Laila menggeleng, tampak tak tahu menahu. Arman merasa dadanya mulai sesak. Selama ini, ia berpikir Laila telah memilih untuk tidak menjawabnya, tapi ternyata... surat itu mungkin tak pernah sampai.
Pengkhianatan yang Tak Disangka
Dengan hati yang hancur, Arman bergegas mencari Hasan, sahabat yang dulu ia percayai sepenuh hati. Akhirnya, ia menemukan Hasan sedang duduk di pojok ruangan, menikmati minumannya sendiri. Tanpa basa-basi, Arman mendekati Hasan dan bertanya dengan suara bergetar, "Hasan, kau ingat surat yang pernah kutitipkan untuk Laila dua puluh tahun lalu?"
Hasan terdiam sejenak, menghindari tatapan Arman, namun akhirnya ia menghela napas panjang. "Ya, aku ingat."
"Apakah kau memberikannya pada Laila?" Arman menatap Hasan dengan tajam.
Hasan menundukkan kepala, lalu berkata pelan, "Tidak, Arman. Surat itu... tidak pernah meninggalkan tanganku."
Arman terkejut. Semua kenangan, semua penantian dan kesedihan selama dua puluh tahun ini, terasa meledak dalam dirinya. Ia menatap Hasan dengan mata yang penuh kebencian, "Kenapa, Hasan? Kau tahu betapa pentingnya surat itu bagiku! Kenapa kau lakukan ini?"
Hasan mengangkat wajahnya, tatapannya dipenuhi rasa bersalah. "Karena aku juga mencintainya, Arman. Aku tak bisa menahan perasaanku, dan aku takut jika Laila tahu perasaanmu, aku tak akan pernah punya kesempatan."
Pengakuan itu membuat Arman membeku. Pengkhianatan dari sahabat yang ia percayai, orang yang selama ini dianggap sebagai saudara. Di satu sisi, Arman ingin menumpahkan amarahnya, menuntut keadilan atas tahun-tahun yang hilang. Di sisi lain, perasaannya bercampur dengan kekecewaan mendalam dan perasaan tak berdaya.
Pertarungan Batin
Malam itu, Arman merasa seluruh dunianya runtuh. Ia tak bisa tidur, pikirannya terus berputar antara amarah dan keputusasaan. Ia merasa dihancurkan oleh sahabat yang paling ia percayai, dan sekaligus merindukan kesempatan yang tak pernah ada.
Ketika pagi tiba, Arman memutuskan untuk pergi ke gereja, tempat di mana ia biasanya mencari ketenangan. Duduk di bangku kayu yang dingin, ia memejamkan mata dan berdoa, memohon petunjuk atas kegalauan hatinya. "Tuhan, jika ini memang ujian-Mu, bantu aku untuk mengerti. Apakah aku harus membalas dendam, atau menerima bahwa ini adalah bagian dari rencana-Mu?"