Tiga Hakim, Satu Triliun, dan Akhir yang Konyol
Euforia Tumpukan Uang
Di sebuah tempat tersembunyi, suasana ramai penuh tawa dan sorak-sorai memenuhi ruangan. Tiga orang hakim—sebut saja Pak Dahlan, Pak Hamdan, dan Bu Mirna—baru saja menyelesaikan “proyek” besar mereka. Mereka bukan sembarang hakim; mereka adalah trio kompak yang sudah menilai perkara besar berujung pada tumpukan uang yang kini memenuhi meja mereka. Siapa sangka, kasus tersebut bisa membawa uang suap sebesar satu triliun rupiah? Semua dari mereka merasa seperti “raja sehari”.
Pak Dahlan, si paling sok bijak di antara mereka, meraup uang tunai di atas meja dengan penuh semangat. “Lihat ini, saudara-saudara! Kita berhasil mengalahkan target kita. Satu triliun, saudara-saudara! Satu triliun!”
Pak Hamdan, dengan suara yang nyaring dan gaya berbicara bak motivator, menjawab, “Sudah kukatakan, strategi kita ini tak terkalahkan. Apalagi dengan cara kita yang rapi….”
Namun, sebelum ia bisa menyelesaikan kata-katanya, Bu Mirna memotong dengan nada sinis, “Rapi katamu? Lihat tempat ini, Hamdan! Serasa gudang barang rongsokan! Setidaknya, kalau punya satu triliun, sewalah tempat yang lebih layak!”
Mereka semua tertawa keras, namun ketegangan mulai terasa saat mereka mulai membahas pembagian uang tersebut. Tidak ada yang ingin menyerahkan sepeser pun lebih dari yang ia anggap pantas. Di antara tumpukan uang dan emas yang berkilauan, mereka mulai saling mencemooh dan berdebat.
Tengkar Pembagian Emas dan Uang
Pak Dahlan memulai dengan suara menggelegar, “Oke, kita harus jujur dan adil. Ingat, kita ini hakim! Jadi, kita bagi sama rata, 333 miliar buat setiap orang.”
Pak Hamdan mendengus, “Ah, adil katanya. Dahlan, aku yang paling berani menghadap si Pak Pengusaha itu! Kalau bukan karena keberanianku, kita tidak akan dapat uang ini. Bagaimana kalau aku ambil 400 miliar, dan kalian bagi sisanya?”
Bu Mirna tidak mau kalah, “Oh, Hamdan, jangan sok pahlawan. Tanpa aku yang menyembunyikan jejak kita, kamu sudah masuk bui sejak dulu. Jadi, aku ambil 500 miliar—sisanya untuk kalian berdua.”
Suasana makin panas. Mereka saling mengancam dengan bahasa yang kian kasar. Dalam kebodohan mereka yang serakah, tak satu pun sadar bahwa ruangan tersebut sebenarnya dilengkapi teknologi sensor terbaru yang telah dipasang oleh aparat kepolisian.
Impian Liar Selangit
Di tengah debat panas, mereka tiba-tiba berhenti bertengkar sejenak, memikirkan apa yang akan mereka lakukan dengan uang sebesar itu. Mata mereka berbinar saat mereka mulai membayangkan masa depan yang penuh kemewahan.
Pak Dahlan berkata penuh antusias, “Aku akan beli vila di Bali! Bayangkan, pantai pribadi, dan mungkin aku juga akan beli kapal pesiar kecil. Tiap weekend, berpesta tanpa gangguan.”
Pak Hamdan langsung merespon dengan ide yang lebih mewah, “Ah, kalau aku, jelas beli pesawat pribadi! Dan mungkin satu koleksi mobil sport. Setiap hari bisa jalan-jalan keliling kota dengan gaya.”
Tidak mau kalah, Bu Mirna menyela, “Semua itu masih terlalu sederhana. Aku akan beli rumah di Paris, di Champs-Élysées! Aku juga ingin punya toko perhiasan sendiri—emas, berlian, semuanya!”
Ketiganya tenggelam dalam fantasi mereka masing-masing, sesekali tertawa sambil memandangi tumpukan uang yang mereka anggap sudah sepenuhnya milik mereka. Namun, tak satu pun dari mereka menyadari bahwa kegilaan mereka sedang direkam, dan semua percakapan mereka tentang "impian mewah" sudah menjadi bukti kuat bagi kepolisian.
Grebekan Polisi
Di luar gedung, tim polisi yang sudah menunggu dengan sabar akhirnya mendapatkan sinyal. Dengan tenang, mereka mengatur rencana penggerebekan. Sensor yang dipasang dengan cermat menangkap setiap gerakan dan percakapan, dan sekarang adalah saat yang tepat untuk bertindak.
Tanpa basa-basi, pintu gedung digedor keras. Polisi berteriak dari luar, “Buka pintu! Polisi!”
Ketiga hakim itu terperanjat. Dalam kepanikan, Pak Dahlan berusaha menyembunyikan uang di bawah kursi, sementara Pak Hamdan berteriak, “Ini pasti ulah si Darto! Orang itu memang bodoh! Bilangnya aman, eh malah begini jadinya!”
Bu Mirna menambahkan, “Aku tahu kita tidak bisa percaya padanya! Katanya sensor sudah dinonaktifkan. Ini semua salah si Darto!”
Mereka saling menyalahkan, tetapi akhirnya tidak ada yang bisa dilakukan. Pintu didobrak, dan polisi pun masuk, menangkap mereka dalam keadaan tercengang, dengan tumpukan uang dan emas di sekitar mereka.
Ngoceh Terus Meski Diborgol
Saat diborgol, Pak Dahlan masih mengeluh, “Aku sudah bilang, ini semua ide buruk. Kalau kita membayar orang lebih profesional, kita tidak akan ketangkap!”
Pak Hamdan menyahut, “Ah, berhenti menyalahkan orang lain! Ini semua terjadi karena kamu terlalu kikir untuk bayar sistem keamanan yang bagus!”
Bu Mirna menutup dengan komentar sinisnya, “Lain kali, coba gunakan otak sedikit. Uang satu triliun habis karena ketololan kita sendiri. Huh!”
Ketiganya pun diangkut ke mobil polisi dengan raut wajah yang penuh kekecewaan dan kemarahan, tetapi juga tidak bisa menutupi kebodohan mereka. Mereka telah berakhir dengan tangan kosong, dan satu triliun itu akan menjadi bahan tertawaan dalam sejarah panjang korupsi di negeri ini.
Dengan langkah mereka yang serakah dan bodoh, ketiga hakim ini akhirnya terjerat oleh permainan mereka sendiri. Perencanaan yang buruk, kepercayaan pada orang yang salah, dan kerakusan yang tak terkendali membuat mereka berakhir di penjara, sebuah penutup yang ironis dan memalukan.(KH)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H