Pada abad ke-21 Etika Bisnis telah menjadi prioritas utama organisasi, etika bukanlah suatu kemewahan atau suatu pilihan, tetapi keharusan karena tuntutan masyarakat modern. Ada spirit yang tumbuh dalam masyarakat atas tindakan egois dan tidak bertanggung jawab yang mengorbankan beberapa orang, untuk memperkaya diri.
Perusahaan rokok harus memikirkan dampak negatif dari bisnis yang dijalankan karena para perokok dapat mengidap penyakit jantung, paru-paru, peredaran darah bahkan kanker.
Pengusaha ayam goreng tepung (fried chiken) juga harus menyadari kalau makanan ini dikonsumsi secara rutin, dalam jangka panjang akan menyebabkan resisten terhadap antibiotik sehingga tubuh akan mudah terserang penyakit, bahaya kolesterol dan meningkatkan risiko kanker.
Pabrik minuman mineral juga harus memikirkan dampak lingkungan dari usaha mengambil air dari tanah, apalagi bisnis soft drink yang dapat berdampak negatif bagi pemakai kalau mengkonsumsi dalam jangka yang panjang.
Bisnis tidak sekedar mengejar revenue dan tidak melanggar hukum, tatapi bisnis harus dijalankan dengan etika dan moral yang benar, ada tanggung sosial perusahaan kepada pelanggan dan masyarakat.
Definisi etika bisnis menurut Kilcullen & Kooistra, 1999 adalah "seperangkat prinsip yang memandu praktik bisnis untuk mencerminkan kepedulian terhadap masyarakat secara keseluruhan sambil mengejar keuntungan" Ungkapan "kepedulian terhadap masyarakat secara keseluruhan" menunjukkan ketidaksabaran yang tumbuh dengan tindakan egois dan tidak bertanggung jawab dari begitu banyak organisasi saat ini.
Selain tanggung jawab sosial, ada motif menarik lainnya untuk organisasi abad ke-21 untuk menjadikan nilai-nilai etika sebagai prioritas utama.
Corporate Responsibility
Masalah Responsibility / tanggung jawab adalah dasar untuk memahami etika organisasi. Tampaknya terlalu mendasar untuk pantas disebutkan, tetapi perilaku yang tidak bertanggung jawab begitu umum sehingga yang jelas harus dinyatakan.
Dipicu oleh ambisi egoisme dan keserakahan dapat menyebabkan para pemimpin kehilangan perspektif dan merasionalisasi perilaku yang tidak etis.
Berita buruk bagi pelanggar adalah bahwa masyarakat lebih waspada daripada sebelumnya akan kecerobohan etis yang menguntungkan beberapa orang, sementara melukai yang lain.
Etika Bisnis sebagai Prioritas
Lebih dari sekadar tanggung jawab hukum atau moral, etika perlu menjadi prioritas organisasi. Para pemimpin organisasi memiliki banyak pikiran di dunia yang sangat kompetitif saat ini.
Mereka harus mengikuti perkembangan teknologi yang cepat, produk dan layanan pesaing, efek globalisasi, peluang dan ancaman dalam industri mereka sendiri.
Para pemimpin juga harus terus mengawasi misi, visi, nilai-nilai, budaya, strategi, dan tujuan organisasi mereka sendiri. Di tengah-tengah semua kompleksitas ini, tidak mudah untuk menemukan ruang di bagan organisasi untuk prioritas utama lainnya. Namun, untuk berhasil di era sekarang ini, organisasi harus memikirkan bagaimana menjadikan etika bisnis sebagai prioritas.
Prioritas adalah beberapa hal yang dianggap paling penting. Banyak hal yang penting, beberapa lebih dan beberapa kurang penting, tetapi hanya beberapa hal yang paling penting. Nilai-nilai etis perlu untuk mendapatkan pengakuan sebagai salah satu faktor keberhasilan yang paling penting dalam organisasi modern.
Sebagai prioritas organisasi, etika tidak hanya akan mempengaruhi pengambilan keputusan tetapi juga, budaya organisasi. Untuk mencapai cita-cita ini, harus ada proses penyelarasan yang mengintegrasikan etika bisnis dengan misi, visi, nilai, strategi, dan tujuan.
Nilai-nilai etis pada dasarnya bersifat sosial, oleh karena itu, proses penyelarasan ini akan berkaitan dengan hubungan dan mendefinisikan harapan relasional.
Tujuan dari budaya organisasi yang etis adalah kebaikan yang lebih besar dari semuanya. Hubungan internal antara pemimpin dan bawahan, serta hubungan eksternal dengan klien, pelanggan, vendor, supplier, distributor dan komunitas semuanya dihargai. Dampak positif dari organisasi memperlakukan orang dengan baik secara konsisten maka budaya etis akan muncul.
Beyond Responsibility dan Prioritas pada Peluang
Organisasi saat ini perlu melangkah lebih jauh dari sekadar pandangan tentang etika yang diperlukan untuk menjaga reputasi mereka dan dengan demikian menghindari liputan media yang buruk atau sekadar kepatuhan dengan peraturan yang dipaksakan. Peluang besar menunggu organisasi yang waspada terhadap potensi nilai-nilai etis dalam membentuk masa depan organisasi, dalam jangka panjang.
Kebutuhan masyarakat yang mendesak akan budaya etis adalah kesempatan setiap organisasi untuk memengaruhi budaya sosial, dengan membudayakan nilai-nilai etis. Ketika ini terjadi, masyarakat mendapat manfaat dari pengaruh positif yang diambil karyawan dari tempat kerja mereka ketika kembali ke keluarga, teman, dan rekan.
Values Based Culture (budaya berbasis nilai)
Pada abad ke-21, etika bukanlah suatu kemewahan atau suatu pilihan. Lebih dari kompetensi, pengalaman, kecerdasan dan dorongan, orang-orang di semua tingkatan organisasi membutuhkan nilai-nilai etika.
Menurut Kidder (2001), "Tugas utama dekade ini adalah menciptakan dan memelihara budaya berbasis nilai." Karena banyaknya waktu yang dihabiskan orang di tempat kerja, maka proses pendidikan dan pembelajaran itu harus terjadi di lingkungan bisnis.
Rushworth M. Kidder adalah pendiri dan presiden Institute for Global Ethics, sebuah organisasi yang penelitiannya telah mengidentifikasi 4 faktor utama dalam menciptakan budaya berbasis nilai, yaitu :
1. Nilai inti bersama
Ada lima nilai inti yang ditemukan dalam beberapa bentuk di setiap budaya di seluruh dunia. Mereka adalah kejujuran, rasa hormat, tanggung jawab, keadilan dan kasih sayang. Budaya berbasis nilai akan menjadikan nilai-nilai inti ini sebagai kekuatan pendorong dalam pengambilan keputusan.
2. Bahasa umum
Karyawan membutuhkan bahasa etika yang memungkinkan mereka berkomunikasi dengan mudah dan nyaman tentang masalah yang biasanya sensitif dan sulit untuk dibahas. Program pelatihan etika yang efektif menyediakan bahasa umum yang dibutuhkan, sehingga seluruh orang yang terlibat dalam organisasi mudah memahami.
3. Komitmen dari Top Management
Pelatihan etika tidak ada artinya tanpa top management yang mendorong dan selalu berkampanye tentang pentingnya etika bisnis. Ketika para pemimpin secara konsisten menghargai mereka yang memilih untuk melakukan apa yang benar, itu sangat membantu untuk menciptakan budaya etis.
4. Keberanian Moral
Keberanian moral sebagai kualitas pikiran dan jiwa yang memungkinkan seseorang untuk menghadapi dilema etis dan kesalahan moral dengan tegas dan percaya diri, tanpa tergoyahkan atau mundur.
Akhirnya bisnis yang beretika, karyawan yang menjunjung moral, organisasi yang berbudaya telah mendarah daging dan menjadi life style setiap individu, akan meningkatkan brand equity perusahaan, menjadi perusahaan yang disegani dan dicintai tidak saja pelanggan tapi masyarakat umum.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI