“Papa, aku positif Corona”, Itulah kata-kata yang keluar dari mulut istri, setelah saya bertanya mengapa jam dua siang sudah sampai rumah. Rupa-rupanya hasil positif Corona membuat istri bergegas pulang lebih awal dari biasanya, takut menular ke teman-temannya satu kantor.
Namun jawaban itu membuat saya dan tiga anak saya stres, karena selama ini kami berinteraksi dalam satu rumah yang tidak luas. Sementara saya selaku suami berpotensi besar untuk tertular karena setiap malam tidak pernah tidur terpisah dengan istri.
Langsung saat itu juga saya menyemprot seisi rumah dengan desinfektan sampai berkali kali untuk memastikan virus baik yang menempel atau di udara sirna.
Saya menawarkan pada istri untuk dirawat di rumah sakit rujukan Covid-19 atau tinggal berpisah dengan keluarga namun dia menolak. Karena memang tidak ada keluhan apa-apa kecuali sedikit Vertigo, itu pun sudah terbiasa dialaminya.
Karantina Mandiri
Akhirnya kami memutuskan untuk tinggal bersama atau menjalani karantina mandiri dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Kami sekeluarga memakai masker 24 jam, mencuci tangan dan menyemprot desinfektan sebelum dan sesudah memakai tempat untuk aktivitas.
Peralatan makan dan minum kami gunakan terpisah, demikian pula tidur untuk sementara waktu terpisah. Kami sengaja tidak melaporkan kepada tetangga dan RT untuk menghindari keriuhan dan takut dijauhi tetangga.
Hal itu akan menambah beban pikiran. Kami hanya memberitahukan kepada keluarga dekat, supaya dapat membantu di dalam doa.
Kami mengurung diri dan tidak keluar rumah untuk menjaga penularan ke banyak orang. Praktis semua aktivitas kami lakukan di rumah, sampai kegiatan olahraga sekalipun.
Kegiatan berjemur di pagi hari yang biasanya saya lakukan sambil berjalan kaki, hanya saya kerjakan di teras rumah dan berusaha untuk tidak kontak dengan orang lain.
Demikian juga dua anak laki-laki saya melakukan olahraga di dalam rumah. Dan istri di sibukkan dengan memasak dan berkebun. Sedangkan anak perempuan asyik dengan laptopnya di kamar.