Mohon tunggu...
Kris Hadiwiardjo
Kris Hadiwiardjo Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Eks Penulis Artikel Bisnis, Ekonomi, Teknologi Harian Pelita

Penulis adalah peminat bidang teknologi, Komputer, Artificial Intelligence, Psikologi dan masalah masalah sosial politik yang menjadi perbincangan umum serta melakukan berbagai training yang bekenaan dengan self improvement, human development dan pendidikan umum berkelanjutan bagi lanjut usia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tiga Hakim, Satu Trilyun & Akhir yang Konyol

26 Oktober 2024   18:45 Diperbarui: 26 Oktober 2024   18:45 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bu Mirna menambahkan, “Aku tahu kita tidak bisa percaya padanya! Katanya sensor sudah dinonaktifkan. Ini semua salah si Darto!”

Mereka saling menyalahkan, tetapi akhirnya tidak ada yang bisa dilakukan. Pintu didobrak, dan polisi pun masuk, menangkap mereka dalam keadaan tercengang, dengan tumpukan uang dan emas di sekitar mereka.

Ngoceh Terus Meski Diborgol

Saat diborgol, Pak Dahlan masih mengeluh, “Aku sudah bilang, ini semua ide buruk. Kalau kita membayar orang lebih profesional, kita tidak akan ketangkap!”

Pak Hamdan menyahut, “Ah, berhenti menyalahkan orang lain! Ini semua terjadi karena kamu terlalu kikir untuk bayar sistem keamanan yang bagus!”

Bu Mirna menutup dengan komentar sinisnya, “Lain kali, coba gunakan otak sedikit. Uang satu triliun habis karena ketololan kita sendiri. Huh!”

Ketiganya pun diangkut ke mobil polisi dengan raut wajah yang penuh kekecewaan dan kemarahan, tetapi juga tidak bisa menutupi kebodohan mereka. Mereka telah berakhir dengan tangan kosong, dan satu triliun itu akan menjadi bahan tertawaan dalam sejarah panjang korupsi di negeri ini. 

Dengan langkah mereka yang serakah dan bodoh, ketiga hakim ini akhirnya terjerat oleh permainan mereka sendiri. Perencanaan yang buruk, kepercayaan pada orang yang salah, dan kerakusan yang tak terkendali membuat mereka berakhir di penjara, sebuah penutup yang ironis dan memalukan.(KH)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun