Mohon tunggu...
Kris Hadiwiardjo
Kris Hadiwiardjo Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Eks Penulis Artikel Bisnis, Ekonomi, Teknologi Harian Pelita

Penulis adalah peminat bidang teknologi, Komputer, Artificial Intelligence, Psikologi dan masalah masalah sosial politik yang menjadi perbincangan umum serta melakukan berbagai training yang bekenaan dengan self improvement, human development dan pendidikan umum berkelanjutan bagi lanjut usia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Sulit Bersyukur?

16 Oktober 2024   16:26 Diperbarui: 16 Oktober 2024   17:16 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perspektif Sosial: Tekanan Masyarakat dan Perbandingan Sosial

Selain faktor psikologis, pengaruh sosial juga sangat besar dalam membentuk kemampuan seseorang untuk bersyukur. Di era digital saat ini, media sosial menjadi salah satu faktor utama yang memperburuk masalah ini. 

Platform seperti Instagram atau TikTok sering kali menjadi tempat perbandingan sosial yang tidak sehat. Orang melihat kehidupan "sempurna" orang lain dan mulai merasa bahwa hidup mereka kurang beruntung. 

Fenomena ini dikenal sebagai Social Comparison atau teori perbandingan sosial yang pertama kali dikemukakan oleh Leon Festinger pada tahun 1954. Menurut teori ini, manusia secara alami cenderung membandingkan diri mereka dengan orang lain sebagai cara untuk menilai nilai diri mereka sendiri. 

Namun, dalam masyarakat modern, perbandingan ini sering kali tidak realistis karena kita hanya melihat "highlight reel" kehidupan orang lain.

Tekanan sosial lainnya datang dari budaya konsumerisme. Dalam masyarakat yang mengutamakan kepemilikan material, rasa syukur sering kali dipersempit pada hal-hal yang bersifat material. 

Orang mulai merasa bahwa kebahagiaan hanya bisa dicapai jika mereka memiliki barang-barang terbaru, mobil mewah, atau rumah yang besar. Ketika seseorang terus-menerus dikelilingi oleh pesan bahwa kebahagiaan bisa dibeli, mereka mulai meremehkan hal-hal sederhana seperti kesehatan, persahabatan, atau bahkan udara segar.

Tidak hanya itu, ada fenomena yang dikenal sebagai hedonic treadmill, di mana orang terus berlari mengejar kebahagiaan melalui pencapaian atau pembelian baru, tetapi selalu kembali ke tingkat dasar kebahagiaan mereka. Mereka menginginkan lebih dan lebih, tetapi tidak pernah merasa benar-benar puas atau bersyukur dengan apa yang sudah dimiliki.

Perspektif Spiritual: Kehilangan Makna dan Koneksi dengan Keberadaan Lebih Tinggi

Dari sudut pandang spiritual, kesulitan untuk bersyukur sering kali dikaitkan dengan hilangnya makna hidup dan koneksi dengan sesuatu yang lebih tinggi, entah itu Tuhan, alam semesta, atau nilai-nilai moral yang lebih besar. 

Dalam banyak tradisi spiritual, rasa syukur adalah bagian integral dari hidup yang penuh makna. Rasa syukur dianggap sebagai jalan menuju kebahagiaan sejati, karena itu membawa kita kembali ke keadaan kesadaran penuh tentang hal-hal yang kita miliki dan tempat kita dalam skema besar kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun