Mohon tunggu...
Kris Hadiwiardjo
Kris Hadiwiardjo Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Eks Penulis Artikel Bisnis, Ekonomi, Teknologi Harian Pelita

Penulis adalah peminat bidang teknologi, Komputer, Artificial Intelligence, Psikologi dan masalah masalah sosial politik yang menjadi perbincangan umum serta melakukan berbagai training yang bekenaan dengan self improvement, human development dan pendidikan umum berkelanjutan bagi lanjut usia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat yang Tak Pernah Sampai

26 Oktober 2024   12:13 Diperbarui: 26 Oktober 2024   12:28 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Laila menggeleng, tampak tak tahu menahu. Arman merasa dadanya mulai sesak. Selama ini, ia berpikir Laila telah memilih untuk tidak menjawabnya, tapi ternyata... surat itu mungkin tak pernah sampai.

Pengkhianatan yang Tak Disangka

Dengan hati yang hancur, Arman bergegas mencari Hasan, sahabat yang dulu ia percayai sepenuh hati. Akhirnya, ia menemukan Hasan sedang duduk di pojok ruangan, menikmati minumannya sendiri. Tanpa basa-basi, Arman mendekati Hasan dan bertanya dengan suara bergetar, "Hasan, kau ingat surat yang pernah kutitipkan untuk Laila dua puluh tahun lalu?"

Hasan terdiam sejenak, menghindari tatapan Arman, namun akhirnya ia menghela napas panjang. "Ya, aku ingat."

"Apakah kau memberikannya pada Laila?" Arman menatap Hasan dengan tajam.

Hasan menundukkan kepala, lalu berkata pelan, "Tidak, Arman. Surat itu... tidak pernah meninggalkan tanganku."

Arman terkejut. Semua kenangan, semua penantian dan kesedihan selama dua puluh tahun ini, terasa meledak dalam dirinya. Ia menatap Hasan dengan mata yang penuh kebencian, "Kenapa, Hasan? Kau tahu betapa pentingnya surat itu bagiku! Kenapa kau lakukan ini?"

Hasan mengangkat wajahnya, tatapannya dipenuhi rasa bersalah. "Karena aku juga mencintainya, Arman. Aku tak bisa menahan perasaanku, dan aku takut jika Laila tahu perasaanmu, aku tak akan pernah punya kesempatan."

Pengakuan itu membuat Arman membeku. Pengkhianatan dari sahabat yang ia percayai, orang yang selama ini dianggap sebagai saudara. Di satu sisi, Arman ingin menumpahkan amarahnya, menuntut keadilan atas tahun-tahun yang hilang. Di sisi lain, perasaannya bercampur dengan kekecewaan mendalam dan perasaan tak berdaya.

Pertarungan Batin

Malam itu, Arman merasa seluruh dunianya runtuh. Ia tak bisa tidur, pikirannya terus berputar antara amarah dan keputusasaan. Ia merasa dihancurkan oleh sahabat yang paling ia percayai, dan sekaligus merindukan kesempatan yang tak pernah ada.

Ketika pagi tiba, Arman memutuskan untuk pergi ke gereja, tempat di mana ia biasanya mencari ketenangan. Duduk di bangku kayu yang dingin, ia memejamkan mata dan berdoa, memohon petunjuk atas kegalauan hatinya. "Tuhan, jika ini memang ujian-Mu, bantu aku untuk mengerti. Apakah aku harus membalas dendam, atau menerima bahwa ini adalah bagian dari rencana-Mu?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun