Orang-orang yang percaya pada hari pembalasan memahami bahwa dunia ini hanya sementara. Mereka percaya bahwa segala sesuatu yang mereka lakukan, baik maupun buruk, akan diadili di akhirat. Ini adalah keyakinan yang mendalam, yang memungkinkan mereka untuk terus berbuat baik tanpa mengharapkan balasan langsung. Sebaliknya, mereka melakukan kebaikan sebagai manifestasi dari keimanan mereka, bukan untuk mendapatkan keuntungan materi.
Dalam pandangan ini, mereka yang tidak melihat hasil langsung dari kebaikan mereka di dunia sebenarnya sedang menjalani ujian spiritual. Ujian ini adalah bentuk pengingat bahwa dunia ini tidaklah nyata dalam arti bahwa ia bukanlah tujuan akhir. Seperti yang dikatakan dalam ajaran Kristen, "Janganlah mengumpulkan harta di bumi, di mana ngengat dan karat merusakkannya, dan pencuri masuk untuk mencuri. Tetapi kumpulkanlah harta di surga" (Matius 6:19-20).
Perspektif Torah: Ujian Iman dan Keadilan Tuhan
Dalam tradisi Yahudi, keadilan Tuhan sering kali dipahami sebagai sesuatu yang tak terlihat atau tidak langsung. Dalam Kitab Pengkhotbah (Kohelet) 8:14, dikatakan, "Ada orang-orang yang benar yang mendapat upah seperti yang seharusnya diterima oleh orang fasik, dan ada orang-orang fasik yang mendapat upah seperti yang seharusnya diterima oleh orang benar. Ini juga kesia-siaan." Ayat ini menggambarkan bahwa di dunia, hasil tidak selalu sesuai dengan tindakan yang dilakukan, yang menjadi bentuk ujian bagi iman seseorang.
Torah juga menekankan pentingnya kesetiaan kepada Tuhan, bahkan ketika hasilnya tampaknya tidak adil. Keyakinan bahwa Tuhan akan memperbaiki ketidakadilan ini di hari penghakiman adalah dasar dari pengertian bahwa dunia ini hanya tempat sementara, dan kehidupan yang sejati adalah di akhirat.
Filosofi di Balik Paradoks: Berbuat Baik Tanpa Ekspektasi
Melakukan kebaikan tanpa harapan balasan adalah konsep yang mendalam dalam spiritualitas. Dalam dunia yang sering kali tampak tidak adil, di mana usaha yang sungguh-sungguh tidak selalu menghasilkan, kebaikan menjadi ujian kesabaran dan iman. Mereka yang bertahan dalam kebaikan adalah orang-orang yang memiliki pandangan jangka panjang, mereka yang memahami bahwa nilai kebaikan tidak diukur dalam imbalan duniawi.
Dalam filsafat, ini sering dihubungkan dengan konsep "keutamaan tanpa pamrih." Aristoteles, misalnya, berpendapat bahwa kebaikan sejati adalah tujuan itu sendiri. Orang yang baik melakukan kebaikan bukan karena mereka mengharapkan sesuatu sebagai balasan, tetapi karena mereka memahami bahwa berbuat baik adalah nilai tertinggi.
Dalam pandangan ini, dunia ini menjadi sebuah panggung di mana manusia diuji---bukan tentang seberapa banyak yang mereka dapatkan, tetapi seberapa setia mereka dalam melakukan kebaikan, bahkan ketika tidak ada imbalan yang langsung terlihat.
Penutup: Menjalani Hidup di Tengah Paradoks
Dalam pandangan spiritual yang mendalam, dunia ini adalah tempat ujian, penuh dengan paradoks yang tidak selalu masuk akal dari sudut pandang manusia. Namun, bagi mereka yang memiliki iman, ada keyakinan bahwa semua ini akan terbalas di akhirat. Mereka yang melakukan kebaikan tanpa mengharapkan balasan di dunia ini sebenarnya sedang menjalani ujian terbesar, dan dalam iman mereka, mereka percaya bahwa ada keadilan yang lebih besar yang akan datang pada hari pembalasan.