Ketika Tamsil Linrung, anggota DPD RI, mengadakan lomba menulis bertema: "Pekik (Belum) Merdeka Guru Honorer", saya teringat akan sebuah tulisan saya yang terbit di HU Pos Kupang pada 12 November 2019. Saya kira, tulisan saya masih relevan untuk diperbincangkan hingga saat ini, meski ada peraturan baru dari Kemdikbud, Nadiem Makarim, bagi guru honorer (seperti pemberian Bantuan Subsidi Upah dan peluang guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja - PPPK).
Berikut tulisan saya:
Karl Marx (1818-1883), filsuf jerman, pernah mengeluarkan sebuah adagium: "Agama adalah opium (candu) rakyat." Pernyataan ini tertera dalam pembukaan karyanya, "Zur Kritik der Hegelschen Rechtsphilosophie"; (A Contribution to the Critique of Hegel's Philosophy of Right) yang ditulis olehnya pada tahun 1843 dan terbit pada tanggal 7 dan 10 Februari 1844 di Paris dalam jurnal Deutsch-Franzsische Jahbcher. Pernyataan lengkap, versi bahasa Inggris, berbunyi demikian: "Religious suffering is, at one and the same time, the expression of real suffering and a protest against real suffering. Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the opium of the people." Marx membincangkan agama pada waktu itu (abad 19) dalam konteks masyarakat kapitalistik. Dalam masyarakat kapitalis, kaum proletar dituntut untuk menyerah dan berdamai dengan situasi penindasan yang dilakukan oleh kaum borjuis-kapitalis. Kaum kapitalis, menurut Marx, mengadakan persekongkolan dengan Gereja (Katolik).
Ada semacam 'hubungan kotor' antara Gereja dengan pemegang kekuasaan yang terjadi di ranah agama dan politik. Dengan itu, kaum kapitalis yang berkuasa menggunakan agama untuk memobilisasi rakyat demi memenuhi kepentingan kaum kapitalis (Dhianita Kusuma Pertiwi, Harian Indoprogress; Muhidin M. Dahlan, 2002). Di tengah situasi seperti itulah, Marx menegaskan bahwa orang-orang yang tertindas membutuhkan seseorang seperti manusia super yang bisa menghibur mereka dalam penderitaan. Marx menulis: "Man, who has found only the reflection of himself in the fantastic reality of heaven, where he sought a superman, will no longer feel disposed to find the more appearance of himself, the non-men (Unmensch), where he seeks and must seek his trus reality."
Meski demikian, ketika mereka menciptakan fantasinya seperti itu, sebenarnya mau menegaskan bahwa manusia menciptakan dirinya sendiri. Dengan lain perkataan, ia setuju dengan gagasan tentang agama yang ditegaskan oleh Ludwig Feurbach bahwasanya agama adalah ungkapan keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Tesis Feuerbach berbunyi demikian: "Religion is the disuniting of man from himself; he sets God before him as the antithesis of himself God is not what man is -- man is not what God is. God is the infinite, man the finite being; God is perfect, man imperfect; God eternal, man temporal; God almighty, man weak; God holy, man sinful. God and man are extremes: God is the absolutely negative, the sum of all realities; man the absolutely negative, comprehending all negations. But in religion man contemplates his own latent nature. Hence it must be shown that this antithesis, this differencing of God and man, with which religion begins, is a differencing of man with his own nature" (George Eliot, 2008).
Tesis di atas mengantar Marx untuk menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya, agama model ini mengakibatkan manusia tidak mengalami keberhasilan dalam merealisasikan hakikat dirinya. Oleh karena itu, penghapusan agama sebagai sebuah ilusi kebahagiaan rakyat adalah sebuah tuntutan etis demi membahagiakan manusia. Singkatnya, agama yang menciptakan ilusi kebahagiaan manusia yang adalah dirinya sendiri mesti dikritik.
Meski demikian, Marx sadar bahwa kritik atas agama dapat mengecewakan manusia. Hal ini beralasan, menurut Marx, agama hanyalah sebuah ilusi yang berputar di sekitar manusia dan hakikat dirinya. Manusia merealisasikan dirinya dalam agama karena struktur masyarakat pada waktu itu yang tidak member peluang kepada masyarakat untuk merealisasikan dirinya. Dengan ini menjadi jelas bahwa agama hanyalah tanda keterasingan manusia, bukan dasarnya. Agama hanyalah pelarian dari realitas penderitaan manusia.
Oleh karena itu, tugas filsafat menurut Marx adalah penegakan kebenaran dunia ini. Manusia mesti mengeritik struktur masyarakat yang tidak adil, bukan agama sebagai realitas sekundernya. Hal ini ditegaskan oleh Marx sebagai berikut: Adalah tugas langsung filsafat, yang melayani sejarah, untuk membuka kedok pengasingan diri dalam bentuk-bentuknya yang tidak suci segera sesudah bentuk suci dari pengasingan diri manusia telah dibuka kedoknya. Dengan demikian, kritik Surga berubah menjadi kritik Bumi, kritik agama menjadi kritik hukum, dan kritik teologi menjadi kritik politik.
Apa yang mau disampaikan oleh Marx adalah bahwa agama mesti dijelaskan dalam konteks kondisi sosial masyarakat. Agama mesti menyentuh realitas penderitaan rakyat. Agama tidak boleh menjadi semacam opium yang membuat manusia menerima penderitaan sebagai buah penindasan dari mereka yang berkuasa. Agama tidak boleh menjadi tempat pelarian orang-orang yang sedang menderita. Agama tidak boleh berputar pada tataran konsep surgawi. Agama tidak hanya membincangkan realitas penderitaan yang dialami manusia sebagai sebuah cobaan yang akan mendapatkan pahala dan balasannya di surge. Sebaliknya, agama yang diajarkan dan diwartakan mesti mestilah agama yang menyentuh realitas sosial masyarakat. Realitas penderitaan yang dihadapi oleh umat Allah mesti ditanggapi dengan serius oleh Gereja yang mengajarkan nilai-nilai luhur dari agama. Gereja mesti memihak mereka yang kehilangan hak dan pegangan hidup di hadapan kekuasaan yang kapitalistik.
Opium a la Mendikbud
Pada hari Kamis (10/9/19) dalam acara peringatan Hari Guru Internasional bertempat di Graha Utama Kemendikbud, Jakarta Selatan, Mendikbud, Muhadjir Effendi, dalam salah satu pidatonya menegaskan dengan keyakinan yang utuh bahwasanya orang pertama yang masuk surge adlah guru. Hal ini beralasan, gaji guru, khususnya guru honorer, sangat kecil. Nikati saja, nanti masuk surga, tandas beliau.
Apa yang disampaikan oleh mendikbud adalah sebuah kemirisan atas dunia pendidikan kita. Mengapa? Menurut UU No. 14 tahun 2015, tugas utama seorang guru adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini melalui jalur formal pendidikan dasar dan menengah. Singkatnya, guru adalah tonggak utama penciptaan generasi yang berilmu, berkualitas, dan berkaraktet. Bagaimana mungkin, mereka yang bekerja keras untuk menciptakan generasi yang berkualitas ini tidak diperhatikan kesejahteraan hidupnya? Guru yang setipa harinya mengemban tugas untuk mengajarkan ilmu pengetahuan, mendidik, mengarahkan dan melatih muridnya agar memahami ilmu yang diajarkannya hanya dihibur (dihadiahi) dengan opium a la Mendikbud: mendapat pahala surgawi.
Solusi
Untuk mengatasi kesenjangan pola piker ini, Mendikbud periode berikutnya sepatutnya memikirkan solusi yang terbaik demi menjamin kesejahteraan guru yang telah bersusah payah menciptakan generasi yang berkualitas bagi bangsa dan negara ini. Mendikbud mesti keluar dari keterkungkungan opium surgawi ini.
Konkritnya, mengevaluasi kembali gaji (upah) guru yang masih dalam taraf kecil ini dan mengambil tindakan untuk mencari solusi yang terbaik seperti meningkatkan upah guru-guru tersebut demi kesejahteraan hidupnya. Sebab, guru adalah mereka yang berjasa bagi bangsa dan negara ini. Tanpa guru, sumber daya manusia Indonesia akan lemah. Akibatnya, kita tidak bisa berpartisipasi dalam persaingan global antarnegara. Mari keluar dari lingkaran opium kesejahteraan surgawi ini.***
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H