Antara Hoegeng dan Winardi: Polisi Berintegritas dan Humanis
Ketika membincangkan polisi yang berintegritas, kita pasti tertuju pada sosok Jenderal (Purn) Polisi Hoegeng Iman Santoso. Kapolri kelima RI yang wafat pada 14 Juli 2004 ini, memiliki integritas dan karakter yang teguh untuk menjaga marwah Polri dan Indonesia. Ia dikenal jujur, teguh dalam prinsip dan sederhana.
Bahkan sosok Hoegeng yang penuh integritas dan mengabdi kepada rakyat ini pernah dipuji dengan gaya guyon oleh presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (yang akrab disapa Gus Dur): "hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: polisi tidur, patung polisi, dan polisi Hoegeng".
Sosok Hoegeng tak ada duanya. Dialah teladan polisi berintegritas yang pernah dimiliki oleh tanah air. Track record yang dibuatnya sungguh menawan. Kita mesti memberi apresiasi yang sedalam-dalamnya bagi pengabdian beliau bangsa dan tanah air.
Namun, sampai titik ini kita bertanya, apakah sosok polisi yang diidealkan oleh masyarakat hanyalah seorang polisi Hoegeng? Atau, adakah sosok lain yang memberi harapan kepada masyarakat bahwa kepolisian itu sebenarnya memiliki sosok-sosok yang "menghindari kamera", hanya mau bekerja dan berada "di balik layar", tidak mau memamerkan diri padahal memiliki prestasi segudang? Tentu ada.
Dalam tulisan ini, penulis merasa tertarik untuk mengangkat sosok Bripka Winardi. Hemat penulis, beliau adalah salah satu sosok teladan polisi humanis yang mesti mendapat sorotan di Hari Bhayangkara ke-75 tahun 2021.
Mengapa?
Pada Selasa, 22 November 2016, detik.com menurunkan berita dengan judul, "Bripka Winardi, Polisi Teladan yang Suskes Ajak Pejudi Tinggalkan Dunia Hitam".
Seperti diberitakan, Bripka Winardi yang bertugas sebagai Bhabinkamtibnas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban masyarakat) Polsek Bantul ini sangat dekat dengan masyarakat.
Beliau adalah sosok yang mengabdi kepada masyarakat dan peka dengan kondisi masyarakat di mana ia ditugaskan. Entah beliau dipengaruhi oleh pemikiran humanisme atau tidak, buktinya ia berhasil 'menobatkan' Supriyadi, seorang penjudi cum pemabuk, dengan pendekatan humanis. "Biasanya kan orang mengentaskan pelaku pelanggaran hukum dengan jalur hukum. Tapi saya dengan jalur kemanusiaan" tandas Winardi.
Menurut pengakuan beliau, ia tidak langsung mengajak Supriyadi untuk berhenti berjudi dan mabuk-mabukan karena itu merupakan pelanggaran hukum dan merusak citra diri. Ia mendatangi rumah Supriyadi untuk ajak berbincang-bincang sambil sesekali makan bersama.
![detik.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/06/22/detik-com-60d15027bb448630aa37b032.jpg?t=o&v=770)
Tidak sampai di situ, ketika Supriyadi sudah 'bertobat', Bripka Winardi bekerja bersama dengannya untuk membangun kamar mandi yang adalah hadiah dari pihak kepolisian.
Kisah yang menarik, bukan?
Berkat pendekatan yang humanis kepada masyarakat ini, Bripka Winardi pernah meraih penghargaan dari Kapolda DIY sebagai Role Model Polisi Teladan sebagai penggerak revolusi mental dan pelopor tertib sosial di ruang publik pada tahun 2017. Â
![tribratanewsbantul.id](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/06/22/tribatanewsbantul-60d1502d37f4b91d6e091962.jpg?t=o&v=770)
Pada dasarnya, manusia memiliki tiga ciri dasar, yakni makhluk yang berakal budi, jasmani dan sosial.
Pertama, berakal budi. Sebagai makhluk berakal budi, kelakuan manusia diatur secara normatif dan bukan secara instingtual.
Kedua, jasmani. Kejasmanian manusia membawa akibat dalam dua arah: manusia membutuhkan benda-benda material agar ia dapat hidup, dan manusia dapat ditindas, ditaklukkan, atau diperkosa melalui medium kejasmanian.
Ketiga, sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia hanya dapat mewujudkan kehidupannya, bahkan menjadi diri, dalam kebersamaan dengan orang lain (Otto Gusti, Hukum dan Hak Asasi Manusia (ms.) STFK Ledalero, hlm. 8).
Tiga ciri khas manusia ini merupakan antitesis atas konsep Thomas Hobbes yang mengatakan bahwa "manusia adalah serigala bagi sesamanya" (homo homini lupus). Bahwa naluri setiap manusia adalah naluri pemangsa yang ingin menguasai orang lain, tegas Hobbes.
Namun, ketika dibenturkan dalam ruang publik kemasyarakatan, manusia mesti rela melepaskan ego-nya. Ia tidak bisa semena-mena menjadi pemangsa bagi orang lain karena manusia berada dalam koridor akal budi yang mampu berpikir kritis atas segala sesuatu, jasmani yang meletakkan batasan kepemilikan seseorang, dan sosial yang membuat perjumpaan setiap orang menjadi akrab dan bersahabat.
Ciri khas ini membawa setiap manusia untuk berjumpa dengan orang lain apa adanya. Pembawaan diri ini membawa manusia pada proses dialog persaudaraan yang terbuka satu sama lain. Â
"Winardi-Winardi" yang lain
Bripka Winardi secara tidak langsung mengimplementasikan tiga ciri khas manusia di atas: berakal budi (Winardi mampu berpikir kritis dan menghasilkan pemikiran progresif yang nantinya akan mengubah kepribadian seseorang), jasmani (Winardi membantu membangun kamar mandi Supriyadi yang adalah hadiah dari pihak kepolisian), dan sosial (Winardi membangun dialog kehidupan untuk mencari jalan keluar bagi pelanggar hukum). Â
Winardi sadar, sesama adalah wajahnya yang lain.
Di hari ulang tahun Bhayangkara ke-75 tahun 2021 ini, kisah Bripka Winardi hendaknya menjadi alarm seretak pemantik bagi kebangkitan Winardi-Winardi yang lain.
Betapa damai dan tenteram negeri ini apabila semua aparat kepolisian mendekati para pelanggar hukum dengan cara humanis.
Selamat Hari Ulang tahun. Semoga kepolisian selalu bersinergi membangun negeri ini. ***