"Ketika orang-orang tampak bukan sesuatu yang baik dan layak, itu hanya karena mereka bereaksi terhadap stres, rasa sakit, atau kehilangan kebutuhan dasar manusia seperti keamanan, cinta, dan harga diri".- A. Maslow
Memberi label "nakal" kepada siswa adalah praktik yang sering kali dilakukan dengan mudah, tetapi memiliki dampak jangka panjang yang serius terhadap perkembangan mereka. Label ini bukan hanya menciptakan stigma negatif, tetapi juga dapat merusak harga diri siswa, mempengaruhi motivasi belajar mereka, dan menghambat perkembangan sosial serta emosional. Siswa yang dicap nakal mungkin mengalami penurunan prestasi akademis, isolasi sosial, dan peningkatan perilaku bermasalah karena mereka mulai melihat diri mereka melalui lensa negatif yang diberikan oleh orang lain. Seringkali, perilaku yang dianggap nakal adalah tanda dari masalah yang lebih mendalam, seperti kesulitan di rumah, tekanan sosial, atau kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi.Â
Di sinilah peran guru menjadi sangat penting. Guru tidak hanya bertanggung jawab untuk mengajar mata pelajaran, tetapi juga untuk memahami dan mendukung kebutuhan emosional dan psikologis siswa mereka. Dengan pendekatan yang empatik dan memahami, guru dapat membantu mengidentifikasi penyebab mendasar dari perilaku negatif siswa dan bekerja sama dengan mereka untuk menemukan solusi yang konstruktif.
Alih-alih memberi label, sekolah sebaiknya mengidentifikasi akar masalah dengan cara mencari tahu penyebab di balik perilaku negatif dan bekerja sama dengan siswa untuk menemukan solusi. Selain itu sekolah juga memainkan perannya dalam menawarkan dukungan dan bimbingan yang sesuai, seperti konseling dan intervensi yang dipersonalisasi. Terakhir yang tidak kalah penting, Mengajarkan empati dan pemahaman kepada seluruh komunitas sekolah untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan suportif.
Selain guru, ekosistem sekolah memegang peranan penting dalam membentuk masa depan generasi muda. Lebih dari sekadar tempat untuk belajar akademis, sekolah adalah lingkungan di mana siswa belajar tentang nilai-nilai kehidupan, mengembangkan keterampilan sosial, dan membangun karakter. Dengan menyediakan dukungan emosional dan sosial yang memadai, sekolah berfungsi sebagai fondasi yang kuat bagi perkembangan holistik siswa. Peran sekolah tidak hanya mencakup transfer pengetahuan, tetapi juga mencakup penciptaan suasana yang positif dan inklusif yang memungkinkan setiap siswa merasa dihargai dan didorong untuk mencapai potensi terbaik mereka.Â
Dalam konteks pendidikan, sangat penting untuk memahami dan memenuhi kebutuhan dasar siswa agar mereka dapat berkembang dengan optimal. Salah satu cara untuk mencapai hal ini adalah dengan menerapkan teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow dalam membangun budaya positif di sekolah.
Melansir dari laman Kompas.com, Abraham Maslow adalah psikolog Amerika Serikat yang menjadi pelopor aliran psikologi humanistik. Namanya juga dikenal luas sebagai pencetus teori hierarki kebutuhan, yang menyatakan bahwa kebutuhan manusia tersusun atas lima hierarki yang berpuncak pada aktualisasi diri. Abraham Maslow tercatat sebagai salah satu psikolog paling berpengaruh di abad ke-20. Bahkan dalam sebuah survei yang diterbitkan pada 2002, Maslow menjadi psikolog di urutan kesepuluh yang paling banyak dijadikan rujukan pada abad ke-20.
Berikut 5 Kebutuhan Dasar Manusia Menurut Teori Maslow dan Adaptasi Penerapannya di Sekolah.
Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs).
Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan dasar yang mencakup makanan, minuman, tempat tinggal, dan istirahat. Sekolah sepatutnya menyediakan lingkungan yang aman dan nyaman, menyediakan fasilitas makan yang sehat, air bersih, dan lingkungan yang mendukung kesejahteraan fisik siswa. Ini juga mencakup memastikan waktu istirahat yang cukup dan ruang yang memadai untuk aktivitas fisik.
Kebutuhan Rasa Aman (Safety Needs).Â
Kebutuhan akan rasa aman mencakup keamanan fisik, emosional, dan psikologis. Sekolah harus menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan, intimidasi, dan pelecehan. Ini termasuk penerapan aturan disiplin yang adil, adanya sistem pendukung untuk masalah kesehatan mental, serta lingkungan yang mendukung kepercayaan dan rasa aman.
Kebutuhan Sosial (Social Needs).
Kebutuhan sosial meliputi cinta, rasa memiliki, dan hubungan sosial. Sekolah dapat mendorong interaksi positif antara siswa, guru, dan staf. Ini dapat dilakukan melalui kegiatan kelompok, klub, dan program mentoring. Menciptakan budaya inklusif di mana setiap siswa merasa dihargai dan diterima adalah kunci untuk memenuhi kebutuhan ini.
Kebutuhan Penghargaan (Esteem Needs).
Kebutuhan penghargaan mencakup harga diri, penghargaan dari orang lain, dan pencapaian. Sekolah berperan memberikan pengakuan atas prestasi dan usaha siswa. Ini dapat berupa penghargaan akademik, penghargaan non-akademik, dan umpan balik positif. Membangun rasa percaya diri siswa melalui pujian yang tulus dan membangun adalah bagian dari memenuhi kebutuhan ini.
Kebutuhan Aktualisasi Diri (Self-Actualization Needs).
Kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan untuk mencapai potensi penuh seseorang dan melakukan hal-hal yang mereka anggap bermakna. Sekolah harus menyediakan kesempatan bagi siswa untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka. Ini bisa melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler, program pembelajaran yang menantang, dan dukungan dalam pengembangan keterampilan individu. Mendorong siswa untuk bermimpi besar dan membantu mereka mencapai tujuan pribadi mereka adalah inti dari memenuhi kebutuhan ini.
Dengan memenuhi kelima kebutuhan dasar ini, sekolah dapat menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan holistik siswa dan membangun budaya positif yang berkelanjutan. Budaya positif di sekolah adalah lingkungan di mana siswa merasa dihargai, didukung, dan diberdayakan untuk mencapai potensi terbaik mereka.Â
Oleh karena itu, penting bagi pendidik untuk berhati-hati dalam memberikan label dan lebih fokus pada memahami serta memenuhi kebutuhan dasar siswa untuk mendukung perkembangan positif mereka. Semua ini perlu dukungan dari berbagai pihak, tidak bisa dilimpahkan sepenuhnya pada guru atau sekolah saja. Menciptakan budaya positif di sekolah merupakan usaha kolektif yang melibatkan berbagai pihak. Setiap individu dalam komunitas sekolah memiliki peran penting dalam memastikan lingkungan yang mendukung perkembangan siswa secara holistik
Siapa Saja yang Terlibat dalam Menciptakan Budaya Positif di Sekolah?
Guru.
Guru berperan sebagai fasilitator utama dalam menciptakan suasana kelas yang inklusif dan mendukung. Mereka tidak hanya mengajar mata pelajaran tetapi juga mendidik nilai-nilai, memberikan bimbingan, dan mendukung kebutuhan emosional siswa. Caranya dengan menerapkan metode pengajaran yang inklusif, memberikan pujian dan umpan balik konstruktif, serta mengembangkan hubungan positif dengan siswa.
Kepala Sekolah dan Administrasi.
Pemimpin sekolah bertanggung jawab untuk menetapkan visi dan kebijakan yang mendukung budaya positif. Mereka memastikan bahwa seluruh staf memahami dan menerapkan prinsip-prinsip ini. Tindakan yang bisa dilakukan melalui mengembangkan program dan kebijakan yang mendukung kesejahteraan siswa, melaksanakan pelatihan bagi guru dan staf, serta menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan mendukung.
Siswa.
Siswa sendiri berperan dalam menciptakan budaya positif melalui interaksi mereka sehari-hari. Mereka belajar dan mengimplementasikan nilai-nilai seperti rasa hormat, empati, dan kerja sama. Caranya dengan berpartisipasi dalam kegiatan kelompok, mendukung teman sekelas, dan menunjukkan perilaku yang positif dan inklusif.
Orang Tua.
Orang tua memainkan peran penting dalam mendukung pendidikan dan perkembangan anak-anak mereka di rumah, serta berpartisipasi dalam komunitas sekolah. Caranya dengan berkomunikasi secara aktif dengan guru dan staf sekolah, berpartisipasi dalam kegiatan sekolah, dan menciptakan lingkungan rumah yang mendukung pendidikan anak.
Staf Pendukung.
Staf pendukung, termasuk konselor, petugas kebersihan, dan staf administrasi, juga berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang aman dan menyenangkan. Caranya dengan memberikan dukungan emosional dan praktis kepada siswa, menjaga kebersihan dan keamanan sekolah, serta mendukung operasi sehari-hari sekolah.
Komunitas Sekolah.
Komunitas lokal, termasuk organisasi masyarakat dan perusahaan, dapat mendukung sekolah melalui berbagai program dan inisiatif. Langkah konkrit dengan menyediakan sumber daya dan dukungan, berpartisipasi dalam kegiatan sekolah, dan membantu menciptakan kesempatan belajar di luar kelas.
Kesimpulannya, dengan kolaborasi yang erat antara semua pihak ini, sekolah dapat menciptakan budaya positif yang mendukung perkembangan akademis, sosial, dan emosional siswa. Masing-masing peran tersebut saling melengkapi dan diperlukan untuk membangun lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran dan pertumbuhan.Â
Penerapan teori Maslow dalam budaya positif di sekolah tidak hanya membantu memenuhi kebutuhan dasar siswa tetapi juga menghindari efek negatif dari pemberian label "nakal" yang bisa merusak perkembangan siswa. Melalui pendekatan yang komprehensif dan inklusif melalui pelibatan seluruh ekosistem sekolah dan orang tua, sekolah dapat membantu siswa merasa dihargai, aman, dan termotivasi untuk mencapai prestasi akademik dan pribadi mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H