"Hidup dan mati ada dalam genggaman Illahi. Takdir adalah kepastian, tapi hidup harus tetap berjalan. Proses kehidupan adalah hakikat, sementara hasil akhir hanyalah syariat. Gusti Allah akan menilai ketulusan perjuangan manusia, bukan hasil akhirnya. Kalaupun harus menjumpai kematian, itu artinya mati syahid di jalan Tuhan."- Pangeran Diponegoro, Pahlawan Nasional Indonesia dan pemimpin perang melawan pemerintah Hindia Belanda 1785-1855.
Konsep-konsep dunia yang telah melekat dalam pikiran kita dan telah menjadi irama kehidupan, akan sulit kita lepaskan tanpa adanya keyakinan baru yang kita percayai akan membawa kebaikan.
Kenyataan yang ada di dunia menempatkan apa yang terlihat: materi, kedudukan, jabatan, gelar, kehormatan, dan popularitas menjadi tujuan utama yang dicari banyak orang. Sementara mereka lupa untuk menyiapkan kehidupan setelah kematian.
Orang yang hanya mencari kehidupan fana termasuk dalam kategori orang yang berpusat pada manusia, sedangkan orang yang mengarahkan hidupnya pada perkara fana dan abadi adalah mereka yang dikelompokkan pada orang yang hidupnya berpusat pada Allah.
Pengertian Teosentris dan Antroposentis
Teosentris berasal dari bahasa Yunani, Theos yang berarti Allah, dan bahasa Inggris, center yang berarti pusat, sehingga Teosentris dapat diterjemahkan: menjadikan Allah sebagai pusat kehidupan. Dengan kata lain orang percaya hidup hanya untuk melakukan kehendak Tuhan dan bukan kehendaknya sendiri.
Teosentris mengacu bahwa sistem keyakinan, moralitas dan nilai-nilai dari Allah lebih tinggi dibandingkan dengan sistem lainnya di muka bumi ini. Sedangkan kebalikan dari Teosentris adalah Antroposentris.
Sebutan Antroposentris berasal dari bahasa Yunani, anthropoi yang berarti orang-orang atau manusia dan bahasa Inggris, center yang berarti pusat, sehingga Antroposentris diterjemahkan: menjadikan manusia sebagai pusat seluruh kehidupan.
Nilai-nilai dari manusia merupakan pusat untuk berfungsinya alam semesta dan alam semesta akan menopang dan mendukung nilai-nilai itu. Manusia mempunyai kebebasan dalam melakukan perbuatannya tanpa campur tangan Allah. (Lorens Bagus, 1996:60).
Lalu apakah Teosentris akan membatasi keberadaan manusia?
Satu, Tetap memiliki kehendak bebas
Hidup berpusat pada Allah bukan berarti menghilangkan kehendak bebas, manusia tetap diberikan kebebasan untuk melakukan apa saja. Jika manusia melakukan kebaikan atau keburukan itu merupakan inisiatif murni dari manusia. Meskipun Tuhan menghendaki kita melakukan kebaikan.
Allah tidak berbicara langsung kepada umat, namun melalui kitab, kesaksian, dan orang-orang yang diutus untuk memberitakan kebenaran. Di sini dibutuhkan pikiran dan hati yang terbuka untuk dapat memahami dan menerima kebenaran itu.
Dua, Manusia berurusan dengan Tuhan
Orang percaya meyakini bahwa apa yang dilakukan selama di dunia akan dipertanggung jawabkan kepada Tuhan, ia akan menghadapi pengadilan untuk menentukan apakah layak hidup bersama atau terpisah dengan Tuhan selamanya.
Mungkin kita bisa mengelabuhi selama hidup di dunia dan berpura-pura menjalankan ibadah untuk menutupi kelakuannya yang buruk, namun Tuhan melihat kedalaman hati setiap manusia.
Tiga, Tuhan adalah hukumnya
Orang yang menempatkan Tuhan sebagai hukumnya akan berusaha untuk dekat kepada Tuhan dan berusaha mengetahui akan setiap kehendak Tuhan. Mereka yang menjalankan hukum Tuhan akan menghormati pemerintahan dunia.
Melakukan kehendak-Nya merupakan nutrisi penting yang akan membawa manusia dapat masuk dalam kehidupan abadi. Mereka tidak terikat lagi dengan dunia, namun mengikatkan diri pada perkara-perkara spiritual.
Empat, Memperbaiki diri
Orang-orang yang berpusat pada Allah akan terus melakukan instropeksi diri apakah yang telah dilakukan sudah sesuai dengan kehendak-Nya. Mereka akan memperbaiki diri hari demi hari hingga menutup mata.
Tidak hanya sekedar tidak melakukan kejahatan yang terlihat, namun memperbaiki hati dan pikiran sampai dimurnikan dan mencapai suatu keadaan yang dikehendaki oleh Tuhan.
***
Manusia dihadapkan dua pilihan yaitu apakah hidupnya hendak berpusat pada Allah, atau hidupnya berpusat pada dirinya sendiri. Realitas kehidupan berpusat pada manusia sepertinya enak, dapat berbuat apa saja untuk memuaskan hawa nafsunya. Mereka tidak sadar bahwa penghukuman akan dilakukan setelah dunia berakhir.
Sedangkan orang-orang yang hidupnya berpusat pada Allah, seolah-olah hidupnya dibatasi oleh hukum, namun di dalam nuraninya ada kebahagiaan, kedamain, dan menikmati kehidupan karena mereka tahu kemana tempatnya setelah kematian. Secara manusia mungkin mustahil, namun di dalam Tuhan tidak ada yang mustahil. (KB)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H