Mengapa Niat Baik dalam Pemerintahan Gagal: Perspektif Politik, Sosial, dan Filosofis
Saat politisi mengambil jabatan, mereka bersumpah dengan kitab suci dan sumpah konstitusi untuk melayani rakyat sebaik mungkin. Namun, berkali-kali, sistem ini mengecewakan. Ketika Prabowo Subianto semakin dekat untuk memimpin Indonesia, negara ini sekali lagi menghadapi tantangan: mengapa niat baik dalam pemerintahan sering hancur?
Ini bukan hanya tantangan bagi Indonesia. Dari Amerika Serikat hingga India, dari awal demokrasi hingga sekarang, masalah ini bersifat universal. Kita akan melihat masalah ini dari sudut pandang politik, sosial, dan filosofis, dengan perbandingan dari pemerintahan global untuk mengeksplorasi mengapa pemerintahan yang baik seringkali gagal.
Perspektif Politik: Kekuasaan Cenderung Korup, dan Kekuasaan Mutlak Korup Secara Mutlak
Salah satu teori politik paling terkenal yang menjelaskan kegagalan niat baik dalam pemerintahan adalah aksioma Lord Acton: "Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak korup secara mutlak."( Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely ) Ketika individu masuk ke dunia politik, mereka mungkin benar-benar ingin melayani publik. Namun begitu mereka berhadapan dengan kekuasaan, dinamika berubah. Kekuasaan itu memabukkan, dan seringkali mengarah pada keputusan yang lebih memprioritaskan kelangsungan hidup sendiri atau kepentingan kelompok kecil.
 Indonesia: Siklus Korupsi
Indonesia telah lama berjuang dengan masalah ini sejak kemerdekaannya. Dari masa kepresidenan Sukarno hingga Orde Baru di bawah Suharto, korupsi terus menjadi masalah yang menonjol. Meski ada gerakan reformasi dan transisi demokratis, siklus ini terus berlanjut. Dalam pemerintahan Prabowo yang akan datang, tantangan terbesar adalah memutus siklus ini---sesuatu yang selalu dijanjikan oleh setiap pemimpin Indonesia tetapi belum berhasil dicapai.
Teoretikus politik seperti Robert Michels membahas "Hukum Besi Oligarki," yang menyatakan bahwa bahkan pemerintahan yang paling demokratis pun pada akhirnya akan memusatkan kekuasaan di tangan segelintir orang. Di Indonesia, meski sistem dirancang untuk mencegah kontrol absolut, kepentingan-kepentingan tertentu dan jaringan elit berhasil memonopoli kekuasaan. Bisakah Prabowo benar-benar membongkar jaringan ini, atau dia akan terperangkap di dalamnya?
Perbandingan Global: AS dan India
Di AS, bahkan politisi yang bermaksud baik seperti Barack Obama harus menghadapi kenyataan politik yang keras. Obama berkampanye dengan slogan "harapan" dan "perubahan," namun pemerintahannya dibatasi oleh perpecahan partai, kelompok kepentingan khusus, dan realitas pemerintahan. Ilmuwan politik Daniel Drezner menjelaskan bagaimana inersia birokrasi dan kepentingan yang mengakar membatasi kekuatan transformatif pemimpin mana pun.
India, dengan demokrasi yang dinamis, juga menunjukkan bagaimana sistem bisa menghancurkan niat baik. Perdana Menteri Narendra Modi, yang berkampanye melawan korupsi, dituduh mengkonsolidasikan kekuasaan dan melemahkan institusi demokrasi. Seperti di Indonesia, kecenderungan oligarkis dan politik dinasti mendominasi, yang berujung pada korupsi dan ketidakefisienan.
Perspektif Sosial: Beratnya Harapan Publik dan Tekanan Sosial
Politik tidak terjadi dalam ruang hampa. Pemerintah mencerminkan masyarakat yang dipimpinnya. Sosiolog seperti mile Durkheim mengingatkan kita bahwa masyarakat memberikan tekanan pada individu, termasuk para pemimpin, untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma tertentu. Dalam kasus politisi, harapan masyarakat seringkali tidak realistis, menciptakan tekanan besar.
Indonesia: Budaya Patronase
Jalinan sosial Indonesia sangat erat dengan budaya patronase, sebuah sistem di mana pemimpin diharapkan untuk mendistribusikan sumber daya dan kesempatan kepada para pendukungnya. Ini memiliki akar sejarah, mulai dari kepala desa lokal hingga politik nasional. Meski Prabowo mungkin memiliki niat untuk lepas dari sistem ini, tekanan sosial akan mendorongnya kembali ke politik patronase. Memenuhi janji kampanye sering kali berarti memprioritaskan kepentingan mereka yang membantu pemimpin naik ke kekuasaan, bukan rakyat secara umum.
Perbandingan Global: Perjuangan Eropa dengan Tuntutan Publik
Bahkan di negara demokrasi maju seperti di Eropa, tekanan masyarakat dapat merusak pemerintahan yang baik. Lihat saja Prancis, di mana Presiden Emmanuel Macron, meski awalnya bersemangat untuk melakukan reformasi, harus menghadapi protes besar dari gerakan "rompi kuning." Pemerintahan Macron, yang awalnya siap untuk perubahan besar, berkali-kali harus tunduk pada tekanan publik, menunda atau memperlemah banyak reformasi yang diusulkan.
Hal yang sama terjadi di negara-negara seperti Yunani dan Italia, di mana para pemimpin harus menyeimbangkan tuntutan publik dengan realitas ekonomi. Pada akhirnya, janji reformasi sering kali terhenti oleh kebutuhan untuk segera meredakan gejolak masyarakat.
Perspektif Filosofis: Paradoks Antara Idealisme dan Pragmatisme
Secara filosofis, masalah ini menyentuh inti dari ketegangan antara idealisme dan pragmatisme. Plato membayangkan seorang filsuf-raja, penguasa yang bijaksana dan tidak mementingkan diri sendiri. Namun, dia juga mengakui bahwa penguasa semacam itu sangat langka dan bahwa pemerintahan cenderung jatuh ke dalam tirani, oligarki, atau demokrasi, masing-masing dengan kelemahan sendiri.
Indonesia: Idealisme versus Real politik
Dalam konteks modern Indonesia, kita melihat benturan antara idealisme dan pragmatisme dalam sejarah presidennya. Sukarno memiliki visi untuk Indonesia yang bersatu dan merdeka, bebas dari kolonialisme. Namun, kepemimpinannya jatuh ke dalam otoritarianisme saat dia berjuang untuk mempertahankan kendali di tengah gejolak politik dan ekonomi. Suharto, penggantinya, memerintah dengan tangan besi atas nama stabilitas, tetapi pemerintahannya tercemar oleh korupsi dan kronisme.
Bagi Prabowo, tantangan filosofisnya adalah apakah ia akan tetap mempertahankan visi idealistiknya untuk Indonesia atau tunduk pada realitas pragmatis pemerintahan. Sejarah menunjukkan kemungkinan yang kedua lebih mungkin terjadi.
Perbandingan Global: AS dan India Menghadapi Pertentangan Abadi
AS menghadirkan paralel yang menarik. Thomas Jefferson, salah satu founding fathers, berbicara tentang pentingnya warga yang terdidik dan pemerintahan yang melindungi hak individu. Namun, pemerintah AS sering kali berayun antara idealisme dan pragmatisme, dari kebijakan ekspansionis pada abad ke-19 hingga tanggapan pragmatis terhadap konflik global pada abad ke-20 dan 21.
Di India, konflik filosofis antara visi idealistik Mahatma Gandhi tentang non-kekerasan dan swaraj (pemerintahan sendiri) berlawanan dengan gaya kepemimpinan pragmatis perdana menteri berikutnya. Jawaharlal Nehru, meskipun terinspirasi oleh filosofi Gandhi, harus mengadopsi kebijakan pragmatis untuk membangun struktur ekonomi dan politik India. Politik India modern, di bawah Modi, juga mencerminkan paradoks ini, di mana janji muluk sering kali harus tunduk pada realitas politik.
Peran Akuntabilitas Publik: Bisakah Ini Memutus Siklus?
Salah satu solusi yang sering diusulkan oleh para ahli politik adalah akuntabilitas yang lebih besar. Jika pemimpin lebih bertanggung jawab kepada publik, mungkin siklus kegagalan niat baik ini dapat diputus. Hal ini bisa dilakukan melalui institusi yang transparan, masyarakat sipil yang kuat, dan pers yang waspada.
Indonesia : Masyarakat Sipil yang Berkembang
Indonesia telah membuat kemajuan dalam hal ini. Organisasi masyarakat sipil semakin kuat, dan pers, meskipun menghadapi tantangan, memainkan peran penting dalam memegang politisi agar bertanggung jawab. Jika pemerintahan Prabowo dapat memanfaatkan kekuatan-kekuatan ini, ada kemungkinan untuk mengurangi kegagalan yang telah menjangkiti pemerintahan sebelumnya.
Perbandingan Global: Penekanan Eropa pada Transparansi
Negara-negara seperti Swedia dan Denmark sering kali menempati peringkat tinggi dalam hal transparansi dan akuntabilitas pemerintah, sebagian menjelaskan mengapa mereka memiliki tingkat korupsi yang lebih rendah. Pegawai negeri di negara-negara ini secara rutin diawasi, dan setiap tanda kesalahan segera ditangani. Meskipun mungkin terlalu optimis untuk berpikir bahwa Indonesia bisa langsung meniru model ini, ini memberikan gambaran tentang apa yang mungkin terjadi.
Kesimpulan: Pertarungan Abadi Antara Niat Baik dan Realitas Politik
Mengapa niat baik dalam pemerintahan sering gagal? Jawabannya terletak pada campuran kompleks antara kekuasaan politik, harapan masyarakat, dan paradoks filosofis. Pemerintahan Prabowo akan menghadapi tantangan yang sama, seperti yang telah dihadapi oleh setiap pemerintahan sebelumnya. Membandingkan perjuangan Indonesia dengan negara lain menunjukkan bahwa masalah ini bersifat universal, berakar pada sifat kekuasaan dan pemerintahan itu sendiri.
Jalan menuju pemerintahan yang baik dipenuhi dengan niat baik, tetapi tanpa akuntabilitas, reformasi sosial, dan kemauan politik, jalan tersebut sering kali berakhir dengan kekecewaan. Pertanyaannya sekarang adalah, dapatkah Prabowo memutus siklus ini, atau akankah dia juga terperangkap oleh kekuatan yang telah menggagalkan banyak pemimpin sebelumnya?
Sebuah obrolan warung kopi berharap, jangan sampai pemerintahan baru yang akan "disumpah" 20 Oktober mendatang akhirnya "disumpahi" dengan "sumpah serapah" sepanjang perjalanan. Akhirnya obrolan ini disudahi dengan tertawa terbahak-bahak, menghela nafas panjang, dan bergumam, Let's hope for the best, and prepare for the worst. (KH).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H