Pendekatan yang lebih seimbang dalam pembelajaran sebenarnya dapat ditemukan dalam konsep Merdeka Belajar yang diusung oleh Kurikulum Merdeka. Pendekatan ini memberi kebebasan bagi guru untuk mengajar sesuai dengan kebutuhan dan potensi siswa, tanpa terbebani oleh target nilai Ujian Nasional. Dengan memberikan ruang untuk mengadaptasi materi dan metode pembelajaran, guru dapat lebih fokus pada pengembangan kemampuan siswa secara menyeluruh, bukan hanya persiapan ujian.Â
Sayangnya, meskipun ide ini sangat positif, Kurikulum Merdeka dan konsep Merdeka Belajar masih mendapat penolakan dari sebagian kalangan, terutama dari guru. Banyak guru merasa tidak siap dengan perubahan yang begitu mendalam dan cepat, serta khawatir akan kurangnya dukungan dalam implementasi kebijakan ini.
Bahkan pembelajaran berbasis proyek dalam Kurikulum Merdeka memberi banyak pengalaman belajar yang lebih praktis dan bermakna. Pendekatan ini memprioritaskan keterampilan problem-solving, berpikir kritis, dan pengalaman langsung yang relevan dengan kehidupan nyata.Â
Dengan mengerjakan proyek atau menyelesaikan masalah nyata, siswa tidak hanya belajar konsep, tetapi juga cara menerapkannya dalam konteks yang lebih luas. Hal ini tidak hanya memperkaya pengalaman belajar siswa, tetapi juga membantu mereka mempersiapkan diri untuk tantangan di luar dunia akademis.
Asesmen dalam Kurikulum Merdeka dirancang untuk menilai perkembangan siswa secara lebih holistik, bukan hanya berdasarkan ujian akhir. Asesmen ini mencakup tiga aspek utama: kognitif, afektif, dan psikomotorik, yang masing-masing mengukur kemampuan berpikir, sikap, dan keterampilan praktis siswa.Â
Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran yang lebih menyeluruh tentang kompetensi siswa dalam berbagai bidang, bukan hanya kemampuan akademis semata.Â
Dalam pelaksanaannya, asesmen ini lebih fleksibel dan berbasis pada kegiatan yang relevan dengan konteks kehidupan siswa, seperti proyek atau portofolio, yang memungkinkan siswa untuk menunjukkan pencapaian mereka secara lebih nyata dan sesuai dengan perkembangan individu mereka. Meskipun demikian, implementasi asesmen ini menghadapi tantangan, terutama dalam hal pemahaman dan kesiapan para guru untuk melaksanakan pendekatan yang lebih terbuka dan berbasis pada kebutuhan siswa.
***
Jadi, apakah masalahnya terletak pada kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan zaman, ataukah guru yang belum siap menghadapi perubahan dan lebih memilih untuk menyalahkan keadaan daripada beradaptasi? Apakah sistem pendidikan kita benar-benar memberikan ruang bagi inovasi, atau justru terjebak dalam rutinitas yang membatasi potensi siswa?
Di sisi lain, apakah pemangku kebijakan sudah memberikan dukungan yang cukup kepada guru agar mereka dapat menjalankan pendekatan yang lebih holistik, ataukah kita hanya mengandalkan kebijakan tanpa mempertimbangkan kesiapan di lapangan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H