Mohon tunggu...
Kris Hadiwiardjo
Kris Hadiwiardjo Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Eks Penulis Artikel Bisnis, Ekonomi, Teknologi Harian Pelita

Penulis adalah peminat bidang teknologi, Komputer, Artificial Intelligence, Psikologi dan masalah masalah sosial politik yang menjadi perbincangan umum serta melakukan berbagai training yang bekenaan dengan self improvement, human development dan pendidikan umum berkelanjutan bagi lanjut usia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat yang Tak Pernah Sampai

26 Oktober 2024   12:13 Diperbarui: 26 Oktober 2024   12:28 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Surat yang Tak Pernah Sampai

Dua puluh tahun lalu, seorang pemuda bernama Arman menuangkan perasaan terdalamnya dalam sebuah surat. Surat itu adalah wujud cinta pertamanya untuk seorang wanita bernama Laila. Saat itu, Arman terlalu gugup untuk menyampaikan perasaannya langsung, jadi ia menulis dengan hati-hati, memilih setiap kata dengan seksama, berharap surat itu bisa menyentuh hati Laila. Namun, ia tidak mengirimkan surat itu sendiri. Ia mempercayakan surat tersebut kepada sahabatnya, Hasan, yang saat itu berjanji akan memberikannya langsung kepada Laila.

"Hasan, pastikan surat ini sampai ke Laila, ya?" pinta Arman dengan wajah penuh harap. Hasan hanya mengangguk, menyimpan surat itu dalam sakunya tanpa banyak bicara. Arman tidak pernah meragukan Hasan. Persahabatan mereka erat, penuh kepercayaan, dan Arman merasa yakin bahwa Hasan akan menjaga rahasianya dengan baik.

Waktu berlalu. Hari-hari penuh harap berubah menjadi tahun-tahun penuh kesedihan. Arman menanti dengan gelisah, namun Laila tidak pernah memberikan balasan. Setiap kali mereka bertemu, Laila hanya bersikap biasa. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia memahami perasaan Arman yang mendalam.

Dua Puluh Tahun Penantian

Bertahun-tahun kemudian, jalan hidup membawa Arman dan Laila pada takdir yang berbeda. Laila menikah dengan orang lain dan memiliki keluarga kecil yang bahagia. Sementara itu, Arman memilih untuk hidup dalam kesendirian, hatinya tetap terbelenggu dalam cinta yang tak tersampaikan. Meski tahu Laila telah melanjutkan hidupnya, bagian dalam diri Arman masih menanti penjelasan atas surat yang tak pernah dijawab.

Suatu hari, secara tak terduga, Arman bertemu dengan Laila di sebuah acara pertemuan alumni sekolah. Laila masih cantik, dan senyumnya yang dulu dirindukan Arman kini membuat hatinya berdegup tak karuan. Setelah berbincang singkat, keberanian Arman muncul, dan ia memutuskan untuk menanyakan tentang surat itu.

"Laila, apakah kamu masih ingat surat yang aku kirimkan padamu dua puluh tahun lalu?" tanya Arman dengan suara bergetar.

Laila menatap Arman dengan bingung, lalu berkata, "Surat? Surat apa yang kau maksud, Arman?"

Jawaban itu mengejutkan Arman. "Surat yang kutitipkan kepada Hasan... yang isinya tentang perasaanku padamu."

Laila menggeleng, tampak tak tahu menahu. Arman merasa dadanya mulai sesak. Selama ini, ia berpikir Laila telah memilih untuk tidak menjawabnya, tapi ternyata... surat itu mungkin tak pernah sampai.

Pengkhianatan yang Tak Disangka

Dengan hati yang hancur, Arman bergegas mencari Hasan, sahabat yang dulu ia percayai sepenuh hati. Akhirnya, ia menemukan Hasan sedang duduk di pojok ruangan, menikmati minumannya sendiri. Tanpa basa-basi, Arman mendekati Hasan dan bertanya dengan suara bergetar, "Hasan, kau ingat surat yang pernah kutitipkan untuk Laila dua puluh tahun lalu?"

Hasan terdiam sejenak, menghindari tatapan Arman, namun akhirnya ia menghela napas panjang. "Ya, aku ingat."

"Apakah kau memberikannya pada Laila?" Arman menatap Hasan dengan tajam.

Hasan menundukkan kepala, lalu berkata pelan, "Tidak, Arman. Surat itu... tidak pernah meninggalkan tanganku."

Arman terkejut. Semua kenangan, semua penantian dan kesedihan selama dua puluh tahun ini, terasa meledak dalam dirinya. Ia menatap Hasan dengan mata yang penuh kebencian, "Kenapa, Hasan? Kau tahu betapa pentingnya surat itu bagiku! Kenapa kau lakukan ini?"

Hasan mengangkat wajahnya, tatapannya dipenuhi rasa bersalah. "Karena aku juga mencintainya, Arman. Aku tak bisa menahan perasaanku, dan aku takut jika Laila tahu perasaanmu, aku tak akan pernah punya kesempatan."

Pengakuan itu membuat Arman membeku. Pengkhianatan dari sahabat yang ia percayai, orang yang selama ini dianggap sebagai saudara. Di satu sisi, Arman ingin menumpahkan amarahnya, menuntut keadilan atas tahun-tahun yang hilang. Di sisi lain, perasaannya bercampur dengan kekecewaan mendalam dan perasaan tak berdaya.

Pertarungan Batin

Malam itu, Arman merasa seluruh dunianya runtuh. Ia tak bisa tidur, pikirannya terus berputar antara amarah dan keputusasaan. Ia merasa dihancurkan oleh sahabat yang paling ia percayai, dan sekaligus merindukan kesempatan yang tak pernah ada.

Ketika pagi tiba, Arman memutuskan untuk pergi ke gereja, tempat di mana ia biasanya mencari ketenangan. Duduk di bangku kayu yang dingin, ia memejamkan mata dan berdoa, memohon petunjuk atas kegalauan hatinya. "Tuhan, jika ini memang ujian-Mu, bantu aku untuk mengerti. Apakah aku harus membalas dendam, atau menerima bahwa ini adalah bagian dari rencana-Mu?"

Dalam keheningan, Arman merasa ada ketenangan yang merasuki hatinya. Meski sakit, ia mulai menyadari bahwa dendam tak akan membawanya ke mana-mana. Mungkin, ini adalah rencana Tuhan agar ia belajar melepaskan sesuatu yang tak bisa ia miliki, agar ia bisa menemukan kedamaian di dalam dirinya sendiri.

Pengampunan yang Sulit

Dengan hati yang lebih tenang, Arman memutuskan untuk menemui Hasan sekali lagi, kali ini tanpa amarah. Ia ingin menuntaskan rasa sakitnya, bukan dengan balas dendam, tetapi dengan pengampunan. Saat bertemu dengan Hasan, Arman menghela napas dalam-dalam dan berkata, "Aku tidak akan pernah melupakan pengkhianatan ini, Hasan. Tapi aku juga tidak ingin hidup dengan kebencian."

Hasan tertegun, matanya terlihat berkaca-kaca. Ia tahu bahwa Arman berhak marah, dan ia tidak pernah menyangka bahwa sahabatnya ini akan memilih jalan yang begitu mulia. Hasan pun menunduk, suaranya bergetar saat ia berkata, "Maafkan aku, Arman. Aku tahu kata-kata ini tak cukup, tapi aku sungguh menyesal."

Arman hanya mengangguk pelan, lalu berkata, "Aku telah memaafkanmu, bukan untukmu, tapi untuk diriku sendiri."

Meskipun hatinya masih terasa perih, Arman merasa beban berat perlahan terangkat dari dadanya. Ia menyadari bahwa memaafkan bukan berarti melupakan, tapi memberi dirinya kesempatan untuk melangkah maju tanpa membawa luka lama.

Takdir yang Menyelamatkan

Bertahun-tahun setelah kejadian itu, Arman mendengar bahwa Laila, yang pernah ia cintai, menghadapi cobaan berat dalam rumah tangganya. Suaminya ternyata tidak setia, dan hidup Laila dipenuhi kekecewaan dan kesedihan. Arman hanya bisa berdoa agar Laila menemukan kedamaian yang ia cari.

Dalam perjalanan hidupnya, Arman akhirnya menemukan cinta yang baru, seorang wanita yang memahami dan mendukungnya sepenuh hati. Dari pengalaman pahitnya, Arman belajar untuk tidak mempertanyakan takdir dan menerima bahwa Tuhan selalu memiliki rencana yang lebih besar di balik setiap kejadian.

Di suatu malam yang tenang, Arman menatap bintang di langit dan tersenyum kecil. Ia tahu, meskipun suratnya tak pernah sampai, Tuhan telah menuntunnya pada jalan yang lebih baik, pada cinta yang sejati, dan pada kedamaian yang selama ini ia rindukan. (KH.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun