Mohon tunggu...
Kris Banarto
Kris Banarto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati Bisnis dan Humaniora

Author: Transformasi HRD dalam Bisnis (2021). Ketika Kita Harus Memilih (2022). Rahasia Sukses Bisnis Modern (2022). Merajut Keabadian (2023). Kupas Tuntas Bisnis Properti (2024).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sang Pembebas

6 Juli 2020   08:01 Diperbarui: 17 Januari 2021   13:47 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kebakaran (sumber Pixabay.com)

Seorang ibu tersentak kaget tak terkira ketika keluar dari dapur untuk menghidangkan minum bagi tamu, menuju ruang depan tempat anak dan temannya berada, ini siapa? 

Tanya sang tamu, yang adalah teman dari anaknya. Anak satu-satunya yang sangat dikasihi ibunya itu menjawab dengan enteng : "oh.. ini pembantuku". Dia malu dengan wajah ibunya, rupanya api telah membakar keelokan wajahnya, sehingga tak tampak cantik, dengan banyak tarikan kulit dengan warna legam.

Ibunda hanya menunduk, hatinya bergetar, matanya nanar bersembunyi dalam kegelisahan, minuman dihidangkan dengan sedikit terguncang seolah petir telah menyambar di siang bolong. 

Ibunda bergegas masuk kamar menjatuhkan tubuh yang renta dan menguras air mata, memanggil-manggil Yang Maha Adil untuk meneguhkan hatinya, dan mohon pengampunan pada anaknya.

Anaknya menghampiri sang bunda setelah tamunya berlalu, ia tidak merasa bersalah dengan ucapan yang baru keluar dari bibirnya, dengan polos anak durhaka itu bertanya : mengapa bunda menangis?. 

Dengan berat hati bunda harus menjelaskan rahasia besar yang telah ditutupi berpuluh tahun, sebenarnya ia tak memberitahukan tetapi apa daya, mungkin itu adalah waktu yang tepat.

Anakku lima belas tahun yang lalu manakala engkau berumur dua tahun, rumah ini di di kurung dengan api, kamu seorang diri berada dalam rumah, sedang ibu dan ayahmu berada di luar rumah, ibu mendesak ayah untuk menyelamatkan kamu tetapi tidak ada keberanian, juga tetangga yang mulai berdatangan tidak mau mengambil risiko. 

Karena kamu darah daging ibu dan sebagaimana naluri seorang ibu, aku memberanikan diri untuk menerjang api walaupun dilarang oleh ayahmu dan para tetangga.

Dengan menutup badan seadanya ibu nekat masuk ke rumah dan menyelamatkan kamu dari amukan api, aku memelukmu dengan kain dan membawa keluar dari ganasnya api, menghiraukan keselamatan ibu, yang penting engkau tertolong. Wajah ibu yang terbakar sebagai saksi telah menolong engkau nak, tidak masalah ibu buruk rupa tetapi engkau tetap bernyawa.

Dua tahun setelah peristiwa yang memilukan itu ayah meninggalkan kita entah ke mana karena tidak kuat bersama ibu yang tidak cantik lagi, ibu membesarkan kamu nak dengan peluh dan air mata, sekarang kamu telah tumbuh menjadi gadis yang rupawan. 

Mendengar kisah dari ibunda tangis sang anak tak terbendung lagi, memeluk  ibunda erat-erat memohon pengampunan atas sikap yang tidak terpuji, mengucapkan terima kasih atas pengorbanan bunda dan ingin berbakti untuk mengobati goresan luka batin bunda.

Kasih Ibu

Kasih ibu setinggi langit telah merobohkan ketakutan yang membentengi, menanggalkan keterbatasan seorang wanita untuk bertindak cepat merengkuh anak yang dikasihi dari jurang maut, sejatinya ada dalih untuk tidak melakukan bukan?. 

Hati seorang ibu seperti samudera, walaupun cukup alasan menampar anaknya, bahkan mengusir dari rumahnya bisa dibenarkan karena sikap yang tak terpuji dari anaknya yang telah di selamatkan dari amukan bara, tetapi ibu yang penuh kasih itu tidak melakukannya.

Terkadang orang tua perlu menceritakan perjuangan di masa lalu kepada anak-anaknya, agar mereka tahu begitu banyak keringat telah menetes dari tubuhnya, dan entah berapa kali pipi itu di basahi oleh air mata. 

Sebagai seorang anak berapa-pun kebaikan telah diberikan kepada ibu, tidak akan melebihi kebaikan yang telah diberikan ibu kepada anak, "kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalan".

Jangan Salahkan Tuhan

Jikalau kita ada sekarang ini harus kita terima apa adanya, kita tidak dapat menyalahkan orang tua kita, apa pun keadaannya, orang tua yang jahat tidak akan memberi batu pada anaknya yang meminta roti, apalagi orang tua yang baik, mereka akan memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya.

Jangan menyalahkan Tuhan di kala kita gagal, seolah Dia tidak bersedia memberikan apa yang kita minta, banyak peristiwa terjadi karena ulah kita di masa lalu yang tidak bertanggung jawab. Manakala susah mencari pekerjaan, bukankah waktu sekolah kamu malas belajar?

Saat sakit melanda bukankah karena kamu tidak menjaga mulut dari makanan yang berguna? Kamu makan jorok, dan obat menjadi jalan keluar yang rasional. Berdoa tidak putus-putus minta sakit di sembuhkan, tidak salah sih tapi sepertinya kamu salah berdoa, dan harus menanggung perbuatanmu.

Tuhan terkadang sebagai tempat mengeluh yang aman, tatkala penghasilan tidak mencukupi datang bersimpuh kepada-Nya mohon berkat di curahkan dari langit, tetapi tidak tahukah Dia prihatin kenapa kamu bekerja dengan malas dan sering meninggalkan pekerjaan, tidak mau bekerja sama dengan rekan sekerja dan berani melawan pimpinan.

Mengadu pada nasib mengapa nikah berantakan, ada niat untuk berpisah dengan pasangan, bukankah kamu telah semena-mena dengan pasanganmu, bibirmu tak terhitung banyaknya telah mengeluarkan ujaran yang menyakiti pasangan, bahkan tanganmu begitu ringan mendaratkan tamparan kepada kekasihmu.

Hidup Bertanggung Jawab

Dia dapat mengampuni atas tindakan salah kita sebesar apa pun, tetapi Dia mau kita harus bertanggung jawab atas tindakan yang telah kita lakukan, Dia tidak dapat mengambil alih tanggung jawab kita, namun kitalah yang harus menghadapi akibat dari perbuatan itu sebagai bentuk tanggung jawab.

Belajar dari setiap peristiwa kehidupan entah karena kesalahan kita atau ujian yang di gulirkan Tuhan, semua baik adanya untuk mendewasakan rohani dan memurnikan iman. Memohon pengampunan, berbalik dan bertobat serta mengikuti jalan-Nya akan melicinkan perjalanan menuju kehidupan setelah kematian.

Jangan berkata Dia tidak baik, dari dulu sampai sekarang dan selama-lamanya Dia tetap baik, kitalah yang belum baik. Dia juga setia sampai kapan pun, kitalah yang belum teruji kesetiaannya. Pendamlah untuk menyangsikan kasih-Nya, kitalah yang perlu membangun kasih kepada pribadi Yang Agung dan sesama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun