Mohon tunggu...
Kris Banarto
Kris Banarto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati Bisnis dan Humaniora

Penulis buku: Transformasi HRD dalam Bisnis (Deepublish, 2021). Ketika Kita Harus Memilih (Gunung Sopai, 2022). Rahasia Sukses Bisnis Modern (Deepublish, 2022). Merajut Keabadian (Bintang Semesta Media, 2023). Kupas Tuntas Bisnis Properti (Deepublish, 2024). Website: www.ManajemenTerkini.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pernikahan, Supaya Madu Tetap Manis

9 Juni 2020   15:05 Diperbarui: 16 Januari 2021   11:25 1040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernikahan adalah sesuatu yang sakral mempertemukan dua insan yang berbeda latar belakang, dan bersatu untuk membangun keluarga bahagia. Pada masa pacaran semua begitu indah, karena masing-masing kelemahan masih bisa ditutupi, oleh gairah cinta yang membara, masing-masing berlomba menunjuk-kan simpati dan empati.

Memasuki masa awal pernikahan, bulan madu masih berasa manis, tetapi lama-lama berjalannya waktu ketika muncul masalah, maka dua pribadi ini kadang berseberangan dalam mengatasinya, sehingga terjadi perselisihan. Juga karakter dasar yang selama itu belum muncul akan tampak, baik dari sisi wanita maupun pria.

Maka terjadilah gesekan temperamen, memaksakan kehendak untuk menuruti keinginannya, emosi tidak terkendali dan terkadang keluar kata-kata yang menyakitkan keluar, bahkan tidak dipungkiri bisa terjadi KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), suami menampar istri yang tidak berdaya.

Fenomena ini tercermin dari data penceraian yang sebagian besar terjadi pada pasangan di bawah 5 tahun dan usia di bawah 35 tahun. Dari data ini bisa disimpulkan bahwa masa rawan pernikahan adalah umur pernikahan di bawah 5 tahun, walaupun bukan berarti setelah usia pernikahan 5 tahun akan aman.

Juga dari sisi usia, pasangan di bawah usia 35 tahun ditemukan lebih banyak bercerai, menjadi perhatian karena kemungkinan tingkat kedewasaan mental belum matang, masih temperamental, idealis dan belum bisa mengendalikan diri, walaupun kedewasaan tidak ditentukan dari seberapa usia, tetapi seberapa besar orang mau berubah menjadi lebih baik.

Data yang lain menyebutkan tingkat perceraian cukup tinggi pada tahun 2016 sebesar 19.9% atau 357 ribu pasangan dari 1.8 juta peristiwa, tahun 2017 pasangan bercerai sebesar 18.8% dari 1.9 juta peristiwa. (era.id, 18 September 2018).

Lalu kira-kira apa yang menyebabkan pasangan bercerai :

1. Menikah Usia Muda

Menikah pada usia muda di bawah 20 tahun, mempunyai risiko bercerai lebih tinggi, mungkin pada usia ini secara mental belum siap dan belum bisa dilepaskan dari usia muda yang igin bebas. Hal ini dikuatkan berdasarkan survei dari Nicholas Wolfinger, seorang profesor dari Universitas Utah yang dirilis dalam Institute for Family Studies, bahwa menikah di usia muda, kemungkinan untuk bercerai meningkat 5%.

2. Menikah Usia Tua

Menikah pada usia di atas 32 tahun juga mempunyai risiko yang sama pada usia di bawah 20 tahun, hal ini dimungkinkan pada usia tersebut sudah terlampau nyaman dan terlanjur membangun benteng egoisme yang kuat, sehingga ada kesulitan untuk mengalah. Dari hasil survei ini ter-gambar usia ideal menikah adalah 20 sampai 32 tahun, walaupun tentunya tidak menjadi acuan yang pasti.

3. Selisih usia pasangan

Selisih umur pasangan bisa menjadi salah satu penyebab perceraian, semakin jauh jarak umur antar pasangan maka semakin tinggi risiko untuk bercerai sebaliknya semakin dekat selisih usia pasangan akan semakin kecil risiko untuk bercerai. Seperti sebuah studi yang dilakukan Megan Garber dalam The Atlantic yang diterbitkan dalam jurnal Economic Inquiry tahun 2015, menyebutkan bahwa beda satu tahun kemungkinan bercerai 3%, beda usia 5 tahun kemungkinan bercerai 18% dan beda 10 tahun ke atas kecenderungan bercerai 39%.

4. Pekerjaan suami

Salah satu peran suami dalam pernikahan adalah mencari nafkah sehingga dapat menopang keuangan keluarga, pekerjaan yang tidak tetap seorang suami dapat mengganggu keuangan keluarga dan dapat memicu perceraian. Menurut studi yang dilakukan di Harvard University tahu 2016 dan diterbitkan American Sociological Review, menyatakan suami yang mempunyai pendapatan tetap mempunyai potensi bercerai 2.5%, sedangkan suami yang tidak mempunyai pekerjaan tetap berpotensi lebih besar bercerai yaitu 3.3%.

5. Faktor Pendidikan

Studi lain menyebutkan bahwa pasangan yang tidak tamat jenjang SMA mempunyai risiko lebih besar bercerai daripada pasangan yang menyelesaikan pendidikan SMA. Rendahnya pendidikan akan mempengaruhi pekerjaan, dan berimbas pada pendapatan yang tidak besar, sehingga mengganggu ekonomi keluarga. Survei jangka panjang sejak 1979, yang dilakukan The National Longitudinal Survey of Youth, menyebutkan pasangan dengan jenjang pendidikan SMA mempunyai risiko perceraian lebih baik 30% dibandingkan pasangan yang tidak lulus SMA.

Image Pexels.com
Image Pexels.com

Spirit pernikahan adalah bagaimana menyiapkan generasi yang mempunyai tingkat kehidupan yang lebih baik dari orang tuanya terutama dalam kehidupan rohani yaitu karakter, kepribadian dan sikap. Dibutuhkan komitmen yang kuat dari pasangan suami-istri, untuk menjaga keharmonisan rumah tangga, maka diperlukan beberapa hal agar pernikahan berlangsung langgeng :

#1. Jangan marah bersamaan

Selama kemarahan dari satu pihak saja baik dari pihak suami atau istri saja, maka tidak akan terjadi perselisihan, sebaliknya kalau pihak satunya terpancing, maka akan timbul pertengkaran. Menyikapi hal ini diperlukan perhatian beberapa hal :

  • Buatlah kesepakatan kalau salah satu marah maka pasangan harus diam, sekalipun pihak yang diam dalam posisi yang benar.
  • Apabila ada yang marah lakukanlah dengan kasih dengan arti lain marahlah karena kau mengasihi pasanganmu, maka jangan sampai keluar kata-kata yang menyakitkan pasangan.
  • Marah sesuai dengan substansi penyebab kemarahan, jangan sampai mengungkit-ungkit masa lalu, atau menjadi kemarahan liar ke mana-mana
  • Setelah marah reda, berikan penjelasan secara baik-baik, selesaikan masalah dengan saling memaafkan.

#2. Bukan mencari kebahagiaan

Menikah bukan mencari kebahagiaan, kalau kita mempercayai ini maka kita akan menuntut pasangan sesuai dengan keinginan kita. Tetapi menikah adalah membagi kebahagiaan, sehingga kita akan berusaha saling membahagiakan pasangan kita, tanpa mempertimbangkan siapa terlebih dahulu yang memulai. Menikah adalah saling melayani antara satu dengan lainnya sesuai peran masing-masing.

#3. Jangan menjelekkan pasangan di depan umum

Pasangan paling tidak suka dijelekkan di depan umum atau dibanding-bandingkan dengan yang lain. Tetapi pasangan sangat menyukai kalau diceritakan tentang kebaikannya atau kelebihan-kelebihan kepada orang lain, khususnya di depan keluarganya.

#4. Curhat yang salah

Ini kadang jadi awal keretakan berumah tangga, apabila ada masalah, curhat kepada teman lawan jenis. Sangat berbahaya kalau kemudian dia juga curhat mengenai pasangannya, gayung bisa bersambut, sehingga bisa saling membandingkan pasangannya, untuk mendapatkan kesesuaian kepada teman curhat. Menjadi lebih baik kalau curhat itu disampaikan kepada saudara atau teman sesama jenis yang lebih dewasa, sehingga dapat memberikan solusi.

#5. Berikan penghargaan

Biasa-kan untuk memberikan pujian kepada pasangan kita, walaupun yang dilakukan hanya sepele, misalnya mengenai masakan, mengenai tanaman atau suami yang mendapatkan penghargaan dari kantor, atau kenaikan gaji. Hindari untuk mengumpat ketika penghasilan menurun, karena akan menjadikan de-motivasi, dan bahayanya akan mencari kebahagiaan diluar rumah.

#6. Berikan pengakuan

Pengakuan hal yang tidak kelihatan tetapi penting untuk menempatkan pasangan sebagai pribadi yang berarti bagi pasangannya, hidup menjadi semangat dan bergairah. Misalnya pengakuan pada istri yang cakap mengajari anak-anak, atau memberikan pengakuan pada suami yang pintar merawat kendaraan.

#7. Transparansi keuangan

Biasanya istri yang mengatur keuangan, walaupun ada juga keuangan keluarga yang mengatur suami, prinsipnya yang bisa berhematlah yang mengatur keuangan. Ada baiknya setiap pengeluaran yang besar berunding dahulu dengan pasangan, dan apabila harus membantu saudara, utamakan terlebih dahulu untuk keluarga, dan apabila berlebih bisa untuk membantu saudara atau orang lain.

#8. Warisan anak

Apabila orang tua mewariskan harta dan anak tidak dapat mengelolanya maka bisa jadi harta yang diwariskan akan habis sia-sia. Maka akan lebih baik orang tua mewariskan pendidikan anak setinggi-tingginya sesuai dengan kemampuan, agar cukup bekal bagi anak masuk persaingan baik dalam hal pekerjaan atau menjadi pengusaha. Dan yang tidak kalah penting adalah mewariskan sifat, karakter, perilaku, budaya dan nilai-nilai positif pada anak, supaya kelak menjadi akak yang mandiri, dewasa, mempunyai karakter yang kuat dan mempunyai kepedulian pada sesama.

Secara psikologis antara laki-laki dan perempuan adalah berbeda, suami lebih menggunakan logikanya, sedangkan istri lebih memakai perasaan. 

Jadi kita tidak dapat memaksakan pasangan sesuai dengan jalan pikiran kita karena memang berbeda cara pandangnya. 

Yang ada kita harus menerima pasangan apa adanya sembari kita bersama-sama belajar untuk bertumbuh bersama, menyatu-kan perbedaan itu menjadi satu kesatuan yang unik, untuk saling menyenangkan dan berdoa kiranya Tuhan hadir dan menolong pernikahan, agar madu itu tetap manis.

Referensi : theasianparent.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun