Kebhinekaan)

25 Maret 2018   00:37 Diperbarui: 25 Maret 2018   00:42 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita barangkali tidak akan menyangka bahwa pada zaman globalisasi, negara Indonesia justru mengalami kemunduran dalam menghidupi kebinekaan. Negara yang didirikan para bapa bangsa dengan darah dan air mata ini mengalami pengoyakan hanya karena perbedaan pandangan politik. Politik praktis di negara ini seolah-olah identik dengan harta dan kekuasaan belaka. 

Kemajemukan yang niscaya ada sejak dahulu kala jusgtru menjadi sarana untuk memecah-belah demi ketercapaian dalam kekuasaan politis. Ideologi Pancasila yang mendasari kehidupan berbangsa dan bernegara belum menjadi rambu-rambu, apalagi sebagai komitmen bersama dalam berpolitik. 

Ideologi ini acapkali hanya menjadi ajang persembunyian dalam mencitrakan diri atau golongan, tetapi dalam pelaksanaan berperilaku sesungguhnya telah menjauh menjadi sekadar mengejar kepentingan diri/golongan. Rasanya menyedihkan.

Dalam konstelasi politik yang kini telanjur tersegmentasi begitu, kita membutuhkan sosok-sosok yang hatinya tulus untuk membenahi keadaan. Sebagian besar umat manusia yang telah menyadari tentang hidup, pasti akan mencatat dengan tegas dalam hatinya: hidup itu untuk meraih kebahagiaan! Seandainya rasa bahagia belum diperolehnya, barangkali dirinya sengaja telah menukarnya dengan kondisi hidup lainnya. 

Uang mendatangkan bahagia, tapi kekayaan belum tentu menimbulkan pengaruh yang sama. Bahagia, itu surga paling nyata, tak usah "ngayawara" tentang tempat di akhirat yang nirmala dikelilingi bidadari yang memenuhi birahi.

Andaikata asal-usul kedirian manusia itu menjadi tolok dalam hidup sehari-hari, kecenderungan untuk menjahati sesama barangkali akan terkendali. Namun, doktrin kebencian yang selalu dipelihara di dalam diri tidak akan pernah mampu menyamankan hati untuk menyadari kelemahan diri. Hasrat menjadi umat yang merasa paling tahu tentang firman Tuhan Allah telah menjerat kita dalam pusaran pembenaran yang bodoh -- ya, sebab kebodohan yang kita buat bukan berasal dari firman yang dimengertinya secara dangkal. Sebaiknya kita memaafkan kebodohan diri ini, agar tidak menurun kepada anak-cucu.

Ada suatu survei yang melaporkan bahwa kita merupakan negara pengguna media sosial yang berada di urutan tiga teratas di dunia. Namun, terlepas dari peranan anak-anak muda yang kreatif dan pengusaha inovatif, pada umumnya bangsa ini masih sebagai pengguna konsumtif untuk jaringan internet. Kepemilikan gawai yang terus bertambah tidak beriringan dengan kesadaran untuk menerima viral informasi -- terutama agama -- secara intelek, terbuka, dan bijak. Viral-viral bernuansa agama selalu menyeret umat pada sudut-sudut fanatisme. 

Apalagi dibumbui dengan pengutipan ayat-ayat yang dilepaskan dari konteks firman itu diturunkan oleh Allah. Semakin berbahaya lagi, seperti yang pernah disampaikan presiden (Jokowi), apabila "didorong oleh infiltrasi asing yang ingin memecah belah" bangsa ini yang bermodalkan kemajemukan sejak awal keberadaannnya.

Nah, di dalam bingkai kebinekaan ini, kita membutuhkan tokoh-tokoh yang loyal terhadap keindonesiaan. Tokoh-tokoh yang dalam perjalanan hidupnya telah sukses secara lahiriah dan batiniah. Salah satunya adalah Julianto Eka Putra (Koh Jul), arek Surabaya yang membingkai kecintaan kepada Indonesia dengan mendirikan sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) -- sekolah yang hanya menerima peserta didik yang yatim, piatu, yatim piatu, serta miskin. Di dalam kesuksesan hidupnya, secara pribadi masih turun tangan untuk terlibat secara langsung dengan mengelola pendidikan anak-anak bangsa yang terpinggirkan dalam hidup sehari-hari.

Koh Jul terlahir dari pasangan Tonny Singgih Utama dan Yenny Sindawati, sulung dari 3 bersaudara ini melewati masa kecil dengan biasa-biasa saja, sama nakalnya seperti anak-anak lainnya. Ada satu hal yang berbeda dan menarik dari kisah masa kecilnya yang dimulai sejak kelas 4 SD, tanpa disadari Julianto kecil sudah mulai memupuk jiwa wirausahanya.

"Entah kenapa saat melihat teman-teman banyak yang main kelereng di sekolah, saya tertarik untuk bisa mencari tahu di mana kelereng itu bisa dibeli dan menjualnya kepada teman-teman" kenangnya kala itu. Dengan bertanya ke toko kelontong dekat rumah, Julianto segera mencari tempat di mana bisa membeli kelereng dengan murah. Alhasil, ia pun bisa mendapat keuntungan Rp 5,- dari setiap menjual 4 butir kelereng di sekolahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun