Tidak dapat dihindari tujuan utama suatu bisnis adalah meraih keuntungan.
Pemilik bisnis akan berusaha berbagai cara untuk mewujudkannya, meskipun dalam praktiknya yang diperoleh malah sebaliknya yaitu kerugian.
Dalam dunia bisnis memang selalu terbuka peluang dan menjanjikan cuan yang tak terbatas. Namun, di balik keuntungan yang besar juga ada risiko yang menyebabkan bocuan (tidak untung).
Di sini dibutuhkan kecerdasan pemilik bisnis dalam memanfaatkan peluang, memilih pasar, membuat produk yang bermutu dan mengelola risiko dengan baik.
Bisnis properti sebagai pengembang (developer) menawarkan keuntungan yang menarik, mulai dari menjual kaveling, membangun perumahan, apartemen, ruko, perkantoran, hotel hingga pusat perbelanjaan.
Banyak perusahaan yang semula bergerak di bidang lain melakukan diversifikasi produk, sebut saja Grup Djarum yang memiliki core business rokok mengembangkan unit usaha di bidang properti yaitu Daan Mogot Mall, Grand Indonesia Shoping Mall, WTC Mangga Dua, Margo City depok dan Perumahan Resinda Karawang.
Realita di market place tidak sedikit kita menemukan perumahan atau apartemen yang mangkrak karena pihak pengembang tidak sanggup melanjutkan pembangunan karena berbagai alasan. Antara lain kesulitan permodalan, legalitas belum tuntas dan kesalahan manajemen.
Kegagalan pengembang juga dapat diakibatkan perubahan peraturan pemerintah, seperti yang terjadi di Jawa Timur terdapat 2.500 unit perumahan subsidi terancam mangkrak. Hal itu terjadi karena kuota rumah FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) yang ditentukan pemerintah sudah sudah penuh, sehingga kredit tidak dapat dicairkan (Surabaya Bisnis.com, 2 September 2019).
Lantas apa saja yang menyebabkan perusahaan pengembang secara umum gagal dalam menjalankan bisnisnya?
1. Legalitas tidak Tuntas
Proses perizinan yang panjang untuk membangun perumahan atau apartemen menjadi salah satu kendala pengembang. Perizinan yang harus dimiliki adalah  kawasan sesuai peruntukan pemukiman sesuai dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), izin lokasi, IPPT (Izin Peruntukan Penggunaan Tanah), HGB (Hak Guna Bangunan) Induk.
Kemudian persetujuan master plan (rencana induk tapak), site plan (rencana tapak), Amdal (analisa mengenai dampak lingkungan), Amdalalin (analisa mengenai dampak lalu lintas), peil banjir, izin lingkungan dan setelah itu baru keluar IMB (Izin Mendirikan Bangunan).
Perusahaan harus memiliki nafas panjang dalam memasuki proses perizinan, dibutuhkan kesabaran dan keseriusan dan biaya yang tidak sedikit.
Kasus suap yang dilakukan oknum petinggi Lippo Group atas mega proyek Meikarta terhadap pejabat pemerintahan Kabupaten Bekasi beberapa tahun lalu menjadi bukti rumitnya perizinan di tanah air.
2. Terburu-buru Melakukan Penjualan
Banyak perusahaan melakukan aktivitas penjualan dilakukan secara paralel dengan proses perizinan. Mereka bertujuan untuk mengurangi permodalan dengan cara mempercepat pemasukan dengan cara mencuri start penjualan.
Namun, yang sering kali terjadi proses perizinan belum tuntas sedangkan konsumen sudah terlanjur membayar uang muka. Di sini persoalan muncul ketika konsumen tidak sabar menunggu progress pembangunan dan memutuskan membatalkan pembelian.
Ada baiknya sebelum IMB keluar perusahaan hanya melakukan pra penjualan dan bukan penjualan, misalnya dengan membuka NUP (Nomor Urut Pemesanan) dengan ketentuan uang dapat dikembalikan jika konsumen membatalkan pemesanan.
3. Kesalahan Manajemen
Kesalahan manajemen juga dapat menjadi penyebab gagalnya suatu bisnis properti. Misalnya kesalahan merekrut karyawan yang tidak memiliki integritas yang menyebabkan proses bisnis terganggu.
Namun kesalahan manajemen juga dapat disebabkan kebijakan manajemen puncak yang keliru. Ambisi pemilik bisnis untuk mendapatkan untung banyak dengan membuka proyek baru menggunakan uang dari proyek lama yang belum selesai pembangunannya.
Hal itu dapat menyebabkan proses pembangunan proyek lama terganggu dan terancam mangkrak.
4. Keterbatasan Permodalan
Keterbatasan permodalan acapkali menjadi kendala dalam menjalankan proses bisnis. Sementara volume penjualan meleset dari prediksi yang telah direncanakan sebelumnya.
Pandemi Covid-19 menyebabkan berbagai sektor bisnis mengalami perlambatan. Karyawan juga banyak mengalami dampaknya yaitu pemotongan gaji dan PHK.
Keadaan itu mengakibatkan penurunan penjualan industri properti secara nasional. Masalah menjadi berat ketika pengembang tidak mampu melanjutkan pembangunan dan banyak konsumen membatalkan pembelian dengan meminta kembali uang muka yang telah dibayarkan.
Misalnya yang terjadi di proyek Apartemen Bintaro Pavilion, pembangunan terbengkalai  (Metro Sindo News.com, 5 Juni 2020). Apartemen El Centro di Kota Bogor yang diputuskan PKPU-S (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara) oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Inilah Online.com, 26 Januari 2021).
5. Konsep Produk tidak Jelas
Di tengah persaingan bisnis properti yang cukup ketat dibutuhkan kreativitas pengembang. Terlebih dahulu perusahaan harus melakukan riset pasar dan mempelajari pesaing yang ada, kemudian membuat konsep yang baru dan berbeda (unik) di bandingan pesaing.
Pusat perbelanjaan Senayan City misalnya ia harus lebih mewah dari Plaza Senayan yang berada di seberangnya untuk dapat bersaing menarik simpati pengunjung.
***
Perusahaan yang terjun di bisnis properti dibutuhkan komitmen dari pemilik bisnis, kecukupan modal dan SDM yang ahli pada bidang masing-masing.
Komitmen dan permodalan akan beriringan menghantar suatu proyek properti dibangun sampai selesai apa pun kendala yang dihadapi.
SDM yang ahli akan menghasilkan produk properti yang berkualitas dan dapat dinikmati oleh pelanggan. Organisasi bisnis menjadi efisien dan efektif serta meraih laba untuk kesejahteraan karyawan dan pemilik modal.
Rujukan: Kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H