Mohon tunggu...
Kris Banarto
Kris Banarto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati Bisnis dan Humaniora

Penulis buku: Transformasi HRD dalam Bisnis (Deepublish, 2021). Ketika Kita Harus Memilih (Gunung Sopai, 2022). Rahasia Sukses Bisnis Modern (Deepublish, 2022). Merajut Keabadian (Bintang Semesta Media, 2023). Kupas Tuntas Bisnis Properti (Deepublish, 2024). Website: www.ManajemenTerkini.com.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

UU ITE Direvisi, Para Buzzer Semakin Merajalela

20 Februari 2021   08:18 Diperbarui: 20 Februari 2021   08:24 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kalau Undang-undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini, Undang-undang ITE ini," kata Jokowi saat memberikan arahan pada rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, Jakarta(15/2/2021).

Demikian pernyataan Presiden Joko Widodo menanggapi banyaknya respons terkait pasal karet UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Jokowi memberikan sinyal untuk merevisi UU ITE.

Bermula dari pidato Joko Widodo pada acara Laporan Tahunan Ombudsman, 8 Februari 2021 agar masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik kepada para penyelenggara pelayanan publik.

Pidato tersebut mendapatkan respons yang beragam baik dari para tokoh dan warga net. Ada yang menyambut positif tetapi tidak sedikit yang merespons sinis.

Mantan Presiden Jusuf Kalla (JK) menanggapi pernyataan Jokowi dengan nada pesimis, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi?

Menurut JK kritik diperlukan dalam pelaksanaan demokrasi, partai oposisi hendaknya melakukan kritik terhadap pemerintah.

JK juga mengkritisi hasil survei The Economist Intelligence Unit (EIU) yang menyebutkan indeks demokrasi Indonesia turun menempati urutan ke 64 dari 167 negara.

Tidak ketinggalan Presiden ke enam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga memberikan pernyataan. Melalui akun Twitternya SBY menganalogikan kritik sebagai obat dan pujian sebagai gula.

Jika obatnya tepat dan dosis tepat akan membuat orang menjadi sehat, namun gula walaupun terasa manis jika terlalu banyak di komsumsi akan menyebabkan penyakit.

Beberapa Orang yang Terjerat UU ITE

#Tiga Emak-emak di Karawang

Adalah tiga emak-emak di Karawang mendatangi rumah warga dan melakukan kampanye hitam terhadap pasangan Jokowi-Ma'ruf dalam Pilpres 2019.

Dalam unggahan video di akun Instagram mereka mengatakan bahwa apabila Jokowi menang maka azan dan jilbab dilarang dan memperbolehkan pernikahan sesama jenis.

Akhirnya mereka dijerat UU ITE diduga dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang bertujuan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan mengandung SARA.

Pengadilan Negeri Karawang menjatuhkan hukuman kepada masing-masing terdakwa selama enam bula penjara.

#Jonru Ginting

Penggiat media sosial Jonru Ginting dinyatakan bersalah dalam beberapa unggahan di Facebook yang mengandung ujaran kebencian dan penghinaan.

Dalam unggahannya ia mengatakan Quraish Shihab tak pantas menjadi imam lantaran pernyataannya yang menyebut wanita muslim tak perlu menggunakan jilbab.

Jonru juga melakukan provokasi umat Islam agar tidak ikut salat Idul Fitri di Masjid Istiqlal selama yang menjadi imamnya adalah Quraish Shihab.

Unggahan lainnya soal Indonesia belum merdeka dari jajahan mafia China dan unggahan soal antek-antek penjajahan, unggahan itu dilakukan tahun 2017. Jonru dijatuhi hukuman 1.5 tahun penjara dan denda Rp. 50 juta.

Dua kasus di atas mewakili beberapa kasus yang terbukti melanggar UU ITE namun ada beberapa kasus yang menimbulkan kontroversi salah satunya yang dialami Prita Mulyasari.

#Prita Mulyasari

Prita mengeluhkan pelayanan yang diberikan pihak RS OMNI Internasional dan dokter yang memeriksanya. Keluhan itu dikirim via email ke kerabatnya 15 Agustus 2008, lalu email ini menyebar ke media daring.

Pengadilan Tinggi Tangerang memutus Prita membayar ganti rugi material RP. 161 juta dan immaterial Rp. 100 juta. Prita sempat ditahan di LP Wanita Tangerang pada 13 Mei 2009 dan bebas pada tanggal 3 Juni 2009. Pada tingkat kasasi MA ia dibebaskan dari seluruh ganti rugi senilai Rp. 204 juta.

Semula Prita divonis 6 bulan penjara dengan masa percobaan selama 1 tahun. Tetapi Prita mengajukan PK (Peninjauan Kembali). Akhirnya 17 September 2012 MA menganulir putusan pidana PN Tangerang dan kasasi MA, dengan demikian Prita bebas.

Itulah perjalanan panjang ibu dua anak yang banyak mendapatkan perhatian dari masyarakat dan dukungan dalam bentuk pengumpulan koin untuk membayar denda kepada RS OMNI Internasional.

Selama 4 tahun telah menguras pikiran, waktu dan energi baik pihak Prita maupun OMNI. Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi kalau antar pihak menemukan kata sepakat dalam mediasi. 

***

Implementasi UU ITE terkadang dapat dimanfaatkan oleh beberapa orang kuat untuk melakukan serangan balik pada orang-orang yang menyerangnya.

Di sini dibutuhkan netralitas aparat kepolisian dan kejaksaan untuk memutus suatu perkara dengan mengedepankan hati nurani, kemanusiaan dan kejernihan pikiran.

Namun kita juga harus akui masih banyak ujaran kebencian, fitnah dan SARA yang ditemukan dalam unggahan maupun komentar di media sosial.

Di media Twitter misalnya kita akan mudah untuk menemukan kata-kata kotor, jorok, umpatan kasar yang ditujukan para tokoh di negeri ini. Tetapi mereka aman-aman saja dan lolos dari jerat hukum.

Seperti yang beredar baru-baru ini sebuah video atau info grafis yang diunggah di Twitter, berupa fitnah yang ditujukan kepada Mantan Presiden SBY. Ia dituduh menerima dana sebesar 9 Miliar dari APBD Kabupaten Pacitan-Jawa Timur.

UU ITE yang begitu jelas mengatur bagaimana menyampaikan kritik bukan suatu fitnah, ujaran kebencian, pencemaran nama baik dan bernuansa SARA saja masih banyak warga net yang abai. 

Apalagi jika UU ITE direvisi akan semakin menyuburkan hujatan, sakit hati dan dengki di dunia maya. Hal ini dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

Aparat kepolisian dan kejaksaan sebagai benteng terakhir dalam penegakan hukum di Indonesia hendaknya tidak melakukan tebang pilih dan memutuskan secara objektif berdasarkan fakta dan UU yang berlaku.

Ada baiknya pihak pemerintah melakukan sosialisasi yang lebih masif mengenai UU ITE baik isi maupun dampak yang ditimbulkan apabila melakukan pelanggaran.

Dari pihak masyarakat tidak perlu takut untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah selama disampaikan dengan tepat, membawa manfaat dan berdasarkan data yang dapat dipertanggung jawabkan.

Seperti misalnya apa yang dilakukan oleh mantan menteri Kwik Kian Gie yang melakukan kritik mengenai hutang pemerintah di unggahan Twitter dan mendapatkan serangan dari para buzzer.

Sebagai seorang ekonom mungkin lebih tepat apabila Pak Kwik melakukan kritik melalui tulisan artikel atau berbicara dalam forum seminar, akan lebih aman dari serangan para buzzer. (KB)

Rujukan:

  • Kompas.com
  • News.detik.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun