Mohon tunggu...
Kris Hadiwiardjo
Kris Hadiwiardjo Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Eks Penulis Artikel Bisnis, Ekonomi, Teknologi Harian Pelita

Penulis adalah peminat bidang teknologi, Komputer, Artificial Intelligence, Psikologi dan masalah masalah sosial politik yang menjadi perbincangan umum serta melakukan berbagai training yang bekenaan dengan self improvement, human development dan pendidikan umum berkelanjutan bagi lanjut usia.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Film sebagai Pelarian dari Kenyataan

28 Oktober 2024   15:05 Diperbarui: 28 Oktober 2024   15:11 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film sebagai Pelarian: Mengapa Banyak Orang Menonton untuk Lari dari Kenyataan?

Fenomena menonton film sebagai pelarian dari realitas adalah topik yang menarik di berbagai bidang, seperti psikologi, sosiologi, dan politik. Film sering kali dilihat sebagai alat hiburan, tetapi banyak penonton yang juga menggunakannya sebagai cara untuk melarikan diri dari kesulitan sehari-hari. Artikel ini akan membahas mengapa dan bagaimana film memberikan pelarian ini dari tiga perspektif utama: psikologi, sosiologi, dan politik.

1. Perspektif Psikologis: Pelarian dari Stres dan Beban Emosional

Dari sudut pandang psikologi, escapism (pelarian) melalui film dianggap sebagai mekanisme pertahanan atau "defense mechanism". Psikolog Sigmund Freud pertama kali mengemukakan bahwa manusia memiliki kebutuhan alami untuk menghindari rasa sakit atau kecemasan. Teori ini kemudian dikembangkan dalam konsep "escapism", di mana seseorang mencari pengalaman menyenangkan untuk meredakan emosi negatif yang mereka hadapi di dunia nyata (Freud, 1930).

Menurut penelitian yang diterbitkan dalam "Journal of Media Psychology", banyak individu yang menonton film untuk mengalihkan diri dari tekanan atau stres dalam kehidupan nyata. Mereka terlibat dalam dunia fiksi yang aman dan penuh fantasi, yang memungkinkan mereka untuk mengatasi atau bahkan melupakan masalah yang sedang mereka hadapi. Studi lain yang dilakukan oleh Nabi dan Krcmar (2004) dalam "Communication Research" menemukan bahwa hiburan media, termasuk film, dapat berfungsi sebagai alat untuk mengurangi emosi negatif dan meningkatkan suasana hati.

Escapism dan Kesehatan Mental

Escapism tidak selalu bersifat negatif. Penelitian menunjukkan bahwa pelarian sementara bisa memberikan manfaat bagi kesehatan mental. Ketika individu menonton film dan memasuki dunia karakter yang berbeda, mereka merasakan apa yang disebut "transportation", yaitu kondisi di mana penonton larut sepenuhnya dalam cerita. Teori ini dijelaskan oleh Green dan Brock dalam "Narrative Impact" (2004), di mana keterlibatan dalam cerita mengurangi tekanan emosional yang dirasakan dalam kehidupan nyata.

Namun, penting untuk diingat bahwa penggunaan film sebagai pelarian juga bisa menjadi problematis bila dilakukan berlebihan, yang dikenal sebagai "maladaptive escapism". Orang yang bergantung pada film secara berlebihan untuk menghindari kenyataan dapat mengalami kesulitan untuk mengatasi masalah hidup mereka, yang pada akhirnya dapat memperburuk kesehatan mental mereka.

2. Perspektif Sosiologis: Film sebagai Cermin Kehidupan Sosial dan Alat Pelarian Kolektif

Dari perspektif sosiologis, film bukan hanya alat individu untuk melarikan diri, tetapi juga fenomena sosial yang mencerminkan dan mempengaruhi kondisi masyarakat. Dalam konteks ini, film sering kali menggambarkan berbagai realitas sosial yang tidak dialami secara langsung oleh penontonnya, sehingga mereka bisa mengalami kehidupan yang berbeda, bahkan hanya untuk beberapa jam.

Peneliti sosiologi seperti Erving Goffman mengemukakan konsep "frame analysis" yang menunjukkan bahwa individu menggunakan bingkai atau "frame" sosial untuk memahami dunia sekitar. Film membantu membingkai ulang persepsi kita tentang dunia, menawarkan perspektif yang berbeda, dan memungkinkan kita untuk keluar dari "frame" sehari-hari. Bagi mereka yang merasa terjebak dalam rutinitas monoton, film bisa menjadi jendela untuk mengalami kehidupan yang berbeda, yang tidak mungkin dilakukan dalam kenyataan.

Kolektivitas dalam Pengalaman Menonton

Selain sebagai alat pelarian pribadi, film juga berfungsi sebagai bentuk "escapism" kolektif. Saat menonton film populer atau mengikuti tren film tertentu, individu merasa menjadi bagian dari kelompok sosial yang lebih besar. Dalam konteks ini, escapism bukan hanya soal meninggalkan dunia nyata, tetapi juga tentang menemukan identitas dan koneksi sosial. Misalnya, menonton film pahlawan super dapat memberikan penonton perasaan kebersamaan dalam menghadapi krisis yang lebih besar dari kehidupan sehari-hari mereka. Durkheim mengemukakan bahwa pengalaman kolektif semacam ini memperkuat solidaritas sosial dan membantu individu merasa terhubung dengan masyarakat.

3. Perspektif Politik: Pelarian dari Ketidakpuasan Sosial dan Kritik Terhadap Kekuasaan

Film juga dapat dipahami sebagai bentuk pelarian dari realitas politik yang penuh dengan ketidakpuasan dan tekanan. Dalam banyak kasus, film memberikan representasi alternatif dari masyarakat atau menciptakan dunia distopia yang memperlihatkan kebalikan dari keadaan yang ada. Penonton dapat menemukan penghiburan dalam cerita-cerita di mana keadilan ditegakkan, pahlawan melawan kejahatan, atau perubahan sosial terjadi secara signifikan, yang sering kali tidak dapat mereka saksikan dalam dunia nyata.

Menurut teori ideologi dari Louis Althusser, film dapat berfungsi sebagai "ideological state apparatus" (ISA) yang dapat memperkuat atau melawan status quo. Sementara beberapa film mendukung nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, film lain justru menciptakan fantasi tentang pemberontakan dan perlawanan. Film seperti "V for Vendetta" atau "The Hunger Games" memperlihatkan dunia di mana rakyat melawan tirani. Dengan menonton film semacam ini, penonton yang merasa frustrasi dengan realitas politik mereka dapat merasa berempati dengan karakter yang berjuang melawan sistem yang menindas.

Film sebagai Media Kritik dan Pembangkangan

Lebih jauh lagi, film juga bisa menjadi sarana kritik politik yang terselubung. Pada era pemerintahan otoriter, misalnya, banyak sineas yang menggunakan simbolisme dalam film mereka untuk menyampaikan kritik terhadap pemerintah tanpa harus berbicara secara langsung. Hal ini memungkinkan penonton untuk mengidentifikasi diri dengan perlawanan simbolis tersebut dan merasa seolah-olah mereka terlibat dalam bentuk perlawanan pasif.

Penelitian oleh Wasko dan Arons dalam buku "Movies and Politics" (1999) menunjukkan bahwa film yang diproduksi di negara-negara dengan kondisi politik tertentu sering kali mencerminkan suasana sosial dan politik masyarakat. Film dapat menjadi alat pelarian yang membawa harapan, menawarkan visi dunia yang lebih baik, atau sekadar memberi ruang bagi penonton untuk membayangkan kemungkinan yang berbeda dari realitas politik yang mereka hadapi.

Kesimpulan: Film sebagai Pelarian Multidimensi

Melalui perspektif psikologis, sosiologis, dan politik, kita dapat melihat bahwa film lebih dari sekadar hiburan. Film memberikan pelarian yang bisa membantu penonton mengatasi tekanan emosional, menemukan identitas sosial, atau bahkan melakukan perlawanan pasif terhadap struktur kekuasaan yang menindas. Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya film sebagai media yang tidak hanya menghibur, tetapi juga memungkinkan penonton untuk mengekspresikan diri, memproses pengalaman, dan memahami dunia dari sudut pandang yang berbeda.

Dalam kehidupan yang penuh tekanan, ketidakpastian, dan terkadang ketidakadilan, film menjadi "jendela" yang memungkinkan kita untuk sejenak melupakan realitas, dan membayangkan dunia yang mungkin lebih baik. Namun, pelarian ini juga harus diimbangi dengan kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi tantangan nyata, agar kita tidak hanya tenggelam dalam ilusi tanpa mempersiapkan diri menghadapi kehidupan sebenarnya. (KH.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun