Mohon tunggu...
Kris Hadiwiardjo
Kris Hadiwiardjo Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Eks Penulis Artikel Bisnis, Ekonomi, Teknologi Harian Pelita

Penulis adalah peminat bidang teknologi, Komputer, Artificial Intelligence, Psikologi dan masalah masalah sosial politik yang menjadi perbincangan umum serta melakukan berbagai training yang bekenaan dengan self improvement, human development dan pendidikan umum berkelanjutan bagi lanjut usia.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Tak Ada Musuh Abadi bagi Politisi

24 Oktober 2024   16:01 Diperbarui: 24 Oktober 2024   16:05 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak Ada Musuh Abadi, Hanya Kepentingan Abadi: Pergerakan Dinamis di Balik Politik Indonesia

Dalam dunia politik, kita sering mendengar istilah "tidak ada musuh abadi, hanya kepentingan abadi." Pepatah ini tampaknya menjadi pedoman tak tertulis yang diikuti oleh banyak politisi di Indonesia. Ketika kita melihat perjalanan politik beberapa tokoh yang dahulu keras menentang Prabowo Subianto, namun kini bergabung atau mendukungnya, kita mendapatkan gambaran jelas tentang bagaimana kepentingan mengalahkan segala bentuk prinsip dan idealisme.

Permainan Kepentingan yang Dinamis

Di kancah politik nasional, perubahan sikap para tokoh politik ini sering terjadi dengan cepat, memicu kebingungan dan bahkan frustrasi di kalangan publik. Anies Baswedan, misalnya, pernah menjadi pendukung Joko Widodo (Jokowi) pada Pemilu 2014 dan kerap mengkritik Prabowo. Salah satu pernyataannya pada masa itu:  

"Kita butuh pemimpin yang membangun demokrasi, bukan yang merusak demokrasi dengan pendekatan kekuasaan."  

Namun, seiring berjalannya waktu, Anies mendapat dukungan dari Prabowo dan partai Gerindra untuk memenangkan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Sikap Anies yang sebelumnya kritis terhadap Prabowo perlahan mengendur setelah ia menerima dukungan politik yang penting bagi kariernya.

Fenomena yang sama terjadi pada tokoh senior seperti Amien Rais, yang dulunya dikenal sebagai pengkritik keras Prabowo, terutama karena isu pelanggaran HAM yang menyeret namanya. Amien pernah menyatakan:  

"Prabowo adalah bagian dari masa lalu yang tidak bisa kita lupakan, kita harus waspada terhadap kepemimpinannya."  

Namun, setelah PAN (Partai Amanat Nasional) ikut serta dalam koalisi pendukung Prabowo pada Pemilu 2019, Amien Rais terlihat lebih kompromis dan bahkan lebih toleran terhadap Prabowo. Seakan-akan sikap keras yang pernah ia usung hanyalah bagian dari masa lalu yang bisa diubah sesuai kepentingan politik saat ini.

Perubahan Sikap yang Diwarnai Kepentingan

Tokoh lain yang menunjukkan perubahan sikap serupa adalah Yusril Ihza Mahendra, Ketua Partai Bulan Bintang (PBB). Pada 2014, Yusril dengan tegas menyatakan ketidakmauannya mendukung Prabowo karena rekam jejak Prabowo terkait pelanggaran HAM:  

"Prabowo masih membawa beban masa lalu yang berat, terutama dalam masalah HAM. Ini menjadi alasan kami tidak bisa mendukungnya."  

Namun pada 2023, PBB di bawah pimpinan Yusril secara terbuka menyatakan dukungannya kepada Prabowo untuk Pemilu 2024. Kepentingan politik yang lebih besar tampaknya menjadi landasan utama di balik perubahan sikap Yusril ini.

Wiranto, mantan Panglima TNI, juga mengalami perjalanan politik yang menarik. Pada Pemilu 2014, partainya, Hanura, mendukung Jokowi dan menjauhi Prabowo. Wiranto dengan lantang menyatakan:
 
"Kami memilih untuk mendukung kandidat yang memiliki rekam jejak bersih, bukan mereka yang terkait dengan pelanggaran masa lalu."  

Namun, kini, sikapnya terhadap Prabowo menjadi lebih moderat, meskipun tidak secara terang-terangan mendukung, ia menunjukkan sikap yang jauh lebih netral daripada sebelumnya.

Politik sebagai Ilusi Nilai

Apa yang bisa kita pelajari dari perubahan sikap ini? Pernyataan politik dan nilai-nilai yang sering diusung para politisi tampaknya hanya menjadi alat sementara yang mereka gunakan untuk meraih simpati dan dukungan publik. Ketika kepentingan berubah, maka nilai-nilai dan pernyataan tersebut sering kali berubah pula. Ini mencerminkan bahwa banyak nilai moral dalam politik hanyalah ilusi yang bisa diubah seiring dengan kepentingan pribadi atau partai.

Politik penuh dengan strategi, dan tokoh-tokoh seperti Surya Paloh yang pernah mendukung Jokowi dengan argumen bahwa Jokowi membawa "perubahan nyata" untuk bangsa, sekarang menunjukkan keterbukaan untuk mendukung Anies Baswedan, yang notabene pernah mendapat dukungan dari Prabowo. Semua ini menunjukkan bahwa tokoh politik dapat dengan cepat mengubah haluan sesuai dengan angin politik yang berhembus.

Hal yang sama juga terlihat pada Hary Tanoesoedibjo, yang awalnya mendukung Jokowi pada Pemilu 2014 dan 2019, menyatakan bahwa Jokowi adalah "kandidat yang lebih bisa membawa perubahan yang nyata bagi bangsa." Namun, pada 2023, partainya, Perindo, menyatakan dukungan kepada Prabowo untuk Pemilu 2024. Hary Tanoe adalah contoh nyata bagaimana kepentingan politik menggeser nilai dan komitmen yang pernah dipegang.

Ilusi Pilihan dalam Demokrasi

Dalam demokrasi, kita sering merasa bahwa kita memiliki banyak pilihan pemimpin berdasarkan nilai-nilai yang mereka tawarkan. Namun, kenyataannya, apa yang kita lihat sering kali hanyalah ilusi yang diciptakan oleh politisi untuk memenangkan suara publik. Ketika kepentingan politik mengharuskan mereka untuk berkoalisi dengan mantan musuh atau menyesuaikan prinsip mereka, nilai-nilai yang sebelumnya dipegang teguh sering kali dengan mudah diabaikan.

Sebagai masyarakat, penting bagi kita untuk memahami bahwa permainan politik sering kali jauh lebih pragmatis dan oportunistik daripada yang terlihat di permukaan. Kita harus lebih bijak dan skeptis dalam menilai janji-janji politik serta pernyataan para politisi.

Kesimpulan: Waspada dalam Menilai Janji Politik

Fenomena perubahan sikap politik yang kita lihat pada tokoh-tokoh seperti Anies Baswedan, Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra, dan Wiranto memberikan pelajaran penting bagi masyarakat. Bahwa tidak ada yang benar-benar abadi dalam politik, kecuali kepentingan itu sendiri. Janji-janji politik dan pernyataan tentang nilai-nilai moral sering kali hanya menjadi alat sementara untuk meraih kekuasaan.

Dalam menghadapi tahun-tahun politik yang penuh dengan manuver, kita sebagai masyarakat harus lebih cerdas dalam menyikapi setiap pernyataan politik. Jangan mudah percaya pada kata-kata manis yang disampaikan politisi, karena sering kali di balik itu ada kepentingan lain yang tidak selalu terlihat. Penting untuk memegang teguh prinsip, tetapi juga bijak dan kritis dalam memilih pemimpin.

Dalam sebuah dunia politik yang cepat berubah, tidak ada musuh abadi, hanya kepentingan abadi. Dan kita, sebagai rakyat, harus selalu waspada agar tidak terperangkap dalam ilusi yang diciptakan oleh politisi. (KH.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun