Mohon tunggu...
Kris Banarto
Kris Banarto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati Bisnis dan Humaniora

Penulis buku: Transformasi HRD dalam Bisnis (2021). Ketika Kita Harus Memilih (2022). Rahasia Sukses Bisnis Modern (2022). Merajut Keabadian (2023). Kupas Tuntas Bisnis Properti (2024). Website: www.ManajemenTerkini.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anjay, Gibran dan Bobby "Menyingkirkan" para Senior Partai

4 September 2020   13:49 Diperbarui: 4 September 2020   13:40 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara bersamaan anak dan menantu Presiden RI Joko Widodo mencalonkan diri sebagai Pilwalkot. Anak sulung Gibran Rakabuming Raka maju dalam Pilkada Kota Solo dan menantu Bobby Nasution ikut kontestasi Pilkada Kota Medan.

Pencalonan anak dan menantu mantan walikota Solo tersebut disertai isu tak sedap yaitu dinasti politik. Karena selama ini mereka tidak terlibat dalam politik dan tidak mempunyai pengalaman di birokrasi.

Gibran (32) pria lulusan University of Technology Sydney (UTS Insearch), menekuni usaha martabak 'Markobar' yang telah memiliki 40 cabang. Ayah dari Jan Ethes itu juga merintis usaha baru aplikasi Kerjaholic bersama dengan empat temannya.

Sedangkan Bobby (29) pria berdarah Batak lulusan Magister Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB) ini, memulai usaha di bisnis properti, awalnya merenovasi rumah dan dijual kembali. Dan kini suami dari Kahiyang Ayu berkarir di perusahaan pengembang Takke Group, sebagai Direktur Marketing dan tercatat memiliki saham perusahaan.

Korban Gibran

Adalah sebuah survei yang dilakukan Universitas Slamet Riyadi (UNISRI) Surakarta pada 2018 silam yang menempatkan elektabilitas Gibran berada di posisi kedua setelah Achmad Purnomo dalam Pilkada 2020.

Membuat darah muda Gibran terusik dan berniat mencalonkan diri sebagai walikota, mengikuti jejak ayahnya.

Namun FX Hadi Rudyatmo selaku Ketua DPC (Dewan Pimpinan Cabang) PDIP Kota Solo yang nota bene Wali Kota Solo memberi nasihat agar Gibran tidak buru-buru masuk bursa Pilwalkot 2020, karena usia masih muda dan perlu banyak pengalaman.

Aktif terlebih dahulu di partai dan baru mencalonkan pada ajang Pilkada mendatang yaitu tahun 2025. Apabila pencalonan sekarang ini akan menjadi preseden kurang baik, karena ayahnya masih menjabat presiden, demikian ungkap politikus PAN (Partai Amanat Nasional) Kota Solo Umar Hasyim. (Tempo.co, 31 Juli 2019).

Kenyataannya DPP-PDIP telah menetapkan pasangan Achmad Purnomo-Teguh Prakosa sebagai calon Pilwalkot Kota Solo. Namun rupa-rupanya tidak membuat syahwat politik Gibran melemah dia tetap mendaftarkan diri ke DPD (Dewan Pimpinan Daerah) Jawa Tengah sebagai bakal calon walikota.

Tidak berhenti disitu saja, ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Boga Indonesia (APJBI) Kota Solo itu datang ke Jakarta, melakukan lobi ke Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Nampaknya usaha Gibran membuahkan hasil, dengan diterbitkannya rekomendasi dari DPP (Dewan Pimpinan Pusat) PDIP yang menetapkan Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakosa menjadi calon Pilwalkot Solo.

Achmad Purnomo tersingkir namun legawa, CNN Inodesia.com
Achmad Purnomo tersingkir namun legawa, CNN Inodesia.com

Dengan adanya keputusan yang ditanda tangani Megawati itu, menganulir keputusan dari DPC Kota Solo. Achmad Purnomo (71) wali kota dua periode dan aktivis partai itu telah di singkirkan oleh Gibran yang belum berpengalaman di birokrasi dan juga belum berkeringat di partai moncong putih.

Korban Bobby

Setali tiga uang dengan sepak terjang kakak ipar, Bobby Nasution juga menyingkirkan para senior partai. Bobby kebelet terjun di dunia politik dengan kendaraan sama yaitu partai besutan Megawati Soekarnoputeri.

DPP-PDIP menetapkan pasangan Bobby Nasution dan Aulia Rahman dari partai Gerindra sebagai calon Pilwalkot Kota Medan tahun 2020. Sekjen DPP PDIP Harsto Kristiyanto memberikan alasan keputusan itu berdasarkan pengamatan selama ini Bobby begitu proaktif datang ke kantor dan menjadi bagian dari partai.

Bobby secara diam-diam juga melakukan study banding ke Bupati Banyuwangi Abudullah Azwar Anas. (New Detik.com, 11 Agustus 2020). Apakah dua pertimbangan itu sudah cukup sebagai dasar keputusan?

Dampak keputusan tersebut membuat kecewa Pelaksana Tugas (Plt) Walikota Medan Akhyar Nasution (54) yang adalah kader partai banteng gemuk itu. Pria alumnus Universitas Sumatera Utara (USU) Medan itu lantas berganti kendaraan politik ke partai Demokrat.

Kekecewaan juga di alami para loyalis Akhyar, tercatat empat ketua PAC (Pengurus Anak Cabang) Kota Medan menolak Bobby-Aulia. Dan berbuntut pemecatan yang dilakukan oleh Ketua DPC Kota Medan, Hasyim. (New Detik.com, 1 September 2020).

Belakangan partai Demokrat mengusung Akhyar Nasution berpasangan dengan kader PKS Salman Alfarisi untuk berhadapan dengan Bobby-Aulia.

Dua Nasution, Akhyar & Bobby siap bertarung (Tribunnews.com)
Dua Nasution, Akhyar & Bobby siap bertarung (Tribunnews.com)

Yah, begitulah politik sangat dinamis dan keputusan pencalonan menjadi hak prerogatif sang Ketua Umum partai, walaupun pasti setelah menerima masukan dari para pengurus atau tim seleksi.

Bobby telah menang di awal dengan menyingkirkan Akhyar Nasution. Akhyar seorang insinyur sipil dikenal sebagai aktivis partai PDIP, mantan anggota DPRD, mantan walikota dan saat ini menjabat Plt Walikota Medan.

Kalau di Pilkada Solo Purnomo tersingkir dan legawa, tetapi di Medan berbeda Akhyar tersingkir dan tetap bertarung melalui partai Demokrat.

Perang Pilkada Medan akan lebih seru dibandingkan Solo. Akankah tim sukses dan para pendukung Akhyar Nasution, menyerang lawan dengan isu dinasti politik?

Kesimpulan

Stikma masyarakat mengenai dinasti politik yang sedang dimainkan para pejabat, telah mengganggu demokrasi yang sedang dibangun di negeri dengan penduduk seratus enam puluh juta jiwa ini.

Para pejabat piawai memanfaatkan jaringan untuk melakukan lobi ke pengurus partai. Baik dengan hegemoni jabatan maupun kekuatan dana telah mangaburkan objektivitas penilaian para pengurus partai.

Partai tidak lagi mencari calon terbaik dari kader internal, tetapi memilih kandidat yang populer dan dapat memenangkan pertarungan.

Mengabaikan kandidat berdasarkan pengalaman, kemampuan dan pengabdian kepada partai. Sejatinya kepala daerah bukan sebagai ajang mencari pengalaman, tetapi menerapkan pengalaman dalam pengabdian kepada masyarakat.

Dampak dari dinasti politik akan menyebabkan demotivasi para kader partai untuk terlibat aktif dalam partai. Mereka bukan mencari pengalaman sebanyak-banyaknya untuk merintis karir politik, tetapi bagaimana ia harus dekat kepada para pengurus pusat atau ketua umum partai.

Rujukan :

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun