Setelah kematian menjemput, musnahlah segala apa yang kita miliki di dunia ini. Hanya amal kebaikan yang dapat dibanggakan.
Tingginya tuntutan pekerjaan dan pemenuhan kebutuhan keluarga menjadikan tidak sedikit orang yang tidak merasakan kebahagiaan, sebaliknya mereka mengalami tekanan dan depresi.
Sebagian dari mereka kehilangan waktu berkumpul dengan keluarga, melakukan aktivitas berolahraga bahkan melakukan kegiatan agama. Dampak lainnya adalah pemahaman akan kebenaran menjadi buram.
Kecenderungan meningkatnya depresi tercermin dalam sebuah survei berikut ini:
Hasil survei swaperiksa masalah psikologis selama lima bulan yang dilakukan oleh dr. Lahargo Kembaren, SpKJ, Psikiatri - Spesialis Kesehatan Jiwa dari Siloam Hospitals Bogor menemukan 64,8 persen responden mengalami masalah psikologis seperti cemas, depresi, dan trauma psikologis.
Bukan itu saja sebagai dampak dari depresi maka sebagian dari mereka berniat untuk bunuh diri.
Dalam survei itu juga terungkap 20 persen responden memiliki pikiran lebih baik mati dan ironisnya usia yang terbanyak adalah usia produktif yakni 18-29 tahun. Sedangkan organisasi kesehatan dunia, WHO merilis bahwa angka bunuh diri menjadi penyebab ketiga untuk mereka di rentang usia 15-19 tahun. (JawaPos.com, 11 Oktober 2020)
Temuan itu menjadi keprihatinan kita agar lebih pintar dalam mengelola stres. Sementara itu sebuah survei mengenai kepercayaan akan adanya kehidupan setelah kematian tercermin dalam survei yang dilakukan di Amerika Serikat.
Survei yang dirilis dari website Relationships in America.com yang menanyakan "Apakah menurut Anda, akan ada kehidupan setelah kematian?" Secara keseluruhan yang menjawab "ya" ada sebesar 72 persen responden.
Secara terperinci dapat diketahui bahwa mereka yang beragama (berbagai macam aliran agama) menjawab secara beragam hingga yang paling tinggi sebesar 94 persen mempercayai adanya kehidupan setelah kematian.
Sementara responden yang tidak beragama (ateis) hanya berjumlah 32 persen saja yang percaya adanya kehidupan setelah kematian. Kemudian sebanyak 8 persen populasi yang mewakili orang-orang spiritual tetapi tidak relegius percaya akan kehidupan setelah kematian sebesar 79 persen.
Tidak itu saja, survei juga menanyakan kepercayaan akan adanya surga dan neraka.
Sedangkan temuan lainnya adalah orang yang rajin beribadah percaya adanya surga (83%) dan percaya adanya neraka (77%), mereka yang kadang-kadang beribadah mengaku adanya surga (70%) dan neraka itu ada (59%) dan yang tidak pernah beribadah yakin adanya surga (43%) dan adanya neraka (35%).
Dari survei tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin umat taat menjalankan agama maka semakin mempercayai adanya surga dan neraka. Berarti tidak sia-sia mereka menjalankan ibadah, mungkin mereka mengenal kebenaran dari pembicara selama menjalankan beribadah.
Survei yang dilakukan di Amerika Serikat itu tidak dapat mewakili seluruh populasi yang ada di dunia, namun minimal menjadi pengetahuan bagi kita bahwa secara keseluruhan ada 72 persen yang mempercayai adanya kehidupan setelah kematian.
Berarti ada 28 persen yang tidak mempercayai adanya kehidupan setelah kematian. Pertanyaan jadi muncul apakah sebesar 72 persen yang mempercayai adanya kehidupan setelah kematian pasti masuk kehidupan kekal?
Tentunya tidak karena ada kriteria-kriteria dari Sang Pencipta yang perlu dipenuhi. Sebagai umat kita hanya berusaha untuk melakukan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Kembali pada temuan survei mengenai korelasi antara aktif beragama dengan keyakinan adanya surga dan neraka, bahwa sebagai umat sudah sewajarnya kita menjalankan kegiatan-kegiatan keagamaan karena akan menambah pengetahuan mengenai kebenaran.
Lalu apakah yang perlu dilakukan sebagai orang percaya?
Pertama, Aktif beribadah
Mengambil bagian dalam ibadah sebagai bentuk refleksi orang percaya yang taat pada Sang Pencipta dan rindu akan kebenaran. Bisa dibayangkan jika orang-orang tidak mau beribadah maka tempat-tempat ibadah menjadi kosong.
Para pemuka agama hanya berbicara kepada para pengurus tanpa kehadiran umat. Sementara pusat perbelanjaan dan tempat rekreasi penuh sesak. Mereka lebih memilih kebutuhan yang dapat memuaskan untuk kehidupan fana.
Kedua, Kehidupan dunia bukan tujuan akhir
Dunia yang kita tempati ini bukan suatu tempat abadi, namun hanya sementara. Semua yang ada akan berakhir termasuk tubuh kita. Jika semua akan berakhir mengapa harus diperjuangkan mati-matian?
Sementara ada dunia baru yang kekal yang perlu diperjuangkan dengan sepenuh hati. Semua yang kita miliki akan ditinggalkan dan hanya perbuatan-perbuatan yang menyertai. Maka berlomba-lombalah melakukan kebajikan.
Ketiga, Mempersiapkan diri
Tujuan hidup kita bukan yang terlihat saat ini, namun jauh lebih dari itu yaitu tujuan yang tidak kelihatan yang akan membawa dalam kehidupan kekal. Maksud yang tidak terlihat adalah pikiran, perkataan, perilaku, kebaikan, belas kasih, hingga kesucian hati.
Kehidupan di muka bumi ini bukan menjadi pelabuhan akhir, namun dalam upaya mempersiapkan diri untuk masuk kehidupan kekal dengan cara memperbaruhi kehidupan dalam segala aspek kehidupan, baik karakter maupun pekerjaan yang kita jalankan.
Keempat, Seolah Tuhan membiarkan
Layak atau tidaknya umat dikenan oleh Sang Khalik bukan karena jabatan, gelar, popularitas maupun seberapa besar telah berkorban, namun kesucian dan kesungguhan hati untuk melakukan kehendak-Nya.
Jika Tuhan tidak menegur dosa yang kita lakukan bukan berarti Dia membiarkan kita atau mendukung tindakan kita, namun hukuman yang akan dijatuhkan merupakan akumulasi selama manusia hidup.
***
Itulah 4 sikap umat sebagai manusia percaya yang patut kita mengerti dan lakukan. Kehidupan manusia ini sangat singkat dibandngkan dengan kekekalan yang tidak akan berakhir. Jadi jika kita tidak berhasil di dunia bukan menjadi alasan untuk kita menjauh dari Sang Khalik.
Mungkin kita bisa gagal dalam studi, karier, usaha, rumah tangga, dan mengalami sakit penyakit itu hanya bertahan selama kita hidup. Jika kita mau bertahan dan tetap setia kepada Sang Khalik maka kemenangan dapat kita raih. (KB)
Rujukan:
Do People Still Believe in Life After Death. (Relationships in America.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H