Perspektif Sosial: Beratnya Harapan Publik dan Tekanan Sosial
Politik tidak terjadi dalam ruang hampa. Pemerintah mencerminkan masyarakat yang dipimpinnya. Sosiolog seperti mile Durkheim mengingatkan kita bahwa masyarakat memberikan tekanan pada individu, termasuk para pemimpin, untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma tertentu. Dalam kasus politisi, harapan masyarakat seringkali tidak realistis, menciptakan tekanan besar.
Indonesia: Budaya Patronase
Jalinan sosial Indonesia sangat erat dengan budaya patronase, sebuah sistem di mana pemimpin diharapkan untuk mendistribusikan sumber daya dan kesempatan kepada para pendukungnya. Ini memiliki akar sejarah, mulai dari kepala desa lokal hingga politik nasional. Meski Prabowo mungkin memiliki niat untuk lepas dari sistem ini, tekanan sosial akan mendorongnya kembali ke politik patronase. Memenuhi janji kampanye sering kali berarti memprioritaskan kepentingan mereka yang membantu pemimpin naik ke kekuasaan, bukan rakyat secara umum.
Perbandingan Global: Perjuangan Eropa dengan Tuntutan Publik
Bahkan di negara demokrasi maju seperti di Eropa, tekanan masyarakat dapat merusak pemerintahan yang baik. Lihat saja Prancis, di mana Presiden Emmanuel Macron, meski awalnya bersemangat untuk melakukan reformasi, harus menghadapi protes besar dari gerakan "rompi kuning." Pemerintahan Macron, yang awalnya siap untuk perubahan besar, berkali-kali harus tunduk pada tekanan publik, menunda atau memperlemah banyak reformasi yang diusulkan.
Hal yang sama terjadi di negara-negara seperti Yunani dan Italia, di mana para pemimpin harus menyeimbangkan tuntutan publik dengan realitas ekonomi. Pada akhirnya, janji reformasi sering kali terhenti oleh kebutuhan untuk segera meredakan gejolak masyarakat.
Perspektif Filosofis: Paradoks Antara Idealisme dan Pragmatisme
Secara filosofis, masalah ini menyentuh inti dari ketegangan antara idealisme dan pragmatisme. Plato membayangkan seorang filsuf-raja, penguasa yang bijaksana dan tidak mementingkan diri sendiri. Namun, dia juga mengakui bahwa penguasa semacam itu sangat langka dan bahwa pemerintahan cenderung jatuh ke dalam tirani, oligarki, atau demokrasi, masing-masing dengan kelemahan sendiri.
Indonesia: Idealisme versus Real politik
Dalam konteks modern Indonesia, kita melihat benturan antara idealisme dan pragmatisme dalam sejarah presidennya. Sukarno memiliki visi untuk Indonesia yang bersatu dan merdeka, bebas dari kolonialisme. Namun, kepemimpinannya jatuh ke dalam otoritarianisme saat dia berjuang untuk mempertahankan kendali di tengah gejolak politik dan ekonomi. Suharto, penggantinya, memerintah dengan tangan besi atas nama stabilitas, tetapi pemerintahannya tercemar oleh korupsi dan kronisme.
Bagi Prabowo, tantangan filosofisnya adalah apakah ia akan tetap mempertahankan visi idealistiknya untuk Indonesia atau tunduk pada realitas pragmatis pemerintahan. Sejarah menunjukkan kemungkinan yang kedua lebih mungkin terjadi.
Perbandingan Global: AS dan India Menghadapi Pertentangan Abadi
AS menghadirkan paralel yang menarik. Thomas Jefferson, salah satu founding fathers, berbicara tentang pentingnya warga yang terdidik dan pemerintahan yang melindungi hak individu. Namun, pemerintah AS sering kali berayun antara idealisme dan pragmatisme, dari kebijakan ekspansionis pada abad ke-19 hingga tanggapan pragmatis terhadap konflik global pada abad ke-20 dan 21.
Di India, konflik filosofis antara visi idealistik Mahatma Gandhi tentang non-kekerasan dan swaraj (pemerintahan sendiri) berlawanan dengan gaya kepemimpinan pragmatis perdana menteri berikutnya. Jawaharlal Nehru, meskipun terinspirasi oleh filosofi Gandhi, harus mengadopsi kebijakan pragmatis untuk membangun struktur ekonomi dan politik India. Politik India modern, di bawah Modi, juga mencerminkan paradoks ini, di mana janji muluk sering kali harus tunduk pada realitas politik.
Peran Akuntabilitas Publik: Bisakah Ini Memutus Siklus?