Mohon tunggu...
Kris Hadiwiardjo
Kris Hadiwiardjo Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Eks Penulis Artikel Bisnis, Ekonomi, Teknologi Harian Pelita

Penulis adalah peminat bidang teknologi, Komputer, Artificial Intelligence, Psikologi dan masalah masalah sosial politik yang menjadi perbincangan umum serta melakukan berbagai training yang bekenaan dengan self improvement, human development dan pendidikan umum berkelanjutan bagi lanjut usia.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Nietzsche, "Tuhan Telah Mati", Korupsi & Paradoks Moral Pejabat Publik

25 Oktober 2024   16:20 Diperbarui: 25 Oktober 2024   16:59 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut Nietzsche, hilangnya nilai-nilai absolut atau kepercayaan kepada Tuhan mengantarkan masyarakat pada nihilisme, yaitu keadaan di mana hidup kehilangan makna karena hilangnya landasan moral yang kokoh. Dalam pemerintahan, ketika pejabat tidak lagi menganggap sumpah atas nama Tuhan sebagai sesuatu yang sakral, mereka menjadi rentan terhadap nihilisme moral. Mereka tidak memiliki motivasi yang berasal dari moralitas yang transendental, dan akibatnya, mereka cenderung mengikuti kepentingan pribadi di atas kepentingan publik.

Nihilisme moral ini adalah kondisi di mana kebenaran atau keadilan menjadi relatif; yang benar adalah apa yang menguntungkan diri sendiri, dan apa yang salah adalah apa yang membahayakan posisi mereka. Nietzsche dalam "Thus Spoke Zarathustra" menggambarkan bagaimana manusia harus menjadi "Ubermensch" (manusia unggul) yang menciptakan nilai-nilai sendiri, namun para pejabat ini malah menjadi "untermensch" (manusia di bawah standar moral), terjebak dalam kepentingan pragmatis yang rendah.

Hilangnya Rasa Diawasi

Ketika seorang pejabat bersumpah di bawah Kitab Suci dan Al-Qur'an, harapannya adalah bahwa mereka merasa diawasi oleh Tuhan dan bahwa setiap tindakan mereka akan diperhitungkan pada akhirnya. Namun, korupsi yang dilakukan menunjukkan bahwa mereka tidak lagi merasa diawasi. Dalam konteks ini, Nietzsche mungkin akan berargumen bahwa bagi para pejabat ini, Tuhan "tidak hadir" atau bahkan "mati." Mereka mungkin percaya pada eksistensi Tuhan secara abstrak, namun dalam praktiknya, Tuhan telah "mati" dalam pengertian bahwa Dia tidak memiliki pengaruh nyata terhadap tindakan mereka sehari-hari.

Nietzsche mengkritik kecenderungan manusia untuk hidup dalam "dualitas nilai," yaitu berpura-pura menganut prinsip-prinsip mulia namun hidup tanpa mempraktikkannya. Pejabat publik yang melakukan korupsi, meskipun telah bersumpah di bawah Kitab Suci, menunjukkan bahwa kepercayaan mereka hanyalah sebatas formalitas. Hal ini mempertegas bahwa bagi mereka, Tuhan tidak benar-benar "hidup" sebagai sumber moralitas.

Kehilangan Akuntabilitas Transendental

Ketika nilai-nilai agama dianggap hanya sebagai "tradisi," akuntabilitas kepada Tuhan berubah menjadi akuntabilitas yang semata-mata kepada masyarakat atau hukum negara. Sayangnya, hukum negara sering kali lebih mudah dimanipulasi atau "dinegosiasikan" daripada hukum ilahi yang bersifat mutlak. Tanpa rasa takut akan konsekuensi moral atau spiritual yang lebih besar, pejabat ini merasa bebas melakukan korupsi selama mereka bisa menghindari hukuman dari institusi formal.

Nietzsche percaya bahwa ketika Tuhan "mati," manusia terpaksa menghadapi kekosongan nilai dan harus mengisinya dengan nilai-nilai baru. Pejabat yang tidak merasakan dampak sumpah ilahi mereka berpotensi menciptakan moralitas mereka sendiri yang pragmatis dan oportunistik. Mereka mungkin hanya mementingkan keuntungan pribadi, tanpa mengindahkan keadilan sosial atau kesejahteraan publik, menciptakan realitas di mana nilai-nilai luhur tidak lagi berarti.

Nietzsche dan Tantangan untuk Menciptakan Moralitas Baru

Nietzsche tidak hanya mengkritik hilangnya nilai-nilai transendental, tetapi juga menawarkan tantangan agar manusia mampu menciptakan nilai-nilai baru yang berakar pada kehidupan itu sendiri. Jika para pejabat tidak lagi mengindahkan nilai-nilai agama, mereka harusnya memiliki alternatif moral yang didasarkan pada rasa tanggung jawab sosial yang tulus. Dalam dunia ideal Nietzsche, "Ubermensch" adalah sosok yang menciptakan dan mempraktikkan nilai-nilai hidup yang autentik tanpa bergantung pada aturan luar.

Namun, di Indonesia, pejabat yang korup cenderung jauh dari gagasan "Ubermensch". Mereka bukan menciptakan nilai-nilai hidup yang lebih baik, tetapi justru menciptakan norma-norma oportunistik yang mengabaikan kesejahteraan rakyat. Alih-alih menjadi manusia unggul yang memperjuangkan nilai-nilai kebenaran, mereka terjerembab dalam moralitas lemah yang mengandalkan kekuasaan, kemunafikan, dan penyalahgunaan sumpah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun