"Masyarakat coba dipikat, dengan pencitraan palsu yang merakyat." - Najwa Shihab, presenter berita, jurnalis Indonesia.
Sebutan pencitraan sudah tidak asing lagi ditelinga kita, khususnya apa yang dilakukan oleh sebagian politikus, pejabat, dan artis. Mereka berusaha mengesankan citra yang baik di depan publik, demi meningkatkan popularitas.
Bagi mereka popularitas begitu penting untuk meyakinkan orang lain agar aktivitas yang dilakukan terkesan baik, meskipun kenyataannya tidak sebaik yang dicitrakan. Pencitraan juga dikaitkan dengan membangun opini publik agar yang bersangkutan layak untuk menduduki jabatan tertentu.
Di kalangan artis seolah menghalalkan praktik ini, jika ingin terkenal maka sering-seringlah diekspos media. Terkadang mereka membuat skenario terlebih dahulu sebelum diliput media agar proses pencitraan berhasil.
Sejak hadirnya banyak saluran media sosial pencitraan merambah ke seluruh kalangan tidak saja politikus, pejabat, dan artis, namun juga ibu-ibu yang demen sosialita, karyawan yang membangun personal branding demi karier dan anak-anak muda yang ingin meningkatkan citra.Â
Pencitraan menjadi fenomena di semua kalangan!
Sebenarnya ini bukan masalah halal dan haram, namun berkaitan dengan gejala sosial yang dapat menjurus kepada kamuflase dan kemunafikan. Apa artinya harus mengesankan sesuatu yang tinggi dan seperti bermain sandiwara.
Pengertian Pencitraaan
Pencitraan dari kata dasar citra yang diterjemahkan sebagai gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk.Â
Sehingga, pencitraan adalah proses, cara membentuk citra mental pribadi atau gambaran sesuatu. Arti lainnya dari pencitraan adalah penggambaran.
Sedangkan dikaitkan dengan produk atau merek, pencitraan menurut pakar pemasaran Profesor Philip Kotler diterjemahkan sebagai seperangkat keyakinan, ide, dan kesan yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu objek.
Dari dua terjemahkan diatas jika disimpulkan akan ada dua pengertian penting pencitraan: yang pertama pencitraan sebagai proses membentuk gambaran sesuatu dan yang kedua pencitraan dimaknai sebagai kesan yang dimiliki seseorang terhadap objek (dalam hal ini orang yang membangun citra).
Jika gambaran atau kesan yang menjadi tujuan dari pencitraan, maka akan terdapat tiga kategori pencitraan yaitu:
Satu, Meningkatkan pencitraan (upgrade)
Orang-orang dalam kategori ini menolak realitas, mereka ingin dikesankan memiliki tingkatan tertentu melebihi dari kenyataan yang dialami. Mereka ini mengenakan topeng agar identitas dirinya yang sebenarnya tidak diketahui.
Pencitraan up grade jika dilakukan dalam jangka waktu yang lama dapat menyiksa diri karena harus bersandiwara dan dari sisi keuangan akan mengalami pemborosan. Selain itu jika sampai diketahui oleh orang lain akan keadaan yang sesungguhnya akan lelah harus memberikan klarifikasi.
Dua, Pencitraan realistis (realgrade)
Pada kategori ini pencitraan dilakukan hanya untuk memberikan informasi yang sebenarnya akan keadaan yang sesungguhnya dialami. Jika tidak ada penggambaran yang dibangun, maka bisa saja orang lain memberikan kesan yang negatif.
Mereka ini bisa hidup tenang, karena apa yang dikenakan, dimiliki, dan digunakan sesuai dengan keperluan dan keuangan yang ada. Umumnya mereka tidak memiliki ambisi dan selalu mesyukuri apa yang ada.
Tiga, Menurunkan pencitraan (downgrade)
Mereka yang masuk dalam kategori ini malah berusaha menurunkan tingkatannya, mereka lebih memilih hidup sederhana dan tidak mau hidup dalam kemewahan. Mereka sebenarnya mampu membeli sesuatu dengan harga tertentu, namun itu tidak dilakukan.
Orang-orang ini tidak menyukai barang-barang konsumtif dan branded, tetapi lebih menyukai barang-barang produktif, investasi, dan menabung untuk masa depan. Mereka adalah orang-orang yang pintar megelola keuangan.
Lalu bagaimakan sebaiknya pencitraan kita lakukan? Apakah pencitraan itu perlu? Untuk orang-orang dengan jabatan tertentu memang memerlukan pencitraan minimal sebagai saluran komunikasi dengan masyarakat, untuk memberi tahu aktivitas, visi, dan program yang dijalankan.
Berikut ini sedikit panduan jika kita ingin membangun pencitraan:
Satu, Melakukan tanpa mengharapkan pujian
Sekiranya kita bersedia belajar untuk melakukan apa saja tanpa mengharapkan pujian dari orang lain. Misalnya jika kita memberikan bantuan itu bukan untuk tujuan diekspos media agar orang menilai kita seorang darmawan, namun semua itu dikerjakan dengan ketulusan.
Dua, Melakukan apa adanya
Lakukan semua itu apa adanya tidak perlu dibuat-buat dan tidak di setting, karena kita melakukan bukan memiliki agenda tertentu yang bertujuan untuk meningkatkan eksistensi diri. Melakukan apa adanya juga akan membuat nyaman orang-orang di sekitar kita.
Tiga, Melakukan tanpa dilihat orang
Artinya jika kita melakukan sesuatu kebaikan bukan bertujuan untuk dilihat orang supaya mereka melihat kita baik adanya, namun apa yang kita lakukan karena panggilan moral sehingga kita bertindak atas nama kebaikan dan kemanusiaan.
Empat, Sikap hati
Sikap hati merupakan yang utama melebihi dari apa yang terlihat manusia. Terkadang kita bisa salah menilai seseorang karena sikap dan tindakanya, namun motivasi kedalaman hati seseorang, orang lain tidak akan pernah tahu.
***
Pencitraan tidak dapat dilepaskan dari kita sebagai makhluk sosial yang perlu berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Pilihan dikembalikan kepada para pembaca apakah akan menggunakan pola up grade, real grade atau down grade.
Tentunya disesuaikan dengan eksistensi dan target pribadi hendak dikesankan seperti apa, namun jika boleh saya memberikan saran lakukan pencitraan sesuai dengan kenyataan atau malah memilih menurunkan citra dari yang sebenarnya. Â
Itu dapat memberikan kebahagiaan. Silakan memilih! (KB)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H