Mohon tunggu...
Kris Hadiwiardjo
Kris Hadiwiardjo Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Eks Penulis Artikel Bisnis, Ekonomi, Teknologi Harian Pelita

Penulis adalah peminat bidang teknologi, Komputer, Artificial Intelligence, Psikologi dan masalah masalah sosial politik yang menjadi perbincangan umum serta melakukan berbagai training yang bekenaan dengan self improvement, human development dan pendidikan umum berkelanjutan bagi lanjut usia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bersyukur, di Tengah Dunia Penuh Kekacauan

23 Oktober 2024   06:31 Diperbarui: 23 Oktober 2024   06:33 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karya Personal - Menulis dan Membaca Puisi Bersyukur

Belajar Bersyukur Setiap Hari Sebagai Kunci Kebahagiaan di Tengah Dunia yang Penuh Kekacauan

Di tengah dunia yang dibombardir dengan berita perang, konflik, dan kekacauan, sulit rasanya untuk menemukan kedamaian, apalagi kebahagiaan. Setiap kali kita membuka media sosial atau berita, sering kali yang muncul adalah kabar buruk. Pertanyaannya adalah, bagaimana kita bisa tetap bahagia dan menjaga kedamaian batin di tengah dunia yang seolah terus-menerus menguji kesabaran dan keyakinan kita?

Jawabannya bisa sesederhana ini: belajar bersyukur setiap hari. Bersyukur bukan hanya soal ucapan terima kasih, melainkan sebuah "mindset" yang mampu mengubah cara kita melihat hidup. Tak hanya untuk orang dewasa, penting juga untuk mengajarkan sikap ini kepada anak-anak, agar mereka bisa tumbuh dengan pandangan hidup yang positif dan bahagia, meski dunia di sekitarnya penuh tantangan.

1. Psikologi Bersyukur: Apa Kata Penelitian?

Dari sudut pandang psikologi, penelitian menunjukkan bahwa bersyukur memiliki efek yang luar biasa terhadap kesejahteraan mental. Sebuah studi yang dilakukan oleh psikolog "Robert Emmons" dan "Michael McCullough" menyatakan bahwa orang yang melatih rasa syukur secara teratur cenderung lebih bahagia, lebih optimis, dan lebih puas dengan hidup mereka. Bahkan, mereka juga memiliki kesehatan fisik yang lebih baik dan lebih sedikit mengalami stres serta depresi.

Dalam konteks ini, bersyukur menjadi lebih dari sekadar formalitas; ia adalah cara yang nyata untuk melatih otak agar lebih fokus pada hal-hal positif dalam hidup. Anak-anak yang diajarkan untuk bersyukur sejak dini akan tumbuh dengan pandangan hidup yang lebih seimbang, lebih optimis, dan tentunya lebih bahagia.

2. Bersyukur dalam Ajaran Agama: Kekuatan Universal

Tak hanya dari sudut pandang ilmiah, konsep bersyukur juga ditekankan oleh berbagai agama dunia, menunjukkan bahwa rasa syukur adalah nilai yang universal.

Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman, ""Jika kamu bersyukur, Aku akan menambah (nikmat) kepadamu" (QS Ibrahim: 7)". Ini menunjukkan bahwa dengan bersyukur, nikmat yang kita terima akan terus bertambah. Bersyukur bukan hanya sekadar ucapan, tetapi cara kita menghargai dan menyadari betapa banyak karunia yang kita terima setiap hari.

Dalam Alkitab, 1 Tesalonika 5:18 mengatakan, "Mengucap syukurlah dalam segala hal; sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu". Pesan yang sama: bersyukur dalam segala keadaan, bahkan dalam kesulitan sekalipun.

Dalam tradisi Buddha, rasa syukur adalah bagian dari praktik meditasi dan mindfulness. Dengan menyadari apa yang kita miliki saat ini, kita akan terhindar dari penderitaan yang diakibatkan oleh keinginan berlebih. Rasa cukup dan syukur adalah kunci kebahagiaan sejati menurut ajaran ini.

Dalam ajaran Hindu, "Santosa", atau rasa puas dengan apa yang dimiliki, adalah bagian penting dari "Yama" dan "Niyama", panduan etika untuk hidup yang lebih baik. Dengan menerima dan bersyukur atas apa yang ada, kita membebaskan diri dari keserakahan dan kecemasan.

3. Mengapa Bersyukur Menjadi Penting di Era Kekacauan?

Saat ini, dunia terasa semakin kacau. Pandemi global, perubahan iklim, ketidakstabilan politik, dan berbagai konflik telah menciptakan suasana yang penuh ketidakpastian. Namun, justru di saat-saat seperti ini, bersyukur menjadi lebih penting daripada sebelumnya.

Saat kita terlalu fokus pada berita buruk, otak kita terprogram untuk melihat dunia sebagai tempat yang berbahaya. Ketakutan dan kecemasan pun meningkat, menyebabkan depresi dan stres. Bersyukur membantu kita menyeimbangkan perspektif, mengingatkan bahwa meski dunia penuh tantangan, masih ada banyak hal yang patut disyukuri---mulai dari hal kecil seperti matahari yang terbit setiap pagi hingga kasih sayang dari orang-orang terdekat.

Ini adalah "mental shield" yang melindungi kita dari pengaruh buruk dunia luar. Anak-anak yang diajarkan untuk bersyukur juga akan memiliki ketahanan emosional yang lebih kuat, karena mereka belajar untuk fokus pada hal-hal positif dalam hidup mereka daripada terjebak dalam pusaran kecemasan.

4. Bagaimana Mengajarkan Rasa Syukur kepada Anak-Anak?

Mengajarkan rasa syukur kepada anak-anak tidak harus menjadi tugas yang berat. Ada beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan oleh orang tua atau guru dalam membangun kebiasaan bersyukur:

- Buat Jurnal Syukur: Ajak anak-anak untuk menulis tiga hal yang mereka syukuri setiap hari. Ini bisa berupa hal-hal kecil seperti mainan favorit atau momen bermain dengan teman-teman. Membiasakan mereka untuk menghargai momen-momen sederhana akan membentuk sikap syukur dalam jangka panjang.
 
- Berdoa atau Meditasi Syukur: Ajarkan anak-anak untuk menyisipkan rasa syukur dalam doa mereka. Dalam tradisi Islam, Kristen, maupun agama lainnya, rasa syukur sering kali menjadi bagian dari doa harian. Ini adalah cara yang baik untuk memperkuat kebiasaan bersyukur dalam hidup spiritual mereka.

- Contohkan Syukur dalam Kehidupan Sehari-hari: Anak-anak belajar banyak dari apa yang mereka lihat. Jika orang tua menunjukkan sikap syukur setiap hari, anak-anak akan cenderung menirunya. Ucapkan terima kasih atas hal-hal kecil di sekitar mereka dan tunjukkan betapa berharganya momen-momen tersebut.

- Buatlah Puisi-Puisi Bersyukur bagi anak atau bisa memesan buku bersyukur bagi anak dan orangtua yang sedang dipersiapkan oleh penulis, untuk dibaca bersama orang tua dan anak pada tiap kesempatan yang tersedia seperti contoh berikut ini:

PUISI TERIMAKASIH

Terima kasih Tuhan, atas tiap hari,  
Atas tubuh sehat yang bisa berlari.  
Kaki yang bisa berjakan, tangan yang melambai,  
Setiap napas, semua anugerah-Mu indah.

Terima kasih atas makanan yang kumakan,  
Buah yang manis, roti yang hangat.  
Air yang segar dan makanan hangat,  
Untuk tangan yang melindungi dari bahaya berat.

Aku hidup damai, tertawa, tumbuh besar,  
Tapi ada, ya Tuhan, yang tidak seindah ini, mereka bersabar.  
Anak-anak lain harus berjuang keras,  
Melawan lapar, malam penuh perang yang ganas.

Ada yang tanpa ibu, ada yang tanpa ayah,  
Mereka merasa gelap lenyap, begitu lelah.  
Rumah mereka hilang, hati dalam derita,  
Mereka merindukan cinta dan damai seutuhnya.

Jadi aku bersyukur, penuh rasa syukur,  
Atas tiap hari, aku benar-benar berterima kasih.  
Aku akan berbagi kebahagiaan, aku akan berbagi terang,  
Agar hati orang lain ikut senang.

Terima kasih Tuhan, atas segala pemberian,  
Atas kesehatan, makanan, dan hidup yang kualami.  
Kudoakan mereka yang dalam masa sulit,  
Semoga mereka juga menemukan cinta-Mu yang begitu dekat.

5. Syukur sebagai Pondasi Kebahagiaan: Sebuah Paradoks?

Menariknya, dalam sebuah dunia yang penuh dengan kekacauan, kita justru menemukan bahwa kebahagiaan tidak datang dari banyaknya hal yang kita miliki, melainkan dari bagaimana kita menghargai apa yang kita miliki. Ini adalah paradoks yang sering kali kita lupakan di era modern.

Di dunia yang menekankan pentingnya mencapai lebih, memiliki lebih, dan menjadi lebih, kita sering kali lupa bahwa kebahagiaan sebenarnya ada di depan mata kita---dalam hal-hal kecil yang mungkin sering kita abaikan. Bersyukur adalah kunci untuk membuka pintu kebahagiaan ini.

Anak-anak yang diajarkan untuk mensyukuri hidup mereka sejak dini akan tumbuh dengan pandangan yang lebih sehat terhadap dunia. Mereka tidak akan terlalu terjebak dalam keinginan untuk selalu "lebih", melainkan belajar untuk merasa cukup dan bahagia dengan apa yang ada.

6. Penutup: Dunia yang Bahagia Dimulai dari Syukur

Jika kita menginginkan dunia yang lebih bahagia, kita harus mulai dari diri kita sendiri---dari mengubah cara kita melihat dunia. Dan ini dimulai dengan bersyukur setiap hari, meski dunia di luar kita mungkin sedang dalam kekacauan.

Ajaran ini tidak hanya relevan untuk kita sebagai orang dewasa, tetapi juga untuk anak-anak kita. Dengan mengajarkan mereka untuk bersyukur, kita membantu mereka membangun fondasi kebahagiaan yang kokoh, yang tidak tergoyahkan oleh apapun yang terjadi di dunia luar.

Dengan begitu, dunia yang penuh dengan perang, kekacauan, dan berita buruk tidak akan mampu merusak kebahagiaan batin mereka. Karena mereka tahu bahwa kebahagiaan sejati datang dari dalam diri, dari rasa syukur yang tulus setiap hari. (KH.)


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun