Pemberantasan korupsi di Indonesia dimulai tahun 1957 dengan diterbitkannya Peraturan tentang pemberantasan korupsi oleh Penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut Indonesia.
Pada masa Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres 28/1967 tentang pembentukan tim pemberantasan korupsi, namun tim ini tidak dapat bekerja secara maksimal dan terjadi penolakan.
Tahun 1970 mantan wakil presiden Bung Hatta memberikan pendapat bahwa korupsi di Indonesia telah membudaya dan seolah difasilitasi pada rezim Orde Baru, padahal dari segi usia rezim itu masih terbilang baru. Hatta merasa cita-cita para pendiri bangsa telah dikhianati.
Parlemen yang sebenarnya dapat menjalankan fungsi pengawasan dibuat lemah, misalnya anggaran DPR ditentukan oleh pemerintah. Yang berdampak banyaknya kebocoran yang dilakukan para birokrat, tanpa adanya pengawasan.
Pada era reformasi, Presiden Megawati Soekarno Putri membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) yang kemudian menjadi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan adanya KPK banyak koruptor yang tertangkap tangan, tidak hanya pejabat tetapi juga para politikus.
Banyaknya politikus Senayan yang tertangkap tangan menyebabkan mereka gerah, dan berbuntut diubahnya Undang-undang KPK pada tahun 2019, yang melemahkan kewenangan KPK.
Perubahan itu antara lain pegawai KPK adalah PNS yang pensiun di usia 35 tahun, sehingga kalau dibutuhkan lagi statusnya menjadi P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja).
Dalam hal melakukan penyadapan penyidik harus mendapat izin dari Dewan Pengawas, bisa saja pengajuan penyidik ditolak Dewan Pengawas.
Kemudian dihapusnya pasal KPK dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi, yang menyebabkan KPK hanya berada di Jakarta.
Diubahnya batasan pimpinan KPK dari 40 tahun sampai 65 tahun, menjadi paling rendah 50 tahun sampai dengan 65 tahun, menutup kandidat dari generasi muda.