Suku Baduy atau sesuai bahasa baku disebut Badui adalah sebuah suku di daerah Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Mereka biasa disebut Urang Kanekes (Orang Kanekes) yang populasinya berjumlah 26 ribu orang, mereka ini mengisolasi diri dari kemajuan zaman.
Para peneliti dari Belanda yang memberikan sebutan Baduy, yang menyamakan mereka dengan Arab Badawi, yaitu kelompok yang berpindah-pindah tempat atau nomaden. Tetapi ada kemungkinan mengambil nama sungai dan gunung di daerah tersebut yaitu Sungai Baduy dan Gunung Baduy.
Masyarakat Badui berada di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, Provinsi Banten. Desa tersebut berjarak sekitar 40 kilometer dari Kota Rangkasbitung.
Daerah ini berada di ketinggian 300-600 DPL, dengan topografi berbukit dan lembah dengan suhu rata-rata 20 derajat. Orang Badui Dalam mendiami 3 desa yaitu Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda, sedangkan untuk berkomunikasi dengan orang luar menggunakan Bahasa Indonesia. Orang Badui Dalam meyakini untuk dapat melestarikan budaya adalah dengan cara tidak memperbolehkan warganya sekolah.
Dengan demikian sejarah nenek moyang tidak dibukukan dan hanya dikenal melalui bahasa lisan dari generasi ke generasi.
Sebenarnya sejak zaman Orde baru pemerintah menawarkan pembangunan sekolah, namun ditolak karena berlawanan dengan adat istiadat, sehingga mereka tidak dapat membaca dan menulis.
1. Kelompok masyarakat Tangtu  atau dikenal sebagai Badui Dalam
Masyarakat ini mendiami desa Cibeo, Cikertawarna dan Cikeusik, mereka sangat ketat memegang adat istiadat. Masyarakat Badui Dalam biasanya memakai baju putih atau biru tua serta kain ikat kepala berwarna putih.Â
Mereka sangat terisolasi dan enggan untuk bertemu orang asing. Peraturan yang dijalankan adalah tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan, sepeda sekalipun dan dilarang memakai alas kaki.Â
Dilarang menggunakan peralatan elektronik (radio, televisi, HP, kipas angin, kompor, peralatan memasak dan sebagainya), dan pakaian harus dari hasil tenunan sendiri.
2. Kelompok masyarakat Penamping atau Badui Luar
Suku Badui Luar tinggal di daerah yang mengelilingi Badui Dalam, meliputi desa Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh dan Cisagu. Masyarakat ini berpakaian dan ikat kepala berwarna biru gelap atau hitam sebagai tanda tidak suci, karena telah keluar dari adat Badui Dalam.Â
Mereka keluar karena berbagai alasan yaitu sudah menggunakan teknologi, seperti peralatan elektronik, dalam membangun rumah sudah menggunakan alat bantu seperti palu, gergaji, paku dan sebagainya.Â
Mereka sudah menggunakan peralatan rumah tangga. Sudah memeluk agama Islam dan bersedia bekerja sama dengan masyarakat luar Badui.
3. Kelompok masyarakat Dangka
Masyarakat Dangka berada di luar wilayah Badui Dalam dan Badui Luar dan hanya mendiami 2 desa yaitu Cibengkung dan Cihandam. Kelompok ini berfungsi sebagai daerah penahan dari pengaruh budaya luar.
Dua Pemerintahan
Masyarakat Badui mengenal dua pemerintahan yaitu pemerintahan negara dan adat istiadat. Pemerintahan dipimpin oleh seorang Kepala Desa, sedangkan adat istiadat dipimpin oleh Pu'un yang bertempat tinggal di 3 desa daerah Badui Dalam.
Mata pencaharian masyarakat Badui adalah bertani yaitu padi huma, durian, asam keranji dan madu.
Budaya Seba
Sebagai tanda kepatuhan pada Kesultanan Banten, masyarakat Badui melaksanakan Seba setahun sekali. Budaya Seba adalah mempersembahkan hasil bumi berupa beras, palawija dan buah-buahan ke Gubernur Banten (dahulu Gubernur Jawa Barat) melalui Bupati Lebak.
Senang Berjalan Kaki
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak maka masyarakat Badui diperbolehkan pergi ke kota sekitar Jakarta dengan berjalan kaki tanpa alas kaki, untuk menjual madu dan kerajinan tangan. Mereka akan menjual secara door to door kepada kenalan yang pernah bertemu di Badui dan biasanya kenalan akan memberikan uang lebih.
Sisi Unik
Sisi unik lainnya dari Suku Badui Dalam adalah mereka mandi di bilik yang dibangun di tepian kali, mandi dilakukan secara alami dengan menggosok badan menggunakan batu dan gosok gigi memakai serabut kelapa.
Kekayaan Suku Badui Dalam bukan ditentukan oleh bangunan rumah yang besar. Namun seberapa banyak ia mempunyai tembikar dari bahan perak. Semakin banyak memiliki tembikar maka mereka akan terpandang.
Makan ayam merupakan makanan mewah bagi Suku Badui Dalam, walaupun hampir setiap rumah memelihara ayam, tetapi memotong ayam hanya dilakukan pada acara-acara penting.
Sebagai akibat larangan menggunakan peralatan elektronik maka Suku Badui Dalam masih memasak dengan menggunakan kayu bakar dan perlengkapan dapur dari kayu misalnya gelas dari bambu.
Antara Budaya dan Modernisasi
Masyarakat Suku Badui Dalam yang masih murni memegang adat istiadat sebagai suku terisolasi dan tidak bersedia menerima budaya modern, ada baiknya untuk dipertahankan.
Sebagai upaya melestarikan budaya asli Badui yang unik sebagai kekayaan budaya bangsa. Toh jumlah mereka tidak besar hanya mendiami di 3 desa.
Selain itu tetap mempertahankan kelestarian alam dari pencemaran udara dan limbah, sehingga kawasan menjadi asri. Dipadukan dengan kearifan lokal.
Suku Badui Dalam tidak mengenal hiruk pikuk politik nasional, perang dagang, UU Ciptaker, demo buruh, pengangguran, inflasi, resesi dan pandemi Covid-19.
Sedangkan Suku Badui Dalam yang ingin maju dapat bergabung dengan Suku Badui Luar yang jumlah populasinya lebih besar. Mereka sudah mengenal sekolah, dapat menggunakan alat elektronik dan mengenal agama.
Tahun 2020 ini jumlah wisatawan yang mengunjungi Suku Badui semakin meningkat, dan cukup mengganggu lingkungan karena banyaknya sampah.
Mereka juga keberatan kalau dijadikan sebagai tontonan dan di foto, namun lebih suka sebagai ajang untuk silaturahmi. Waduh masyarakat modern filosofinya kalah ya sama masyarakat pedalaman?
Rujukan:
- www.gotravelly.com
- Travel.detik.com
- Wikipedia.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H